Sukses

Melepas Nazar dan Bau Kemenyan dalam Masjid Keramat di Aceh

Orang-orang mengenalnya sebagai Masjid Gudang. Pemberian nama itu tidak lepas dari sejarah yang melatarinya.

Liputan6.com, Aceh - Gerimis urung berhenti. Arakan awan hitam terlihat membubung sepanjang perjalanan tim Liputan6.com menuju Bumi Rameune, Sabtu, 5 Oktober 2019.

Kampas rem sesekali berdecit ketika kendaraan berpacu di kawasan Meulaboh - Tapak Tuan. Laju kendaraan tak terlalu mulus disebabkan lubang serta aspal yang tidak rata.

Dari kejauhan, tugu berbentuk tangan mengenggam rumpun padi tampak menyambut. Gegap gempita kehidupan di Kabupaten Nagan Raya tampak dari lalu-lalangnya para pengendara di bundaran tersebut.

Tugu ikonis di pertigaan Simpang Peut Jeuram itu jadi tanda bahwa tujuan sudah di depan mata. Dari tugu tersebut, tim menempuh jarak sekitar 2 kilometer sebelum sampai ke Masjid Jami' Syaikhuna.

Masjid tersebut berada di sebelah kiri jalan dari arah Nagan Raya menuju ke Aceh Tengah. Tepatnya, di Desa Ujong Pasi, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya.

Orang-orang mengenalnya sebagai Masjid Gudang. Pemberian nama itu tidak lepas dari sejarah yang melatarinya.

Memasuki pelataran masjid, terlihat hamparan paving block hexagon berwarna redwood. Yang menarik perhatian ialah keberadaan sebuah kentungan besar bercat keemasan yang terletak di sisi kiri masjid.

Kentungan ini tergantung di dalam bangunan persegi empat yang memiliki arsitektur khas. Dari Ibrahim, penjaga masjid, diketahui bahwa jidur itu hanya dibunyikan pada waktu tertentu saja. Misal, ketika ada warga yang meninggal dunia.

Tidak jauh dari situ, terdapat sebuah balai peristirahatan. Beberapa pengunjung tampak mengaso di dalam serta undakan balai berlantai dua tersebut.

Satu lemparan batu dari balai, berdiri monumen peresmian masjid. Pada monumen tertoreh tarikh 10 Muharam 1439 hijriah atau 30 September 2017 masehi berikut pula penjelasan serta tanda tangan bupati selaku orang yang meresmikan.

Adalah Zulbaidah, sekian di antara pengunjung yang terlihat duduk bersila di dalam balai. Ia datang jauh-jauh dari Meulaboh untuk melepas nazar di tempat itu.

"Anak saya tiga orang. Demam satu, satu lagi sakit mata," ujar perempuan paruh baya itu, kepada Liputan6.com, Sabtu sore, seraya menunjuk ke arah suami dan anak-anaknya.

Tampak suami Zulbaidah sedang membasuh wajah dua anaknya dengan air dari dalam bak yang terletak di samping masjid. Di dinding dekat bak tersebut tertulis sebuah peringatan. "Air ini khusus untuk nazar tidak boleh untuk wudhuk".

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Tempat Melepas Nazar

Masjid gudang memang kesohor dengan kekeramatannya. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, melainkan juga tempat melepas nazar atau dalam bahasa Aceh disebut "peuleuh kaoy."

Prosesi melepas nazar lazimnya dilakukan sendiri oleh pengunjung. Namun, tidak sedikit yang meminta petunjuk dari khadam.

"Kalau yang tidak tahu, mereka datang ke saya," kata lelaki yang bertugas sebagai khadam berjuluk Tengku Khadam.

Seorang Tengku Khadam tak ubah penjaga makam atau juru kunci. Ia diamanahkan untuk melayani pengunjung yang berkepentingan melepas nazar.

Cara melepas nazar di tempat itu tidak terlalu muluk-muluk. Tidak ada ritual khusus, kecuali membasuh atau meminum air yang ada di dalam bak, disusul membakar kemenyan di dekat sebuah tiang khusus yang ada di dalam masjid.

Tidak heran, jika sewaktu-waktu bau kemenyan meruap dari dalam masjid. Bebauan ini dengan mudah tercium pada siang hari, terutama menjelang sore, karena di waktu tersebut, pengunjung sedang padat-padatnya.

Sementara itu, air dalam bak yang ada di samping masjid dipercaya dapat menjadi obat serta menolak bala. Para pengunjung sering kedapatan menuangkannya ke dalam botol air mineral untuk dibawa pulang.

Adapun tiang yang diasapi dengan kemenyan tampak berbeda dengan penyangga-penyangga lainnya. Pangkal tiang ini dibalut kain warna putih dan kuning.

Di dekatnya terlihat kemenyan, macis, serta mabkhara atau tempat membakar kemenyan yang terbuat dari logam. Bahan-bahan tersebut memang disiapkan untuk para pengunjung yang ingin melepas nazar.

Tidak diketahui apa maksud dan tujuan membakar luban jawi di dekat tiang tersebut. Aktivitas ini agaknya berkaitan dengan aspek magis spiritual yang masih melekat di tengah masyarakat Aceh.

Perlu dicatat, kemenyan tidak melulu berkaitan dengan hal-hal berbau klenik. Resin yang berasal dari tumbuhan styrax ini juga sering dipakai dalam seremonial di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, terutama pada prosesi pencucian Kakbah.

Selain aktivitas di atas, tidak sedikit pengunjung yang mengadakan kaulan, seperti menyembelih kambing atau jamuan kecil-kecilan di Masjid Gudang. Setiap bentuk dari aktivitas melepas nazar ini pada dasarnya disesuaikan dengan hajat awal si pelepas nazar.

