Sukses

Kritik soal Perekrutan Tenaga Pengajar, Dosen di Aceh Diperkarakan ke Polisi

Sejumlah pihak menganggap hal ini merupakan gambaran matinya budaya kritik di ranah akademik.

Liputan6.com, Aceh - Unggahan "Matinya Budaya Kritik di Mimbar Akademik" tiba-tiba membanjiri media sosial, usai seorang dosen bernama Saiful Mahdi diperkarakan ke polisi.

Tenaga pengajar Fakultas MIPA, Unsyiah, Provinsi Aceh, itu dituding mencoreng nama baik institusi kampus, setelah unggahan di dua grup WhatsApp internalnya diperkarakan.

Bunyi unggahan pada Maret, itu soal dugaan tidak ada unsur meritokrasi dalam perekrutan tenaga pengajar di fakultas teknik. Mahdi dipolisikan sebelum keganjilan yang ada di benaknya terjawab.

Pelapornya adalah Taufik Saidi, dekan fakultas terkait. Tudingan Mahdi diklaim tidak berdasar, dengan dalih, perekrutan pegawai negeri sipil berada di bawah wewenang kementerian bukan fakultas.

"Dari hasil penyelidikan komisi etik universitas, bukan tanggung jawab fakultas. Pak Saiful Mahdi salah menuduh dan tanpa bukti. Komisi etik merekomendasi ke rektor supaya yang bersangkutan meminta maaf, khilaf," terang Saidi, kepada Liputan6.com akhir pekan silam.

Rektor menindaklanjuti dengan cara melayangkan surat kepada yang bersangkutan. Mahdi harus minta maaf dalam waktu 1x24 jam, jika tidak ingin dikenai sanksi.

Surat itu dibalas satu pekan kemudian dengan tembusan surat ke Menristekdikti. Isinya tegas, menolak meminta maaf.

Saiful Mahdi kukuh dan berkeras dengan pendiriannya. Saidi pun melapor ke polisi karena sejawatnya, itu dinilai tidak ada iktikad.

Eks dosen Statistika Universitas Vermont, Burlington, Amerika Serikat, itu jadi tersangka sejak 29 Agustus 2019. Polisi berencana memeriksa yang bersangkutan hari ini, Senin (2/9/2019).

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dukungan dari Berbagai Pihak

Mahdi tidak sendirian. Sudah 70 orang yang bersedia menjadi penjamin untuk menangguhkan penahanan dosen yang kerap tampil sebagai analis politik di sejumlah media itu.

"Dari keluarga, selebihnya, dosen, mahasiswa, masyarakat sipil, petinggi LSM. Teman-teman wartawan ada juga yang bersedia menjadi penjamin," sebut Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul, kepada Liputan6.com.

Kecurigaan kliennya, kata Syahrul, memiliki dasar. Mahdi merasa ada sesuatu di balik tidak lulusnya salah satu calon yang notabene terbilang paling cemerlang di antara calon-calon lainnya.

Menurutnya, pernyataan bahwa proses seleksi tidak bisa diintervensi tidak sepenuhnya benar. Keputusan kementerian masih berdasarkan nilai para calon yang diajukan oleh masing-masing institusi.

"Bahkan mau dia (Mahdi), silahkan kalian tampilkan lembar si peserta CPNS yang saya ngomong ini. Kekurangan dia yang 0,50 persen, itu betul-betul, enggak?" ujar Syahrul.

Mahdi sengaja mengunggah unek-uneknya untuk memantik diskusi di antara para anggota grup saja. Apa lacur, unek-unek Mahdi sampai ke telinga Saidi.

"Lalu dekannya, sepertinya, baper. Menindaklanjuti ke pihak rektor, tapi, rektor tidak memanggil lalu menyidang kode etik, itu tidak dilakukan. Langsung diterbitkan surat agar Pak Saiful meminta maaf," terang Syahrul.

Selama berstatus saksi di kantor polisi, sempat ada tawaran damai. Mahdi menolak dan kukuh jika kecurigaan yang mengganjal di benaknya mesti dibawa ke forum tingkat senat universitas terlebih dahulu agar semua selesai.

"Di forum itu buka-bukaan, apa dasar asumsi kecurigaan Pak Saiful. Setelah buka-bukaan, dijawab, kemudian saling memaafkan, Pak Saiful mau-mau saja," ujar Syahrul.

Lagi pula, semua yang disebar di dalam grup tertutup itu tidak masuk dalam kategori konsumsi publik. Jika pun terdapat tersangka, maka yang layak jadi tersangka orang yang telah menyebarluaskannya.

Dalilnya tertera di dalam undang-undang terkait. Yakni, pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Dalam pasal 45 ayat 1, penyebar diancam pidana penjara 6 tahun. Presedennya dapat dilihat dari berbagai kasus ITE yang terjadi di Indonesia.

"Makanya, kita yakin Pak Saiful tidak bersalah. Kedua, ada putusan di Jawa, kasusnya sama, tapi bedanya itu grup facebook. Diproses di kepolisian, lalu pengadilan, kemudian pengadilan membebaskan, dan menyatakan yang bersangkutan tidak bersalah," tutur Syahrul.

Mahdi mengaku prihatin serta menyayangkan sikap pihak kampus yang membawa kasus ini ke kepolisian. Pengabdian selama puluhan tahun seolah tidak berarti apa-apa untuk dosen lulusan Corneel dan Vermont ini.

"Untuk selanjutnya, sebagai warga negara yang baik, saya akan ikut semua proses hukum," jawab pria yang ahli dengan ilmu statistika ini, Sabtu (31/8/2019).

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.