Sukses

Petaka Racun Bruang Mandi hingga Wafatnya Permaisuri Sunan Gunung Jati Cirebon

Masjid Agung Sang Cipta Rasa tak hanya tempat beribadah Cirebon yang berusia ratusan tahun tetapi memiliki banyak cerita dan perjalanan sejarah panjang.

Liputan6.com, Cirebon - Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan salah satu bangunan peninggalan sejarah yang menjadi ikon Cirebon. Azan tujuh merupakan salah satu bagian dari ciri khas yang ada di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon itu.

Masjid yang berusia 500 tahun tersebut menyimpan beragam cerita yang fenomenal. Selain terbakarnya pendekar berilmu hitam menjangan wulung dengan mengumandangkan azan tujuh, masjid yang berada di kawasan Keraton Kasepuhan Cirebon itu menyimpan cerita lain.

"Ada kisah lain terkait meninggalnya Nyi Mas Pakungwati saat melawan racun yang namanya Bruang Mandi atau sihir guna-guna yang sengaja dipasang di Momolo atau kubah Masjid," kata budayawan Cirebon Akbarudin Sucipto, Selasa (9/3/2020).

Berdasarkan catatan sejarah, Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun tahun 1489 Masehi oleh Sunan Gunung Jati. Di masjid tersebut, Sunan Gunung Jati memilih malam Jumat Kliwon untuk mengumpulkan para pejabat negara, tumenggung, buyut, kigedeng, kigede se-Cirebon.

Mereka melakukan silaturahmi sekaligus evaluasi terhadap kerja natagama dan tata kelola pemerintahan Cirebon Nagari setiap bulannya. Hingga memasuki masa Panembahan Ratu Awal, Masjid Agung Sang Cipta Rasa tetap menjadi pusat kegiatan dakwah Islam dan tempat para pembesar kerajaan berkumpul dan bermuhasabah.

"Sosok Panembahan Ratu menjadi figur yang sangat disegani dan dihormati di tanah Jawa bahkan nusantara. Menjadi salah satu kunci kemajuan Cirebon saat itu karena rajanya sosok yang sangat sederhana," kata dia.

Kesederhanaan Panembahan Ratu Awal terlihat dari kondisi rumahnya yang tidak mewah. Tiang rumah dari batang jarak sedangkan atap rumah dari daun jati.

Namun, saat itu rakyat Cirebon hidup makmur, aman, damai, dan sejahtera. Panembahan Ratu Awal memiliki santri dengan beberapa murid dari berbagai kerajaan lain di luar Cirebon.

"Kapasitas beliau juga seorang ulama yang sangat dihormati karena keluasan ilmu dan kezuhudannya," ujarnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Intelejen Mataram

Beberapa santrinya yakni Pangeran Geusan Ulun Sumedang dan Mas Rangsang Mataram. Mas Rangsang kemudian bergelar Sultan Agung Anyokrokusumo Mataram sang raja besar tanah Jawa yang ketika dinobatkan, yang menobatkannya adalah Panembahan Ratu.

"Pada masa itu menurut Sultan Agung Mataram kalau kita ingin mengetahui bagaimana kondisi masyarakat di sebuah negara seperti kepatuhan kepada orangtua hormat pada ulama dan pemimpinnya. Maka lihatlah masjidnya bagaimana pola hubungan sesama pengurus masjid dan jemaah masjid sampai peran masjid dengan lingkungan," ujar Akbarudin.

Pemahaman tersebut, kata dia, menjadi dasar pasukan intelijen Mataram menyusup ke wilayah Cirebon. Pasukan intelejen Mataram menyusup dalam rangka melaksanakan aksi dan patroli keliling tanah Jawa untuk menguasai Jawa.

Hingga akhirnya, Masjid Agung Sang Cipta Rasa mendapati permasalahan. Dari catatan Mertasinga, masjid tersebut diganggu oleh tokoh panglima utusan Mataram bernama Ki Gedeng Anis.

