Sukses

Hikayat Beras Singkong di Kampung Adat Cireundeu

Kampung Adat Cireundeu telah mengganti nasi dengan singkong sebagai makanan pokok, bahkan mereka punya kreasi membuat ketela olahan.

Liputan6.com, Bandung - Jika ada yang mengatakan bahwa makanan pokok orang Indonesia adalah nasi yang berasal dari padi, sebaiknya tengok dulu Kampung Adat Cireundeu. Kampung yang berada di Leuwigajah, Kota Cimahi ini sudah mengganti pilihan bahan baku makanannya dengan singkong bahkan mereka punya kreasi membuat ketela olahan.

Beralihnya makanan pokok masyarakat adat Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi singkong dimulai kurang lebih sejak 1918. Awalnya, gagasan makan singkong dikarenakan tekanan penjajah pada masa itu.

Penggagasnya ialah Aki Ali atau disebut juga Mama Ali. Beliau mencetuskan pemikiran bahwa sumber pangan warganya yang dikuasai penjajah harus segera dilawan.

"Perlawanannya itu lebih kepada terhadap tanam paksa. Dari situ mulailah cita-cita Mama Ali itu lahir, bahwa bangsa kita tidak akan berhasil merdeka lahir batin kalau perut kosong," kata Jajat, salah seorang penutur di Kampung Adat Cireundeu saat ditemui Liputan6.com belum lama ini.

Kondisi masyarakat kala itu dalam keadaan semakin terdesak dengan penguasaan terhadap perkebunan rakyat. Setelah adanya kesepakatan dari para sesepuh, maka warga kampung adat berhenti makan beras sebagai perlawanan.

"Setelah sepakat, orang di kampung itu kalau sesepuh bilang harus berhenti makan beras semuanya nurut. Awalnya dicoba beberapa makanan yang ada di kebun, seperti jagung dan bunut. Sampai akhirnya memilih singkong yang cukup direbus atau dibakar," ujar Jajat.

Hingga pada 1924, menantu Mama Ali, Omah Asnamah mengembangkan makanan pokok non beras ini menjadi beras singkong. Ketika sudah rutin dikonsumsi, beberapa tahun belakangan nama rasi dipilih oleh pemerintah untuk menamai makanan pokok tersebut.

"Beliau (Omah Asnamah) yang menemukan teknologinya. Oleh beliaulah ditemukan tepung singkong yang sekarang disebut rasi atau beras singkong," kata Jajat.

Omah Asnamah, menurut Jajat, merupakan orang yang menggemborkan makan beras singkong. Tidak hanya masyarakat adat, namun juga kepada warga sekitar.

"Beliau berkata, kalau kita bisa berhenti makan nasi beras, tanda-tanda kemerdekaan sudah semakin dekat," ucapnya.

Berkat kepeloporannya tersebut, pemerintahan melalui Wedana Cimahi memberikan penghargaan sebagai Pahlawan Pangan kepada Omah Asnamah, pada 1964. Kebiasaan makan rasi terus berlanjut sampai sekarang meskipun sudah merdeka.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Singkong Setelah Merdeka

"Teu boga sawah, asal boga pare. Teu boga pare, asal boga beas. Teu boga beas, asal bisa nyangu. Teu nyangu, asal dahar. Teu dahar, asal kuat.”

Sebuah tulisan berbahasa Sunda, terpampang jelas di sebuah bangunan mirip saung di Kampung Adat Cireundeu. Tulisan itu diartikan seperti ini, "Tidak punya sawah asal punya beras. Tidak punya beras asal bisa menanak nasi. Tidak punya nasi asal makan, tidak makan asal kuat."

"Tempat kita tinggal bakal banyak berubah, penduduknya semakin banyak, bangunan di sekitarnya bakal banyak berdiri. Prediksi orang tua dulu itu benar-benar terjadi," kata Jajat.

Bagi masyarakat adat Cireundeu, rasi tak beda dengan nasi beras. Mereka mengonsumsi rasi bersama lauk pauk dan sayur seperti halnya orang yang makan nasi beras.

Lebih dari itu, kata Jajat, masyarakat setempat hidup dengan penuh kesadaran untuk menjaga adat dan budaya yang diwariskan nenek moyang.

"Kami menghargai apa yang diperjuangkan leluhur karena ada nilai perjuangan dan melihat kondisi saat ini seperti perubahan yang diprediksikan orang tua kami," ujarnya.

Saat ini, Kampung Adat Cireundeu dihuni sekitar 70 kepala keluarga atau 400-an orang. Bagi penduduk asli, wajib untuk memakan rasi sebagai makanan pokok.

"Bagi kami, sedikit nasi singkong juga bisa mengenyangkan perut, dan kekuatan karbohidratnya lebih tahan lama di tubuh,” kata Jajat.

Rasi atau yang dalam bahasa lokal disebut sangueun terbuat dari singkong kayu (cassava). Masyarakat Cireundeu biasa menyebut sampeu karikil.

Untuk mengolah singkong menjadi rasi, diawali dengan mengupas kulit singkong. Kemudian singkong yang telah dikupas tersebut dicuci, diparut atau digiling, lalu disaring dan diperas.

Setelah menghasilkan ampas singkong, kemudian dijemur selama 2-3 hari untuk menghilangkan kandungan sianida.

Sedangkan cara memasak rasi adalah dengan mengepal ampas singkong kemudian merendamnya dengan air secukupnya dan direbus selama lima menit jika menggunakan kompor perapian tradisional atau gas biasa. Singkong yang telah diolah menjadi rasi mentah dapat bertahan selama tiga bulan.

 

 

3 dari 3 halaman

Olahan Singkong Bernilai Ekonomis

Dengan mengkonsumsi rasi, masyarakat adat terbebas dari kecenderungan meningkatnya harga pangan khususnya beras. Adapun untuk menyambut tamu yang berasal dari berbagai kota, pengurus Kampung Adat Cireundeu selalu menyiapkan 1.000 porsi rasi setiap bulannya.

"Stok rasi untuk tamu, bikin produk olahan dan untuk warga selalu bisa dipenuhi," kata Jajat.

Selain dijadikan pengganti nasi yang berasal dari padi, rasi yang sudah diolah warga Kampung Adat Cireundeu juga dapat dijadikan panganan lain. Produk olahan lain dari singkong seperti eggroll, lidah kucing, kue kecipir, keripik cireng, cheese stick, awug, mie telur, mie ubi kayu, keripik bawang dan dendeng kulit singkong.

Pengolahan tepung singkong itu dilakukan di sebuah dapur khusus. Sedangkan proses masaknya dilaksanakan oleh ibu-ibu di sana.

"Kita membangun kewirausahaan sosial. Karena kampung ini sendiri menjadi tempat wisata budaya. Selain memberikan edukasi pertanian, wisatawan yang datang akan diberikan pemahaman tentang olahan makanan berbahan singkong," kata Jajat.

Produk yang paling diminati pengunjung adalah eggroll. Cemilan berbahan telur yang dikombinasikan dengan tepung singkong ini memiliki perpaduan rasa manis dan gurih dengan tekstur renyah.

Berbagai produk olahan singkong ini dijual melalui koperasi. Hanya saja penjualan rasi dan produk olahannya sengaja dibatasi di Cireundeu. Tujuannya adalah agar peminat produk olahan langsung datang ke Cireundeu dan bisa belajar nilai budaya serta melihat langsung proses pengolahannya.

Simak video pilihan di bawah ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.