Sukses

Menyusuri Lubang Tambang Mbah Soero Warisan Unesco di Sumbar

Terletak di tengah kota kecil bernama Sawahlunto, Lubang Tambang Mbah Soero menjadi salah satu peninggalan legendaris di Sumbar yang telah diakui Unesco.

Liputan6.com, Sawahlunto - Terletak di tengah kota kecil bernama Sawahlunto, Lubang Tambang Mbah Soero menjadi salah satu peninggalan legendaris di Sumbar yang telah diakui Unesco.

Sepintas jika dilihat dari luar, lubang tambang itu tampak biasa saja. Namun setelah menuruni anak tangga, pengunjung akan dibuat terkejut dengan replika dua pekerja tambang mendorong lori (kereta kecil) berisikan batu bara yang diawasi seorang mandor Belanda.

Selajutnya, ratusan anak tangga menuju lubang kelam di bawah tanah menemani perjalanan awal Liputan6.com menyusuri lubang tambang legendaris tersebut.

Anak tangga menuju bawah tanah cukup curam dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan lebar 2,2 meter dan tinggi 2,75 meter. Makin jauh turun ke bawah, rasanya semakin tidak nyaman.

Petugas Rescue dan Pemandu Wisata Lubang Tambang Mbah Soero, Sudarsono tampak sibuk mengingatkan pengunjung untuk tidak melepas peralatan pelindung kepala dan sepatu bot saat di dalam lubang. 

Lubang tambang Mbah Soero merupakan tambang batu bara pertama di Sawahlunto. Dalam ceritanya, nama lubang tambang itu diambil dari tokoh asal Jawa yang menjadi pemimpin para pekerja atau disebut dengan orang rantai.

Menurut Soedarsono, julukan 'orang rantai' diberikan lantaran pekerja paksa tambang beraktivitas dalam kondisi kaki dan tangan terikat rantai.

Lubang ini dibangun sekitar 1898 untuk kegiatan penambangan batu bara sepanjang 185 meter oleh Kolonial Belanda. Kemudian ditutup pada tahun 1932, karena rembesan air mengenangi terowongan.

"Ini adalah saksi sejarah penderitaan orang-orang rantai dalam membuat terowongan untuk pertambangan batu bara," kata Soedarsono yang memandu kami hari itu.

Selesai menuruni ratusan anak tangga, terlihat sisa-sisa penambangan batu bara masa silam. Rasanya di bawah sini cukup menyeramkan, lalu terbayang betapa tersiksanya 'orang rantai' masa itu.

Untuk keperluan wisata, pengunjung hanya bisa menyusuri puluhan meter saja, di beberapa bilik masih tertutup. Pada bagian dinding dan atap terowongan masih ada tetes-tetes air, itu sebabnya pengunjung diwajibkan mengenakan sepatu but dan helm. Dibukanya tambang ini oleh pemerintah setempat pada 2007 sebagai salah satu upaya daya tarik wisatawan, lebih tepatnya wisata edukasi. Sebelumnya pemerintah juga merevitalisasi tempat tersebut tanpa mengubah bentuk aslinya.

Setelah selesi menyusuri lubang Mbah Soero pengunjung tidak akan masuk dan keluar di tempat yang sama, karena di dalam terowongan ada beberapa pintu dan bilik yang menembus ke lokasi lain. Lokasi keluar lubang tambang.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Warisan Dunia Unesco

Pada 2019 pertambangan Batubara Ombilin di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat sudah ditetapkan sebagai situs budaya warisan dunia di United Nation Educational, Scientiefic, and Cultural Organization (UNESCO) mewakili Indonesia bersama situs dari beberapa negara lainnya.

Tambang di kawasan tersebut pertama kali dibuka pada 1891 di daerah Sungai Durian yang menjadi awal mula penambangan batu bara di Kota 'Mutiara Hitam' tersebut.

Berdasarkan sejarahnya, seorang ahli pertambangan Belanda, Willem Hendrik de Greve, diketahui meneliti dan menemukan cadangan batu bara di sepanjang alur Sungai Ombilin pada 1867.

Dua puluh tahun kemudian, pemerintah kolonial Belanda mulai membangun infrastruktur guna menunjang kegiatan penambangan batu bara. Infrastruktur yang dibangun yaitu: jalur kereta api ke Teluk Bayur, yang terletak di Padang, untuk mengangkut batu bara tersebut ke luar negeri.

Daerah tersebut mulai dieksploitasi besar-besaran sejak 1891 dengan memperkerjakan pribumi sebagai pekerja tambang hingga berakhirnya masa penjajahan Belanda. Penggarapan tambang di Sawahlunto terus berlanjut pada masa kemerdekaan Republik Indonesia dan berakhir pada 1998.

Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB ) Sumbar, Nurmatias menyebutkan terdapat beberapa bangunan peninggalan kolonial Belanda yang masih awet di daerah tersebut, misalnya Goedang Ransoem yang digunakan sebagai tempat memasak pekerja tambang, Rumah sakit, dan fasilitas lainnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.