Sukses

8 Bulan Terakhir, 10 Orang di Jabar Meninggal Dunia Digigit Ular

Lembaga non profit bidang studi ular, Sioux Indonesia, mencatat sebanyak 51 warga Jawa Barat menjadi korban gigitan ular dalam rentang waktu November 2018 hingga Juli 2019. Sepuluh orang di antaranya meninggal dunia.

Liputan6.com, Bandung - Lembaga non profit bidang studi ular, Sioux Indonesia, mencatat sebanyak 51 warga Jawa Barat menjadi korban gigitan ular dalam rentang waktu November 2018 hingga Juli 2019. Sepuluh orang di antaranya meninggal dunia.

Hasil riset tersebut juga menunjukkan korban meninggal terbanyak berasal dari kalangan keeper atau orang yang memelihara ular.

"Dalam riset kita, 60 persen di antara para korban adalah berasal dari keeper atau pawang yang biasa memelihara ular. Apalagi saat ini ular jenis venom sedang banyak dipelihara," kata perwakilan Sioux Indonesia regional Jawa Barat, Albiansyah di Bandung, Minggu (7/7/2019).

Dalam kesempatan itu, Albiansyah juga menjelaskan, tingkat kesadaran para keeper maupun pemelihara ular untuk membawa penanganan gigitan ular ke rumah sakit masih rendah.

"Jadi saat kejadian terkena gigitan ular itu masih ada yang pakai cara tradisonal. Kemudian, ada yang malu dibawa ke rumah sakit karena gengsi sehingga meninggal karena tidak ditangani medis," ujar Albiansyah.

Anggota Sioux Indonesia lainnya, Hardy Taipan mengatakan, beberapa daerah yang terdampak gigitan ular yaitu Sukabumi, Cirebon, Bandung, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Sumedang, Tasikmalaya dan Depok.

"Di Sukabumi, sepanjang Mei 2019 saja ada 6 orang yang digigir ular hijau ekor merah (Albolabris). Lalu di Bandung, pada awal Juli ini digigit King Cobra," kata Hardy.

Gigitan ular Cobra dan King Cobra paling banyak menelan korban jiwa. Selain itu gigitan ular juga terdapat pada jenis Albolabris, ular tanah (Calloselasma rhodostoma), ular cabe, jenis ular venom dan phyton.

"Untuk gigitan ular Cobra ada 12 kasus, 3 di antaranya meninggal. Sedangkan kasus gigiyan ular King Cobra ada 5 kali dan hanya satu yang selamat," katanya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Mitos Penanganan Korban Gigitan Ular

Penanganan gigitan ular di masyarakat yang berkembang saat ini masih dipengaruhi mitos. Antara lain mengikat dengan keras bagian tergigit ular.

Padahal, menurut Albiansyah, perlakuan tersebut kurang tepat. Sebab dengan cara tersebut korban akan mengalami kesulitan aliran darah dan terjadi pembusukan.

"Bahkan dengan cara seperti itu ada yang berefek diamputasi," kata dia.

Selain itu, Albiansyah menyebutkan penanganan juga masih ada yang memakai perdukunan. Padahal secara ilmiah hal itu tidak berpengaruh.

"Berdasarkan panduan yang dikekuarkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2015, intinya penanganan awal ketika digigit ular adalah dilakukan imobilisasi. Hal itu dilakukan untuk mengurangi pergerakan korban. Semakin banyak bergerak apalagi situasi panik akan memicu jantung dan mengalir ke seluruh tubuh," katanya.

Dalam kondisi pasca digigit ular, lanjut Albiansyah, korban hanya perlu berbaring setelah dilakukannya imobilisasi. Upayakan semaksimal mungkin tenang cari bantuan dan bawa ke medis.

Adapun cara memastikan racun telah masuk ke dalam tubuh, perlu memperhatikan gejala-gejalanya yang berbeda-beda untuk setiap jenis racun. Untuk racun neurotoksin dari gigitan ular King Cobra misalnya, gejalanya berupa rasa kantuk. Mata tak bisa dibuka karena terjadi kelumpuhan pada otot kelopak mata, sesak nafas, dan kelumpuhan pita suara.

"Selain itu jangan meminum kopi dan alkohol. Untuk menimuan yang mengandung kafein dapat memicu adrenalin dan memompa darah lebih cepat," kata Albiansyah.

Simak video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.