Sukses

Isu Referendum Aceh Muncul Lagi, Manuver Politik Pascapemilu?

Kata referendum kembali populer di Aceh. Keinginan untuk menentukan nasib sendiri mencuat lagi, ada apa?

Liputan6.com, Aceh - Pada 1999 silam, referendum bergaung di Serambi Makkah. Perjuangan untuk menentukan nasib sendiri itu sempat bergema, namun akhirnya kandas karena tak didukung elite politik.

Gema referendum saat itu mencuat di tengah konflik Aceh yang tengah mengeskalasi. Referendum yang digelorakan oleh Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) atas wacana Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) dianggap menjadi jalan terbaik ketimbang harus menempuh jalan kekerasan dengan cara mengangkat senjata.

Aceh hendak mengikuti langkah Timor-Timur yang lepas dari Indonesia melalui jajak pendapat pada 30 Agustus 1999. Intensi menggelar referendum kiranya bukan 'pepesan kosong', pasalnya, simpati dan dukungan terus mengalir saat itu.

Dukungan datang dari lembaga wakil rakyat, hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh. Dukungan dari para elite yang selama ini tak kedengaran gaungnya itu kian memperkuat keinginan referendum yang dimotori mahasiswa.

Mekanisme mencapai kemerdekaan melalui jalan referendum juga mendapat dukungan dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sang Deklalator, Hasan Tiro dan Panglima GAM, Abdullah Syafi'i, diantaranya.

Sebuah media lokal saat itu menurunkan berita yang berisi desakan Hasan Tiro agar referendum segera dilaksanakan. Sementara itu, Abdullah Syafi'i menyebut, referendum merupakan jalan damai yang perlu dihormati, di mana para pejuangnya 'haram' mendapat tindakan koersi aparat.

Sebelumnya, Cable News Network menggelar jajak pendapat untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat provinsi paling barat Pulau Sumatera itu untuk pisah dari NKRI. Hasilnya, sekitar 59 persen menginginkan merdeka, 41 persen tetap bersama NKRI dari total 1.380 responden.

Begitulah, grafiti bertuliskan 'referendum' dengan mudah ditemukan, di dinding, jalan-jalan, bahkan atap rumah saat itu. Puncaknya, ketika jutaan massa berkumpul di Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh pada 8 November 1999 untuk mengikuti Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) Aceh.

SU MPR Aceh memaksa Presiden Indonesia saat itu, Abdurrahman Wahid, setuju dengan niat rakyat Aceh untuk referendum. Sikap Gus Dur tentu saja tak mendapat respons positif dari anggota kabinet dan elite politik di Jakarta.

Apa lacur, referendum menguap, hanya meninggalkan grafiti yang ditulis mahasiswa pada dinding-dinding jalan dan atap rumah warga. Perlahan grafiti itu terhapus hujan, hingga 5 tahun kemudian, Aceh damai, ditandai dengan penandatangan memorandum antara GAM-RI pada 15 Agustus 2005.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Muncul Lagi

Namun, menjelang 14 tahun nota damai tersebut ditandatangani, kata 'referendum' kembali populer di Aceh. Keinginan untuk menentukan nasib sendiri mencuat kembali, ada apa?

Semua berawal saat Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) juga Ketua DPA Partai Aceh (PA), Muzakir Manaf alias Mualem menyampaikan keinginan untuk referendum yang disampaikan dalam acara haul wafatnya Hasan Tiro serta buka puasa bersama di salah satu Gedung Amel Banda Aceh, Senin malam, (27/5/2019).

Eks Wakil Gubernur Aceh periode 2012-2017 itu beralasan, keadilan dan demokrasi di Indonesia tidak jelas arahnya. Ia bahkan menilai Indonesia berada diambang kehancuran.

"...Maaf Pak Pangdam, ke depan, Aceh kita minta referendum saja," ucapnya.

Tidak pelak lagi, pernyataan Mualem disorot banyak pihak. Tidak sedikit yang mendukung eks Panglima GAM pengganti Abdullah Syafi'i itu.

Esk Juru Bicara Partai Aceh (PA), Suadi alias Adi Laweung menyebut, apa yang diutarakan Mualem adalah wajar, mengingat masih banyak subtansi dan amanah dari MoU Helsinki yang belum dijalankan Pemerintah Pusat.

"Karena Indonesia merupakan negara demokrasi, jadi sangat wajar jika ada yang menuntut referendum, apalagi ini juga bagian dari resolusi dari Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UN General Assembly mengenai the right to self-determination," jelas Adi, kepada Liputan6.com, Rabu malam (29/5/2019).

Right to self-determination atau hak menentukan nasib sendiri adalah hak setiap orang untuk secara bebas menentukan kehendaknya sendiri, khususnya dalam hal prinsip mengenai status politik dan kebebasan mengejar kemajuan di bidang ekonomi, sosial, serta budaya.

