Sukses

The Untold Story Menipisnya Penutur Bahasa Sentani di Kampung Yoka

Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah kepunahan bahasa Yoka

Liputan6.com, Jayapura - Warga di Kampung Yoka, Kota Jayapura terus berupaya melestarikan bahasa ibu, bahasa Sentani yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat. Walaupun Kampung Yoka berada di Kota Jayapura, namun bahasa yang digunakan adalah bahasa Sentani, milik Suku Sentani yang mendiami Kabupayen Jayapura.

Salah satu penyebabnya adalah nenek moyang warga Kampung Yoka adalah dari Kampung Ayapo Sentani di Kabupaten Jayapura yang berpindah ke Yoka tahun 1950-an. Dosen Sastra Universitas Papua (Unipa) Manokwari, Andreas Deda menyebutkan penutur bahasa Sentani di Kampung Yoka tersisa 10 orang yang telah sepuh, berumur 70 tahun hingga 100 tahun.

"Bisa dikatakan bahasa Sentani di Kampung Yoka menuju kepunahan, terlebih saat ini kaum ibu sama sekali tak menggunakan bahasa ibu kepada anak-anaknya," jelas Andreas.

Kaum ibu yang saat ini tinggal di Kampung Yoka kebanyakan kelahiran tahun 1960 hingga 1970, sehingga lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia setiap percakapan kepada penghuni seisi rumah.

"Masyarakat di kampung terus berusaha menghidupkan kembali bahasa ibu. Walaupun belum dilakukan secara efektif, teratur dan tertib, namun usaha dan niat sudah ada, khsuusnya yang dilakukan oleh pemuda kampung," katanya, kepada Liputan6.com, Kamis (20/2/2020).

Andreas menyebutkan dalam setiap rapat adat atau pertemuan keluarga, kadang masih ada 1-2 penutur bahasa ibu, namun tak dilakukan full dalam sebuah kalimat.

"Kebanyakan yang masih menggunakan bahasa ibu ini orang yang dihormati. Biasanya penutur hanya mengunakan 1-2 frasa, bukan sebuah kalimat lengkap. Misalnya wambere yang berarti ada bikin apa?" katanya.

Ada dugaan, minimnya penggunaan bahasa ibu di Kampung Yoka karena kampung ini berada di tengah kota dengan kehidupan masyarakat yang heterogen.

"Kampung Yoka bagian sejarah orang Papua menuju modernisme. Sebelum warga Yoka ada, di kampung itu sudah berdiri sekolah, gereja, rumah sakit dan perkantoran yang didirikan oleh Belanda. Jadi, dari Kampung Yoka peradaban modern di Papua terjadi," ujarnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ada Kamusnya

Karena modernisme itu, orangtua pada masa itu justru meminta anak-anaknya lebih menggunakan bahasa Indonesia, dibandingkan bahasa ibu dalam percakapan. Bahasa Indonesia oleh warga Yoka disebut bahasa melayu.Terlebih orangtua dulu beranggapan, jika anak-anaknya tetap menggunakan bahasa Sentani, maka si anak akan tetap berada di kampung, tak sekolah dan hanya pergi ke kebun.

Tapi, jika si anak menggunakan bahasa Indonesia, maka anak itu akan mendapatkan pekerjaan mapan, sekolah tinggi hingga mendapatkan kedudukan.

"Cara pandang ini yang menyebabkan bahasa Sentani sejak tahun 70-80 sudah tak banyak lagi digunakan masyarakat," katanya.

Tahun 2007, Andreas bahkan membuat kamus Sentani-Inggris-Indonesia untuk menjawab keraguan dengan mengunakan bahasa daerah akan terbelakang.

"Ini yang digabungkan, bahwa tak perlu melupakan bahasa daerah dengan modernisme saat ini. Bersyukur, kamus yang saya buat menjadi acuan oleh pemerintah dan lembaga lainnya. Tahun ini memasuki cetakan ke-2 untuk diperbanyak lagi," katanya.

Andreas berharap anak muda di kampung terus menggunakan bahasa daerah. Hasilnya, saat ini sudah mulai dilakukan misalnya saat ibadah di gereja, lagu rohani yang dinyanyikan, beberapa diantaranya menggunakan bahasa Sentani.

"Usaha membangkitkan bahasa daerah dapat mempererat hubungan ibu dengan anak atau manusia dengan tanah leluhurnya. Saat ini, anak muda di Kampung Yoka sedang menghimpun kembali bahasa ibu dalam percakapan harian," katanya.

 

3 dari 3 halaman

Era Otsus dan Upaya Konservasi

Upaya kembali menggiatkan bahasa ibu harusnya dilakukan juga oleh pemerintan, terlebih pada uu otsus jelas mengatur soal budaya dan kearifan lokal yang tertuag pada pasal 58 UU Otsus Papua.

"Hingga Otsus Papua akan berakhir 2021, pemerintah belum menggunakan kesempatan ini untuk pelestarian bahasa daerah, misalnya adanya muatan lokal bahasa daerah di sekolah,” jelasnya.

Parahnya lagi, menurut Andreas pemerintah saat ini tak peka terhadap sejarah, padahal memiliki kewenangan secara luas untuk mendokumentasikan bahasa dan budaya lainnya.

"Saat ini, tinggal keseriusan pemerintah membangun kembali budaya menggunakan bahasa ibu. Jangan hanya programnya jualan kecap,” ujarnya.

Balai Bahasa Provinsi Papua menyebutkan banyak faktor yang menyebabkan bahasa daerah punah, di antaranya perkawinan berbeda suku, adanya dominasi bahasa tertentu, bahasa daerah tidak digunakan dalam komunikasi sehari-hari secara informal. Lalu masalah lainnya karena tidak adanya pengajaran bahasa daerah secara formal, hingga sedikitnya jumlah penutur asli atau bahkan meninggalnya penutur asli bahasa sehingga tidak adanya penutur asli bahasa daerah tersebut.

Yulius Pagappong, pengajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) dari Balai Bahasa Papua menuturkan berkurangnya bahasa daerah dapat diartikan sebagai berkurangnya pula kekayaan Indonesia.

"Salah satu bentuk pelindungan bahasa daerah adalah revitalisasi bahasa. Hal in dilakukan untuk membangkitkan kembali penggunaan bahasa yang mengalami kemunduran maupun keterancaman kepunahan di dalam sebuah masyarakat khususnya kepada generasi muda,” katanya.

Revitalisasi bahasa sebagai upaya memperkenalkan, mengajarkan, dan menggunakan kembali bahasa daerah yang sudah tidak eksis, jarang, atau tidak digunakan oleh masyarakat dari suku tertentu.

"Upaya revitalisasi bahasa, diharapkan dapat mempertahankan bahasa daerah dari ancaman kepunahan sehingga kekayaan Indonesia pun masih dapat terjaga dengan baik,” katanya.

Simak video pilihan berikut:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.