Sukses

Perempuan 'Baja' di Pusaran Tambang

Dusun berisi 63 kepala keluarga (KK) yang berada di antara, tepatnya diapit, PLTU Unit 1&2, serta sebuah perusahaan sektor tambang bernama PT Mifa Bersaudara.

Liputan6.com, Aceh - World Economic Forum merilis laporan The Global Gender 2018 yang menyebut bahwa kesetaraan gender di Indonesia berada di peringkat 85 dari total 149 negara. Pada 2017 lalu, posisi Indonesia berada di peringkat 84 dari total 144 negara.

Sementara indeks paritas Indonesia di antara negara ASEAN berada di peringkat 6. Angka ini tidak mengalami perubahan dibanding tahun sebelumnya, tetapi mengalami peningkatan dan penurunan pada beberapa subindeks.

Skors subindeks kesetaraan gender kategori partisipasi dan peluang ekonomi pada 2017 lalu bertengger di angka 0,610. Namun, pada 2018 meningkat jadi 0,691. Sementara itu, pencapaian pendidikan berada di angka 0,986, tetapi turun jadi 0,967 pada 2018.

Kesehatan dan keberlangsungan hidup ikut menurun dari 0,976 pada 2017, jadi 0,974 pada 2018. Sementara, pemberdayaan politik tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tersebut, yakni bertahan di angka 0,193. Data ini mengindikasikan bahwa disparitas atau gap di tengah masyarakat Indonesia yang menempatkan perempuan dalam posisi tidak menguntungkan masih kentara.

Berdasarkan studi "Women’s Leadership in Indonesia: Current Discussion, Barriers, and Existing Stigma" dapat disimpulkan bahwa perempuan dengan segala hak yang dimilikinya mau tidak mau harus "menerima" budaya yang berwatak patriarki. Ketika perempuan hanya boleh bereksplorasi sejauh itu masih berada di dalam lingkaran tiga lokus: dapur, sumur, dan kasur.

Padahal, perempuan mengalami kerentanan ganda hampir di setiap kondisi. Konflik lingkungan antara warga Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya, versus PLTU Unit I & II - PT Mifa Bersaudara, tidak hanya merampas kedaulatan perempuan atas sumber dayanya, tetapi juga menyeret perempuan dalam pusaran masalah yang lebih kompleks.

"Habis memasak, menyiapkan makanan, saya pagi-pagi menyapu. Menyapu tengah hari, menyapu sore, menyapu malam, di lantai, meja, dan lainnya. Terus jaga-jaga air, terus ganti lagi. Cek tudung nasi, rak piring, angkat kain, di sekitar rumah. Itu sapu harus sering ganti. Kemudian kerja jahit, buat kerupuk, es lilin. Malam sesak napas," tutur Nur Hamidah (45), saat Liputan6.com menyambangi kediamanannya, Senin sore (15/7/2019).

Foto rontgen, pil, nuvopec, huvanoxil, bronchosal, tera F, botol infus, respimer atau cairan semprot hidung yang diperlihatkannya menunjukkan bahwa perempuan yang usianya mendekati kepala 5 itu tidak dalam kondisi baik-baik saja.

Perempuan kelahiran 1973 itu tinggal di Dusun Gelanggang Merak. Dusun berisi 63 kepala keluarga (KK) yang berada di antara, tepatnya diapit, PLTU Unit 1&2, serta sebuah perusahaan sektor tambang bernama PT Mifa Bersaudara.

Dari rumah Hamidah dapat didengar dengan jelas suara mesin pemutar turbin yang menderum-derum. Dan, hanya perlu mendongakkan kepala dari belakang dapur kecilnya untuk melihat puncak chimney atau cerobong asap raksasa khas PLTU yang berwarna merah putih itu.

Adapun truk-truk pengangkut batu bara saban hari hilir mudik di depan rumah warga dusun itu. Jalan lintas nasional Meulaboh-Tapak Tuan itu beberapa titik tampak bopeng, berdebu dan menghitam, sebab bongkahan batu bara kadang kala jatuh dari atas bak truk lantas mengendap di tanah pinggiran jalan.

Selain mencemari udara akibat aktivitas hilir mudik serta bongkar muat batu bara di stockpile (lokasi penumpukkan batu bara), serta paparan fly ash (abu terbang hasil pembakaran), limbah hasil pembakaran dari mesin pembangkit dituding mencemari alur permukiman itu.

