Sukses

'Sontrot', Kode Anak Muda Ketika Memotret Negeri

'Sontrot' adalah akar yang berupa serabut di tengah ketela pohon. Ia selalu dibuang saat manusia menikmati hasil kerjanya berupa ubi.

Liputan6.com, Semarang - Kode budaya meliputi tata nilai manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Kode itu bisa menjelma simbol apapun. Kode ini berkenaan dengan kondisi kejiwaan seseorang (psikologis) atau perjalanan spiritualnya.

"Sontrot" sebuah lakon teater yang ditulis Nindito Nugroho dari Mendut Institute sukses memotret terbuangnya rakyat dalam berbagai aspek kehidupan. Sontrot adalah serabut yang berada di tengah ketela pohon. Ia dibuang dan dianggap mengganggu.

"Berawal ketika melihat sontrot itu, sungguh kasihan nasibnya. Ia dibuang dan hasil karyanya dinikmati," kata Nindito, usai pementasan teater berjudul "Sontrot" di auditorium RRI Semarang, Kamis (24/10/2019).

Dijelaskan, bahwa "sontrot" adalah akar yang sejati. Pemberi hidup dan ujung tombak kehidupan. Kehidupan sosial, politik, kebudayaan, psikologi, dan sederet nilai-nilai kebenaran universal. Ia menerobos kerasnya tanah, terantuk batu, bertahan melawan serbuan cacing dan hama lain.

Akar itulah yang bertugas memberi hidup, dan ia bertanggung jawab terhadap regenerasi. Menabung makanan agar calon penggantinya cukup makanan.

"Sedangkan yang dimakan adalah umbi, itu tabungan makanannya. Sontrot itulah akar yang sejati. Pemberi hidup yang bertanggungjawab," kata Nindito.

Sontrot bercerita tentang spekulan tanah. Kaum spekulan ini selalu rakus jika melihat tanah kosong. Mereka akan menggunakan segala cara agar bisa menguasai tanah. Penguasaan itu pada akhirnya akan mengusir rakyat sebagai pihak yang menempati.

"Tanah itu tetap milik Gusti Allah. Rakyat kenapa mudah sekali dibohongi atas nama pembangunan, karena mereka sadar itu milik Gusti. Kalaupun mereka mempertahankan, semata-mata adalah menjaga amanat Gusti Allah. Ini budaya lokal yang menjadi kearifan, tapi tak pernah dipahami pemangsa lahan," kata Nindito.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Satire Tanpa Tawa

Mbah Warsa, seorang pemilik lahan 15 hektare di sebuah bukit, diming-imingi untuk naik haji dan sederet kemudahan lain jika bersedia menjual. Namun mbah Warsa bersikukuh. Sementara itu, para spekulan ternyata saling membunuh untuk bisa menguasai tanah itu.

Aksi saling bunuh ini ternyata merupakan buah skenario yang maha kuasa. Siapa mereka? Bukan pejabat, bukan pula pengusaha. Semua sudah diatur agar keuntungan terbesar berada di tangan yang maha kuasa ini.

"Manusia boleh jadi maha kuasa, tapi akan dikalahkan hukum Yang Maha Kuasa. Hukum alam. Jika tanah digerus jadi pabrik semen, jalan tol, gedung-gedung, tunggu saja hukum alam mencari keseimbangan, kekeringan, banjir, longsor, apapun," kata Nindito.

Kembali ke soal kode, penguasaan terhadap kode-kode dalam pertunjukkan teater ini, akhirnya menjadi keniscayaan. Mendut Institute bisa dengan mudah menggelar dialog satire.

"Apa hubungan dengan Sulastri? Sampeyan itu sudah tua masih mau macam-macam," teriak Mbah Warsa putri ketika cemburu.

Kecemburuan disebabkan karena sikap mbah Warsa kakung yang sok tahu. Menjelaskan metabolisme dan hukum alam secara benar, namun bergaya modern dengan istilah aneh. Akhirnya chemistry disampaikan sebagai Sulastri.

Humor satire ironi ini, ternyata tak ada gelak tawa dari penonton. Penonton mulai terdengar tawanya, justru ketika ekspresi kecemburuan dilakukan total, dengan melempar segala macam benda di atas pentas.

Simak video pilihan berikut:

 

3 dari 3 halaman

Terjebak Disiplin Barat

Secara keseluruhan, pementasan Sontrot oleh Mendut Institute yang disajikan dalam Festival Teater Jawa Tengah dengan penyelenggara Dinas Pendidikan Jawa Tengah ini berhasil. Berhasil memotret realita politik, dimana kaum sontrot ditinggalkan demi syahwat kekuasaan.

Ilustrasi musik yang digubah Nino al Juliano Pandanbara, seorang penghasil efek bunyi yang karyanya laris di pasar internasional juga mampu membangun ketegangan dan daya kejut.

Jika ada kekurangan, barangkali dalam adegan akhir, dimana adegan simbol-simbol alam mencari keseimbangan tak mendapat sentuhan lokalitas Magelang. Dua sosok yang ambisius menjadi yang maha kuasa, bergerak dengan bloking apik, namun gesture tak menunjukkan lokalitas dan masih berada dalam teater barat.

"Andai itu dilakukan dengan gerak gedruk Buta dan ilustrasi musik jatilan Magelang dengan distorsi modern, tentu akan sangat kuat," kata seorang penonton.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.