Sukses

Tak Bisa Bayar Biaya Pengobatan, Anak Buruh Bangunan Tertahan di Rumah Sakit

Reski Aldani (7), tak bisa keluar rumah sakit di Mamuju lantaran orangtuanya tak bisa membayar biaya pengobatannya.

Liputan6.com, Mamuju - Reski Aldani (7) anak sulung dari pasangan Adam (30) dan Hasni (24) warga Kelurahan Karema, Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat harus tertahan di rumah sakit. Reski tidak bisa keluar dari RSUD Kabupaten Mamuju karena orangtuanya tidak mampu untuk melunasi biaya pengobatan dan parawatan.

Orangtua Reski yang tergolong kurang mampu, tidak bisa melunasi biaya rumah sakit anaknya sekitar Rp6,1 juta. Sebelumnya, Reski harus menjalani operasi pada Jumat (21/2/2020) usai mengalami kebocoran di kepalanya akibat terjatuh saat bermain.

Sebenarnya, Reski sudah menjalani operasi bedah di bagian kepala dan sudah bisa keluar dari rumah sakit sejak kemarin. Namun, orangtuanya tidak tahu harus berbuat apa, karena untuk bisa keluar tentunya harus menebus biaya rumah sakit, dan mereka tidak memiliki uang untuk melunasinya.

"Bagian kepalanya dioperasi. Sekitar Rp6 juta saya cari uang, untuk operasi itu Rp4,5 juta belum lagi biaya lainnya, untuk menginap di sini Rp150 ribu per malam belum lagi biaya obat," kata Hasni kepada Liputan6.com saat ditemui di RSUD Mamuju, Senin (24/2/2020).

Biaya rumah sakit itu menjadi mahal lantaran Reski tidak terdaftar dalam BPJS Kesehatan, sehingga dirinya masuk ke rumah sakit melalui jalur umum. Mereka tidak tahu cara mengurus BPJS, dan tidak pernah mendapat pendampingan atau pendataan dari pihak pemerintah setempat, baik dari Dinas Sosial maupun dari kelurahan.

"Saya tidak tahu bagaimana urus BPJS dan juga bapaknya ini anak tidak tahu urus berkas begitu. Suamiku, hanya tukang batu kerjanya," ujar Hasni.

Saat mendapat arahan dari pihak rumah sakit, Hasni langsung ke kantor kelurahan mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) guna melakukan pengurusan BPJS. Hanya saja, sudah tidak ada ruang untuk mengurus BPJS.

"Katanya di sana sudah tidak bisa urus BPJS, dua bulanmi katanya ini tidak bolehmi lagi urus BPJS untuk ditanggung pemerintah. Tidak dikasih surat keterangan kalau untuk urus BPJS, karena katanya sudah aturan dari Dinas Sosial, kalau untuk yang lain bisa," jelas Hasni.

Karenanya, SKTM yang dia dapatkan dari kelurahan digunakan untuk mengajukan permohonan bantuan di Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Mamuju, namun harapan itu pupus, karena pihak Baznas mengatakan tidak ada dana bantuan. Saat ini Hasni bersama keluarga hanya berharap segara ada bantuan agar Reski bisa segera keluar dari rumah sakit.

"Kami berharap ada keringanan dan bantuan supaya anak kami bisa segara keluar dari sini, karena semakin lama, semakin banyak yang kami bayar," harap Hasni.

Sementara itu, pihak rumah sakit yang mengetahui kondisi orangtua Reski memberi kebijakan dengan mengurangi biaya yang harus tertanggung. Dari kebijakan rumah sakit, mereka telah mengurangi biaya pengobatan dari Rp6,1 juta menjadi Rp2,9 juta.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kejadian Serupa

Kejadian serupa belum lama ini juga menimpa Sitti Handara warga Desa Sumare, Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju saat harus menjalani operasi dan perawatan di RSUD Sulbar, warga miskin tersandera karena terkendala biaya. Masalah ini pun kelar berkat bantuan anggota DPR RI.

Saat itu Hadara tertahan di RSUD Regional Sulbar karena tidak mampu untuk membayar biaya pengobatan dan perawatan. Hadara yang menderita diabetes harus menjalani operasi pembedahan dan dirawat selama enam hari di rumah sakit milik pemerintah itu sejak Jumat (14/2/2020).

Malang bagi Hadara, dirinya masuk ke rumah sakit hanya bermodalkan kartu Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang ternyata sudah tidak aktif lagi. JKN-KIS Hadara dinonaktifkan oleh pihak BPJS Kesehatan sejak Juli 2019 tanpa ada penjelasan mengapai dia tidak termasuk dalam Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari pemerintah.

Hadara pun harus menanggung biaya sebesar Rp.5.312.000 karena dimasukkan dalam kategori umum oleh pihak rumah sakit yang sebelum sudah mendapatkan persetujuan dari keluarga Hadara. Biaya itu sangatlah besar bagi Hadara yang tergolong dalam warga yang kurang mampu, sehingga ia meminta kebijakan kepada pihak rumah sakit namun tidak diberikan.

"Di mana kami bisa dapat uang sebanyak itu, saya masuk rumah sakit hanya bermodalkan KIS dan keterangan tidak mampu dari desa, itupun tidak aktif kartunya dan tidka bisa diaktifkan," kata Hadara, Rabu (20/02/2020).

Pihak rumah sakit pun tidak bisa berbuat banyak, karena mereka telah meminta kepada keluarga pasien untuk mengecek kembali JKN-KIS Hadara ke pihak BPJS Kesehatan, sebelum memasukkan Hadara sebagai pasien umum. Namun, setelah pihak keluarga ke pihak BPJS Kesehatan, ternyata Hadara memang sudah nonaktif sebagai warga yang menerima PBI dari pemerintah.

Padahal Hadara tercatat sebagai salah satu warga yang menerima bantuan dari Program Keluarga Harapan (PKH) dari pemerintah. Sehingga, dinonaktifkannya Hadara oleh BPJK Kesehatan sebagai PBI pemerintah dinilai asal-asalan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.