Warga dusun itu sudah lama meminta direlokasi atau tanah dan rumahnya diganti rugi supaya bisa segera beranjak dari wilayah yang sudah layak disebut kawasan industri itu. Namun, realisasinya tarik-ulur, jika tidak dikatakan mandek.

Masalah kian rumit seiring munculnya wacana megaproyek pembangunan PLTU Unit 3&4. Alat berat kini sudah mulai berdatangan, lahan dikeruk, tanah mengunduk dan berkubang, semua tepat di samping permukiman, sementara warga dusun itu masih bertahan, menanti kepastian.

Adapun Hamidah kerap ditemukan bersama perempuan dusunnya sedang melakukan unjuk rasa atau memblokade jalan agar truk bongkar muat tak dapat lewat. Kadang kala pisuh sambil membawa spanduk berisi kecaman dan tuntutan, atau sesekali beradu mulut dengan polisi yang tiba-tiba datang ke lokasi.

Di antara perempuan yang sepenanggungan dengan Hamidah adalah Nek Atun, Irma Wahyuningsih, Cut Wardah, dan Dewi. Mereka dan puluhan perempuan lainnya di dusun itu sering berada di garis depan saat aksi unjuk rasa perusahaan tambang itu, juga yang mengeluh batuk-batuk, sesak pernafasan, hingga gatal-gatal di sekujur badan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Perempuan di Garis Depan

Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Saur Tumiur Situmorang, yang paling tidak diuntungkan dalam situasi tersebut adalah perempuan. Persoalan seputar industri tambang acap direduksi seolah-olah hanya soal pembebasan lahan, kompensasi dan ganti rugi. Padahal, di ruang itulah perempuan banyak tidak memiliki kontrol terhadap sumber dayanya.

Karena tanggung jawab domestik yang diembannya, perempuan lebih berpotensi menjadi korban ketimbang laki-laki. Selain teralienasi dari ruang kehidupannya, kemungkinan perempuan terpapar polusi jauh lebih besar.

"Perempuan itu mengalami kerentanan lebih daripada laki-laki. Terutama yang tambang batu bara ada polusi udara. Selain itu, debu itu masuk ke dalam sumber air. Dan itu berbahaya juga pada alat reproduksi," jelas Saur, dihubungi Liputan6.com, Selasa sore (16/7/2019).

Aksioma ini diamini Kepala Dusun Gelanggang Merak, Muklis, dan salah seorang tokoh masyarakat setempat bernama Fachruddin. Muklis mengakui bahwa porsi keberadaan laki-laki di dusun itu berbeda dengan perempuan karena laki-laki lebih banyak berada di luar, sementara Fachruddin, tak terlalu mengeluhkan soal pernafasan, tetapi tak begitu dengan Cut Wardah, istrinya.

Saur juga menyorot soal sering terabaikannya kepentingan perempuan dalam pencanangan pembangunan baik itu industri tambang ataupun infrastruktur lainnya. Tidak adanya komponen yang mengakomodasi kepentingan perempuan mengisyaratkan langgam pembangunan yang berwatak patriarki.

"Misal, karena di dalam amdal, tidak ada kita lihat komponen dampaknya terhadap perempuan, sehingga ketika proyek pembangunan itu berjalan, kepentingan perempuan juga tidak terakomodir di dalamnya," Saur mencontohkan.

Penyisihan laten juga kerap dialami perempuan di dalam komunitasnya sendiri. Tipisnya suara perempuan dalam pengambilan keputusan atas masalah bersama yang tengah dialami, contohnya.

Pengalaman ini pernah terjadi pada Kamis malam, 21 Maret lalu. Kala itu warga Dusun Gelanggang Merak tengah menggelar pertemuan yang dihadiri camat dalam rangka membahas progres tim bentukan pemerintah kabupaten dan kecamatan serta soal ganti rugi.

Perempuan memang diberi porsi untuk memberi usulan. Namun, usulan dari perempuan di ruangan itu tak lebih dari udara yang menguap dan menghilang bersama hardik jemawa baik dari camat ataupun para laki-laki yang ada di situ.

Hal serupa juga terjadi saat rapat dengar pendapat yang dipimpin bupati di aula Kabupaten Nagan Raya pada Rabu, 21 Agustus tahun lalu. Keluh kesah seorang perempuan soal air bersih dan gatal-gatal yang dialaminya dianggap tidak terlalu penting dibanding tuntutan lainnya.