Eks anggota Biro Penerangan dan Juru Bicara Aceh Merdeka wilayah Pidie itu, menukas bahwa keinginan rakyat untuk referendum masih ada sampai saat ini. Mualem telah memantiknya kembali. 

"Buktinya, begitu Mualem mengutarakan tentang referendum langsung menjadi trending topic dan menjadi bahasan rakyat baik secara langsung maupun di berbagai media sosial," katanya.

Pendapat serupa datang dari Nurdin alias Din Raja Rimba. Mantan kombatan GAM wilayah Aceh Barat itu mengatakan, dirinya mengaku siap mengikuti komando dari Mualem, sang panglima.

"Indonesia masih belum merealisasikan janji-janjinya. Kalau bertele-tele begini, tidak mungkin. Lebih baik referendum. Seperti kata Mualem," ujarnya kepada Liputan6.com, Rabu malam (30/5/2019).

 

3 dari 4 halaman

Bukan Manuver Politik?

Pengamat Politik Universitas Malikussaleh (Unimal), Taufik Abdullah mengatakan, pernyataan Mualem patut menjadi diskursus pemerintah pusat bukan dilihat semata karena Partai Aceh adalah tandem politik Partai Gerindra.

"Statement tersebut sebenarnya ditujukan pada pengelola negara, dalam hal ini Jokowi sebagai presiden RI. Pemicunya tidak semestinya dilihat dari posisi Mualem sebagai pendukung dan loyalis Prabowo. Ini harus dilihat sebagai kritik tajam pada rezim saat ini untuk berbenah," kata Taufik, kepada Liputan6.com, Rabu malam (29/5/2019).

Lebih jauh, Taufik mengatakan, keinginan referendum yang diutarakan Mualem bukan manuver atau sensasi politik belaka.

Dalam terawangannya, Mualem memandang pengelolaan negara yang berpusat di Jakarta lemah, sementara, di sisi lain, situasi pembangunan di Aceh bergerak sangat lambat. Hal ini membuat Mualem berkeyakinan bahwa peace building process pasca perjanjian damai hanya cek kosong. 

"Aceh butuh kepastian politik dan kepastian hukum atas implementasi kewenangan kekhusussan berdasarkan MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA)," tuntasnya.

 

 

4 dari 4 halaman

Sarat Kepentingan Politik

Bertolak dengan Taufik, Pengamat Politik dan Keamanan Aceh, Aryos Nivada, melihat pernyataan Mualem tersebut sebagai pernyataan yang bernuansa politis atau sarat kepentingan.

"Apakah kepentingan Pilpres. Atau pun, kepentingan untuk memerhatikan mereka lagi. Ini bagian untuk melihat reaksi saja dari apa yang menjadi target kepentingan Mualem," kata Aryos kepada Liputan6.com, Rabu malam (29/5/2019).

"Kalau ini menggelinding, ini namanya bentuk untuk melihat bagaimana arus dukungan dari masyarakat maupun dari kalangan eks kombatan itu sendiri, maupun GAM. Tetapi, kita lihat, terjadi penolakan dari kelompok mereka sendiri," tambahnya.

Untuk diketahui, Mantan Menteri Pertahanan GAM Teungku Zakaria Saman, menilai pernyataan Muzakir Manaf merupakan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Menurutnya, Mualem tidak memiliki kapasitas untuk itu.

Aryos mengatakan bahwa referendum sudah tidak relevan dalam konteks Aceh secara kekinian. Lagi pula, peluang untuk menentukan nasib sendiri atau pisah dari NKRI sudah tidak ada lagi.

Sebagaimana diketahui, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tap MPR RI Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum. Telah keluar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum.

"Bagaimana mau referendum? Kita diikat dalam bentuk MoU Helsinki. Kita diikat dalam undang-undang nomor 11, produk dari MoU Helsinki. Mau tidak mau, referendum itu basi!" ketus Aryos.

Bagi Aryos, pemerintah pusat tidak perlu menanggapi pernyataan Mualem. Keinginan referendum yang diutarakannya dinilai Aryos tak lebih dari strategi sang eks panglima untuk menggaet simpati rakyat Aceh, mengingat elektabilitas Partai Aceh (PA), kian melongsor belakangan ini.

Tak bisa ditampik, jumlah perolehan kursi partai lokal yang sebagian besarnya didiami oleh eks kombatan GAM di lembaga dewan Aceh melorot dari tahun ke tahun. Pada pemilu 2009, komposisi kursi yang diperoleh PA mencapai 33, menurun menjadi 29 kursi pada Pemilu 2014, dan hanya 18 kursi pada Pemilu 2019.

"Tidak perlu ditanggapi, orang dia juga hanya untuk bargaining position saja. Untuk kepentingan Pilpres dan dirinya sendiri. Habis energi kalau Pemerintah Pusat menanggapi hal ini," ketus peneliti Jaringan Survey Inisiatif sekaligus Dosen FISIP Universitas Syah Kuala itu.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.