"Ki Gedeng Anis memerintahkan kepada pengawalnya menaruh bruang mandi atau racun kalau bahasa orang dulu guna-guna tapi sangat ampuh. Nah bruang mandi dipasang di bagian memolo Masjid Sang Cipta Rasa," ujar dia.

Efek yang ditimbulkannya dari penyebaran racun tersebut termasuk dahsyat. Saat itu, kata dia, orang Cirebon jika berada di masjid akan merasa kedinginan, ketakutan, sakit, bahkan mati.

Akbar mengatakan, berdasarkan penelusuran, dampak dari aksi memasang racun bruang mandi tersebut terjadi perpecahan antar pengurus masjid.

"Menurut sumber lain yang saya dapat dampak dari racun ini sampai ke radius 300 meter lebih dari pusatnya di memolo Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Perpecahan antar pengurus masjid sampai melahirkan banyak fitnah yang kontraproduktif," kata dia.

Di tengah kekacauan akibat racun bruang mandi, Nyi Mas Ratu Pakungwati mendapat mandat langsung dari Panembahan Ratu Awal untuk membantu mengatasi bencana perpecahan di Cirebon.

"Menurut naskah Mertasinga, Pakungwati sedang berada di Tegal bahkan sumber lainnya menyebut Tuban tapi yang jelas di luar Cirebon. Beliau sudah sepuh, renta tapi tetap gesit tidak bermanja dan langsung merespon apa yang menjadi dawuh Panembahan Ratu Awal. Semua orang tahu bahwa beliau adalah mantan permaisuri agung Sunan Gunung Jati," ujar dia.

3 dari 3 halaman

Pakungwati Wafat

Nyi Mas Pakungwati berdiri bersama Panembahan Ratu Awal di tengah Alun-Alun Kasepuhan Cirebon. Sorot matanya tajam tertuju pada sumber malapetaka bruang mandi yang ada di memolo Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

Atas izin Panembahan Ratu Awal, Nyi Mas Pakungwati masuk ke Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Setelah memasuki sumber malapetaka, Nyi Mas Pakungwati mengumandangkan azan dengan suara yang nyaring hingga memekakkan telinga.

"Suaranya seperti mengguncang jagat bumi seakan bergoyang dan seketika terdengar suara ledakan keras dari arah langit Masjid Agung Sang Cipta Rasa khususnya di memolo," ujar dia.

Seketika bruang mandi terlempar kemudian hancur lebur dan musnah dengan sendirinya, keadaan kembali menjadi normal.

Namun, bersamaan dengan musnahnya racun bruang mandi, sosok Nyi Mas Pakungwati wafat. Menurut Akbarudin Sucipto, wafatnya Nyi Mas Pakungwati syahid.

"Beliau menyelamatkan masjid, wibawa Cirebon hingga rasa cemas dan ketakutan masyarakat Cirebon sendiri. Raga Pakungwati ikut musnah bersama jiwanya," ujar Akbar.

Nyi Mas Pakungwati adalah permaisuri dari Sunan Gunung Jati Cirebon. Pakungwati merupakan putri dari Pangeran Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana dan Nyi Mas Kencana Larang.

Nama Pakungwati diabadikan oleh ayahnya menjadi nama keraton yang dibangunnya yaitu keraton Pakungwati dan masjid agung Pakungwati yang kemudian dikenal dengan nama Masjid Agung Sang Ciptarasa.

Perkawinan Nyai Mas Ratu Pakungwati dengan Sunan Gunung Jati tidak dikaruniai anak. Sepanjang hidupnya dicurahkan untuk berdakwah keliling diwilayah-wilayah perbatasan Cirebon Nagari mulai di wilayah barat dan selatan sampai ke wilayah Tuban.

"Dari suaminya beliau mendapatkan banyak ilmu pengetahuan tentang keislaman seperti bab syareat, ilmu pekih, tasawuf, Quran, hadis, hikmah, dan lainnya," dia menandaskan.

Saksikan video pilihan berikut ini: 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.