Padahal, baik itu laki-laki maupun perempuan memiliki taraf dan porsi kepentingan yang sama dari sisi kedudukan. Bahkan, fakta bahwa perempuan berada pada posisi marginal, tetapi dituntut mengurusi persoalan yang jauh lebih kompleks, jika tidak dikatakan lebih berat, dari yang diemban laki-laki, mestinya membuat perempuan dapat porsi lebih.

"Sebagai subjek hukum harus dilibatkan sejak awal. Proses perundingan kah namanya, diskusi kah, namanya. Untuk memastikan kepentingan perempuan terlindungi, hak-haknya atas sumber kehidupan tidak tercerabut," serunya.

Sementara pada hari lain, perempuan-perempuan Dusun Gelanggang Merak kerap berada di garis depan. Mengadang truk-truk pengangkut batu bara, atau beradu mulut dengan polisi yang hendak membubarkan aksi, sementara para laki-laki hanya mengamati dari kejauhan.

Apakah perempuan mengada sebagai tujuan bagi dirinya sendiri, atau melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai kepentingan yang lain? Saur punya alasan tersendiri mengapa perempuan acap berada di garis depan.

Bagi Saur, kendati perempuan seolah dimanfaatkan sebagai 'tameng', namun lebih jauh, perempuan 'berjuang' karena ia makhluk yang mampu melihat 'bion' dari kebutuhan ekonomi, karena itu perempuan punya inisiatif mempertahankan dan memelihara keberlangsungan sumber daya alam.

Selain itu, naluri perempuan yang antikekerasan itu telah mendorong mereka untuk melindungi laki-laki dari hal-hal yang dapat membahayakan. Perlakuan kasar saat vis-à-vis dengan aparat keamanan, misalnya.

"Pada dasarnya perempuan itu berjuang tanpa kekerasan," cetus perempuan yang pernah mengikuti Human Rights Training di Oxford University, Inggris, pada tahun 2000 itu.

Sayangnya, dalam beberapa kasus, setelah masalah teratasi, hak-hak perempuan kembali terpinggirkan. Sekali lagi, perempuan tetap saja dinomorduakan, baik sebelum maupun sesudah.

"Ketika perjuangan berhasil dia terlihat menjadi diabaikan," pungkasnya.

 

3 dari 3 halaman

Sengkarut Masalah: PLTU, Perusahaan Tambang, dan DLHK

Pada Sabtu, 6 April 2019 lalu, sejumlah ikan yang ada di alur permukiman tiba-tiba mengambang, dan PLTU dituduh berada di balik kematian ikan yang terkadang dikonsumsi oleh warga itu. Sebaliknya, manajemen PLTU menolak disebut bertanggung jawab.

Laporan hasil laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Industri dari Balai Riset dan Standardisasi Industri LABBA Banda Aceh, yang keluar pascakejadian mengungkap dari 34 parameter kelas III yang diuji di hilir dan hulu alur Dusun Gelanggang Merak di antaranya melebihi ketetapan baku mutu berdasarkan PP 82 Nomor 2001.

Standar baku mutu clorin bebas harusnya 0,03, namun hasil lab di hulu alur menunjukkan angka 20,01, dan hanya 0,1 di hilir alur dengan tagar 'batas pembacaan alat uji'.

Kandungan sulfida di hulu alur harusnya 0,002 namun yang ditemukan 0,015. Sementara di hilir alur berada di angka 0,009. BOD (Biological Oxygen Demand)-5 di hulu alur mencapai 10,95, di hilir alur 6,57, sementara berdasarkan aturan mestinya 6.

Telah disinggung bahwa PLTU tidak sendiri. PT Mifa Bersaudara bersama perusahaan satu payungnya yakni PT Bara Energi Lestari (BEL) juga dituding sebagai biang polutan. PT BEL-lah yang memasok batu baru ke PLTU, sementara PT Mifa Bersaudara mengekspornya.

PT Mifa Bersaudara adalah perusahaan sektor tambang batu bara yang secara administrasi berada di Kabupaten Aceh Barat dengan wilayah konsesi 3,134 hektare. Perusahaan ini telah melakukan penambangan percobaan sejak 2012, dan telah mengapalkan batu bara ke Lhok Nga, Kabupaten Aceh Besar pada tahun yang sama.

Adapun PT BEL merupakan perusahaan sektor pertambangan yang beroperasi di Kabupaten Nagan Raya yang memiliki wilayah konsesi seluas 1,495 hektare dan dikabarkan telah beroperasi sebelum 2010. Lokasi perusahaan ini jauh dari permukiman, namun tak begitu dengan truk haul-nya sering melintas di muka rumah warga.