Misal, seseorang bernazar, jika anaknya menjadi juara kelak, ia akan menyembelih satu ekor kambing di Masjid Gudang. Orang itu wajib menyegerakan nazarnya jika hajat tersebut terpenuhi.

3 dari 6 halaman

Mengapa Dianggap Keramat?

Konon, ketika Masjid Gudang baru berdiri, seorang warga tiba-tiba menghilang saat sedang menanam padi di hutan. Penduduk setempat sudah mencarinya selama tiga hari tiga malam, hasilnya nihil.

Singkat cerita, ada seseorang yang berhajat dengan menjadikan masjid tersebut sebagai objeknya. Tak dinyana, si orang hilang ditemukan kembali oleh penduduk setempat.

Inilah yang kemudian melatari anggapan bahwa Masjid Gudang keramat. Pandangan tersebut masih berlaku sampai saat ini.

Hingga detik ini, masjid gudang tak pernah sepi pengunjung. Masjid ini sering disambangi pelancong domestik hingga mancanegara karena kemasyhurannya.

Selain menjadi salah satu situs religi di Kabupaten Nagan Raya, para pengunjung yang datang memiliki intensi lain. Apalagi kalau bukan melepas nazar.

4 dari 6 halaman

Kontruksi Masjid

Masjid Gudang memiliki kontruksi yang terbilang sederhana. Tidak jauh berbeda dari kontruksi masjid yang ada di Aceh pada umumnya.

Bangunannya berbentuk persegi empat serta memiliki dua buah lantai. Empat kubah yang dipasang dengan jarak selaras terimbangi oleh sebuah kubah utama yang berada di tengah dengan ukuran lebih besar dari kubah lainnya.

Setiap kubah berwarna metalik. Di atas masing-masing kubah terdapat sebuah mustaka yang dihiasi lafaz Allah beraksara Arab.

Letak minaret ada di samping kiri masjid. Berhias kubah dan mustaka yang serupa, minaret tersebut terlihat menjulang dengan ketinggian 54,60 meter.

Masjid Gudang pertama kali berdiri pada 1892. Belakangan, masjid bersejarah ini mengalami beberapa kali pemugaran, termasuk penambahan minaret pada 2015.

5 dari 6 halaman

Sejarah di Balik Nama Masjid Gudang

Seperti yang tertera pada plang masjid, Masjid Gudang bernama Masjid Jami' Syaikhuna Gudang Buloh. Namun, masyarakat lebih akrab dengan sebutan Masjid Gudang saja.

Ada sejarah mengapa dinamai 'Gudang Buloh'. Masjid tersebut dulunya merupakan bekas gudang tempat menyimpan peralatan untuk proyek pembangunan jalan milik Belanda.

Setelah proyek pembangunan jalan selesai, gudang tersebut terbengkalai. Oleh Tengku Abdurrani alias Tengku Putik, timbul ide menjadikan bekas gudang tersebut sebagai tempat ibadah.

Saat itu, masjid dibangun dengan bahan seadanya saja, yakni, berpenyangga kayu, beratap rumbia, serta berdinding tanah. Masjid ini berdiri di atas lahan seluas 12x12 hasta, dengan ketinggian 80 meter.

Karena dibangun persis di atas bekas gudang yang dulunya terbuat dari buluh, penduduk lantas menyebutnya Masjid Gudang Buloh atau 'gudang buluh'. Sebutan ini melekat sampai sekarang.

Sebelum renovasi besar-besaran hingga berdirinya minaret pada 2015, Masjid Gudang sempat mengalami pemugaran pada 1958, 1962, dan 1978.

Kini, terdapat sebuah dayah atau pesantren di belakang masjid tersebut. Dana untuk membangun pesantren khusus perempuan ini merupakan hasil sumbangan dari para pengunjung yang datang.

6 dari 6 halaman

Sepak Terjang Tengku Putik

Berkat jasanya, tidak berlebihan jika nama Tengku Putik dimasukkan dalam daftar ulama dan pejuang di Aceh. Namun, sejarah mengenainya jarang diketahui karena ia menghilang bersama taktik klasik kompeni pada masa itu.

Tengku Putik tidak dikubur di tanah kelahirannya. Ia diasingkan ke Batavia atau sekarang dikenal dengan sebutan Jakarta.

Kisah pengasingan Tengku Putik bermula saat terjadi insiden pembunuhan terhadap seorang komandan Belanda di dekat jembatan Suak Bilie. Mayatnya ditemukan di aluran sungai.

Pembunuhnya dua orang pemuda yang belakangan tewas ditembak para serdadu. Jasad keduanya dibawa ke Jeuram lalu dijemur di depan tangsi milik Belanda untuk menekan psike penduduk.

Belanda pun mendesak para penduduk agar membeberkan siapa keluarga kedua pemuda tersebut. Para penduduk tentu saja memilih bungkam karena takut kecipratan nahas.

Pada sore harinya, muncul seorang lelaki mengunjuk di antara penduduk yang tengah dirundung ketakutan. Lelaki itu mengaku bahwa kedua pemuda tersebut adalah anaknya, kemudian, mengubur jasad keduanya di suatu tempat.

Beberapa hari setelahnya, Belanda menangkap lelaki tersebut lalu membuangnya ke Pulau Jawa. Lelaki yang berani mengambil risiko demi menjaga kehormatan kedua pemuda tersebut adalah Tengku Abdurrani alias Tengku Putik, sang pencetus pembangunan Masjid Gudang.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.