Sukses

Pembangunan Jalan Tambang Mengancam Kelestarian Hutan Harapan

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berusaha memuluskan rencana PT Marga Bara Jaya (MBJ) untuk pembangunan jalan khusus angkutan batu bara.

Liputan6.com, Jambi - Riuh teriakan primata Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) menjadi suara yang khas di hutan dataran rendah Sumatera. Satwa arboreal ini sangat menggantungkan hidupnya pada hutan dengan meloncat dari pohon ke pohon.

Tak hanya riuh teriakan primata, celoteh burung-burung yang saling bersahutan juga menjadi penanda kehidupan di hutan. Burung itu berkicau dan hinggap di pepohonan di kawasan Hutan Harapan, hutan dataran rendah yang masih tersisa di Sumatera, yang membentang di dua provinsi, yakni Jambi dan Sumatera Selatan (Sumsel).

Hutan Harapan telah menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati dan satwa seperti Ungko, Siamang serta berbagai jenis burung. Termasuk, juga rumah bagi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) Gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis).

Namun di balik keberadaan keanekaragaman hayati itu, kini Hutan Harapan sedang mengalami ancaman yang serius. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berusaha memuluskan rencana PT Marga Bara Jaya (MBJ) untuk pembangunan jalan khusus angkutan batu bara yang melewati Hutan Harapan yang tengah direstorasi itu.

Koalisi Anti-perusakan Hutan Jambi menolak pembangunan jalan khusus angkutan batu bara tersebut. Menurut mereka, kegiatan jalan angkut produksi pertambangan justru berpotensi meningkatkan pembalakan liar, perambahan hutan, ancaman terhadap flora dan fauna serta menghilangkan sumber penghidupan masyarakat adat di kawasan hutan.

"Tugas kami menjaga hutan yang tersisa dan tugas pemerintah memperbaiki hutan yang rusak. Jadi pemerintah jangan lagi bikin rusak hutan dataran rendah di SumatEra ini," kata Koordinator Koalisi Anti-perusakan Hutan Jambi, Musri Nauli kepada Liputan6.com, Jumat (13/9/2019).

Pemerintah Indonesia menurut Musri, berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030 sesuai kontribusi nasional/NDC. Alih-alih mengurangi, pemerintah justru membiarkan terjadinya peningkatan emisi melalui upaya deforestasi untuk kepentingan jalan pertambangan di dalam kawasan hutan.

"Kami menagih janji itu, pemerintah tidak menjalankan komitmennya untuk mengurangi emisi dan berkontribusi pada pengurangan laju kehilangan keanekaragaman hayati secara global," ujar Musri.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Potensi Kerugian

Tak hanya mengancam keanekaragaman hayati. Berdasarkan hasil kajiannya, jalan angkutan khusus batu bara tersebut, akan membelah kawasan Hutan Harapan sepanjang 88 kilometer di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel dan Kabupaten Batanghari, Jambi, juga berpotensi merugikan.

Musri Nauli memperkirakan kerugian akibat deforestasi hutan untuk pembangunan jalan khusus angkutan baru bara sepanjang 88 kilometer itu mencapai Rp1,4 triliun dengan memangkas 5.924 hektare.  Hal ini berdasarkan perhitungan tegakan pohon dan luas areal yang terdampak.

"Kerugian ini seperempat dari nilai APBD Jambi yang mencapai Rp4,5 triliun. Tapi nilai kerugian ini belum ditambah dengan hilangnya keanekaragaman hayati, satwa liar yang dilindungi serta konflik sosial yang timbul," kata Musri.

Pemerintah seharusnya tidak menyetujui pembangunan jalan khusus tambang yang membelah hutan. Sebaiknya, pemerintah daerah dan pusat bisa mengarahkan perusahaan tambang batu bara untuk melewati jalan yang sudah ada, yakni milik PT Conoco Philips dan PT Bumi Persada Permai.

"Fakta di lapangan yang kita kaji kawasan hutannya relatif sangat baik, jadi kami koalisi masyarakat sipil mendorong opsi (pembangunan jalan tambang) harus diluar kawasan hutan," katanya menjelaskan.

Koalisi masyarakat sipil ini juga membuat petisi di change.org  dengan judul "Tolak jalan tambang di hutan dataran rendah, yang tersisa di Sumatera Selatan dan Jambi" dan bahkan petisi tersebut, hingga saat ini telah ditandatangani oleh 2.000 orang lebih.

 

3 dari 3 halaman

Pernah Dikunjungi Pangeran Charles

Hutan Harapan adalah restorasi ekosistem pertama di Indonesia itu pernah dikunjungi Putra Mahkota Kerajaan Inggris, Pangeran Charles pada 2008. Total luas kawasan sekitar 98.555 hektare di Jambi dan Sumatra Selatan, dan merupakan sisa hutan tropis dataran rendah di bagian selatan dan tengah Pulau Sumatera.

Kawasan Hutan Harapan termasuk salah satu wilayah hutan tropis Sumatera yang paling terancam di dunia. Upaya penyelamatan sangat penting dilakukan karena di kawasan Hutan Harapan itu mengandung nilai konservasi dan keanekaragaman hayati yang tinggi.

Di dalamnya teridentifikasi sebanyak 307 jenis burung, 64 jenis mamalia, 123 jenis ikan, 55 jenis amfibi, 71 jenis reptil dan 917 jenis pepohonan. 

Kemudian masih ditemukan spesies payung (Umbrella Species) yaitu Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), Tapir (Tapirus indicus) dan Beruang madu (Helarctos malayanus).

Selain itu, di kawasan restorasi tersebut, juga menjadi rumah bagi spesies burung Rangkong (Hornbill/Bucerotidae) dan terdapat berbagai jenis Rangkong, seperti jenis Enggang Klihingan (Anorrhinus galeritus/bushy-crested hornbill), Enggang Jambul (Aceros comatus/Berenicornis comatus/white-crowned hornbill).

Sebelumnya Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Jambi, Dr Forst Bambang Irawan mengatakan, seharusnya pembangunan jalan khusus angkutan batu bara tidak mesti dilakukan dengan cara membelah kawasan hutan. Masih ada opsi lain di luar kawasan.

Selain akan mempercepat laju deforestasi, di kawasan hutan tersebut, juga terdapat beberapa plot penelitian Crc 990/EFForTS sebuah penelitian internasional gabungan Universitas Jambi, Institut Pertanian Bogor, Universitas Tadulako dan Universitas Goettingen Jerman berada di kawasan konsesi restorasi ekosistem itu.

"Kalau masih bisa dan memungkinkan untuk dipindahkan, menurut saya sebaiknya tidak harus membangun jalan di kawasan hutan," kata Bambang.

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.