PT BEL sempat dicecar perihal kolam bekas galian tambang di lokasi PIT A yang tidak direklamasi sejak ditinggalkan pascaoperasi pertamanya. Namun, Dinas ESDM Aceh mengatakan bahwa bekas galian tersebut belum dinyatakan mineout atau ditutup, dan akan dieksploitasi kembali pada 2021.

Masalah lain adalah tudingan bahwa perusahaan belum menyetor penuh dana kontribusi atau royalti pada 2015-2016. Tudingan ini ditepis oleh manajemen PT Mifa Bersaudara bahwa mereka telah menyetor sebesar Rp8 miliar ke kas negara dan provinsi, berbanding terbalik dengan data yang ditunjukkan oleh Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat.

Sementara itu, PLTU Unit 1&2 merupakan pembangkit listrik tenaga uap pertama di Aceh dengan luas lahan 150 hektare. Pembangkit listrik ini mulai dibangun sejak 2007 dan masing-masing unit mulai beroperasi pada 2013-2014 dengan kapasitas 110 megawatt.

Berkaitan dengan polemik yang sedang terjadi, Manajer PLTU, Hermanto, mengatakan bahwa pihaknya tengah memproses tuntutan warga. Namun, proses penyelesaian, terutama masalah ganti rugi seperti tuntutan warga butuh waktu yang agak panjang, katanya.

"Masalah itu sudah kita sampaikan, kita follow up, tapi di BUMN ini butuh proses dan waktu yang panjang. Terkait proses kami tidak diam, kami memproses ini. Yang permintaan ganti rugi warga," jelas Hermanto, kepada Liputan6.com, Selasa (16/7/2019).

Kuasa Hukum PT Mifa Bersaudara, Sophan Sosila Tumanggor, mengatakan bahwa dalam penyelesaian masalah ini pihaknya mengikuti arahan pemerintah. Terutama jumlah rumah di Dusun Gelanggang Merak yang mesti diganti rugi oleh PT Mifa Bersaudara dan perusahaan satu payungnya, PT BEL.

"Kita serahkan ke pemerintah. Pemerintah yang mengatur ganti ruginya. Kalau pemerintah ini, sekian rumah Mifa, BEL, ya sudah kita bayar," demikian jawaban Sophan, saat dihubungi Liputan6.com, Rabu malam (17/7/2019).

Berkaitan dengan keluhan warga soal polusi, Hermanto menampik bahwa itu berasal dari PLTU. Ia berdalih volume batu bara yang digunakan PLTU sangat terbatas, berbeda dengan tetangganya yang notabene bergerak di sektor tambang batu bara.

"(Namun) ada pemeriksaan kesehatan, kayak tahun kemarin kita ada pengobatan gratis. Terus Corporate Social Responbility (CSR) kita juga jalan juga. Kalau rutin, kami anggaran itu juga terbatas. Enggak bisa semua kita ini, kalau anggarannya turun itu yang bisa kita berikan," kata Hermanto.

Sementara itu, CSR & Corporate Communication Manager PT Mifa Bersaudara, Azizon Nurza, mengatakan bahwa perusahaan telah mengadakan program pemeriksaan dan pengobatan gratis satu bulan sekali yang bekerja sama Puskesmas sejak 2016.

"Serta penyuluhan kesehatan dan pemberian paket gizi setiap enam bulan sekali sebagai wujud komitmen dalam pembinaan kesehatan komunitas di Dusun Gelanggang Merak, Desa Suak Puntong," sebut Azizon, dalam pesannya yang diterima Liputan6.com, Senin malam (15/7/2019).

Dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Nagan Raya, Liputan6.com mendapat jawaban bahwa pemerintah setempat saat ini sedang mengawal sejauh mana komitmen perusahaan menyelesaikan masalah di Dusun Gelanggang Merak.

"Sejauh mana, dan kapan, dan bagaimana pelaksanaannya, sudah sampai kemana. Setahu saya itu sudah berjalan, cuma kita ingin menanyakan progresnya sudah sampai ke mana. Yang jelas kita melakukan pengawasan terus sampai di mana janji mereka," kata Kabid Pengawas dan Penataan Lingkungan DLHK Kabupaten Nagan Raya, Teuku Yusmaidi, kepada Liputan6.com, Senin malam.

 

 

Simak video pilihan berikut ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.