Sukses

Tradisi Bersuci Diri Sambut Ramadan di Riau

Masyarakat Melayu dalam menyambut Ramadan biasanya melaksanakan Mandi Balimau Kasai dan dikemas dalam upacara adat Petang Megang, ada juga upacara Tegak Tonggol sebagai tanda keharmonisan.

Liputan6.com, Pekanbaru- Menjalin silaturahmi yang retak serta meminta maaf sebagai bentuk penghapusan dosa menyambut Ramadan tak hanya diperintahkan agama Islam. Dalam masyarakat Melayu Riau, hal serupa sering dilakukan beberapa hari menjelang puasa dan diupacarakan secara adat.

Upacara ini dikenal dengan Tegak Tonggol atau mendirikan panji-panji kesukuan. Biasanya dilaksanakan masyarakat adat di Langgam, Kabupaten Pelalawan, beriringan dengan upacara Petang Megang Balimau Kasai.

Menurut Ketua Majelis Kerapatan Adat di Lembaga Adat Melayu Riau Al Azhar, tegaknya tonggol atau panji adat merupakan simbol keharmonisan antara anak kemenakan internal suatu suku ataupun antar suku di Langgam.

Panji adat tidak akan bisa didirikan selama upacara berlangsung jika hubungan di internal suku masih ada masalah. Tetua adat diwajibkan berembuk sehingga ada titik temu permasalahan yang ada, barulah panji bisa ditegakkan di tengah upacara.

"Jadi ini sebagai simbol keharmonisan, tidak ada masalah lagi antara anak kemenakan di suku ataupun dengan suku lain," kata Al Azhar di Pekanbaru, Kamis siang, 2 Mei 2019.

Tak hanya anak kemenakan, permasalahan dalam kesukuan biasanya juga menimpa pucuk atau tetua. Biasanya ada perselisihan dengan anak kemenakan terkait klaim tanah ulayat atau tetua yang dicurigai mencederai suku selama memimpin.

"Misalnya mencederai aturan adat, itu sudah harus selesai menjelang upacara. Itulah bentuk kesucian masyarakat Melayu menyambut bulan suci Ramadan," sebut Al Azhar.

Biasanya, permasalahan adat kesukuan tidak bisa disembunyikan. Selalu saja muncul riak-riak ke permukaan meskipun disimpan secara rapat. Anggota suku biasanya menyampaikan permasalahan menjelang upacara dilangsungkan.

"Kalau semuanya sudah selesai, baru panji kebesaran suatu adat bisa ditegakkan, kalau belum selesai, panji tidak bisa ditegakkan," ucap Al Azhar.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Simbol Menyucikan Diri

Lebih jauh Al Azhar menyampaikan, tradisi masyarakat Melayu dalam menyambut Ramadan dikenal dengan Balimau Kasai. Kegiatan ini ada yang dilaksanakan di keluarga saja dan ada pula yang diupacarakan.

Mandi Balimau Kasai menggunakan air dengan wangi-wangian khas, dicampur bunga rampai, irisan jeruk purut serta akar-akaran. Semua bahan itu diletakkan dalam wadah lalu dicampur air secukupnya.

"Kalau dilaksanakan di keluarga, biasanya ayah dan ibu memandikan anaknya, atau abang ke saudaranya," sebut Al Azhar.

Menurut Al Azhar, mandi Balimau Kasai merupakan simbol menyucikan diri menyambut Ramadan. Usai mandi, anak-anak lalu meminta maaf kepada orangtuanya, atau istri ke suami, lalu berlanjut ke tetangga.

"Hal ini sudah dilakukan sejak zaman dahulu, sebagai simbol menyucikan diri," tegas Al Azhar.

Sementara yang diupacarakan, esensinya juga sama. Hanya saja dikemas dalam bentuk pesta adat yang biasa dilaksanakan di pinggir sungai dan selalu dihadiri pemuka masyarakat, tokoh adat, dan pemerintah.

Di Pekanbaru, upacara ini dilaksanakan di pinggir Sungai Siak. Sementara di Kabupaten Kampar dan Pelalawan dilakukan di Sungai Kampar. Hal serupa juga diupacarakan masyarakat pesisir seperti Rokan Hilir, Bengkalis, dan Selatpanjang.

"Kalau di Pelalawan ada juga namanya Mandi Balimau Sultan oleh kerajaan di sana, sudah dilaksanakan sejak zaman kerajaan dulu. Di setiap daerah, tradisi ini disebut dengan Petang Megang," jelasnya.

Secara harfiah, petang diartikan hari terakhir di bulan Syakban, di mana malamnya sudah masuk hari pertama Ramadan. Sementara Megang adalah memegang atau kemantapan memasuki Ramadan.

 

3 dari 3 halaman

Pergeseran Makna

Dahulu, tradisi ini menjaga kebersamaan kaum muda untuk menyambut Ramadan. Sehari sebelumnya, anak muda laki-laki akan masuk ke hutan mencari bunga rampai, akar-akaran khusus, serta jeruk perut.

Berikutnya, hasil pencarian itu diolah anak perempuan sehingga menjadi ramuan Balimau Kasai. Biasanya ada yang dibungkus ataupun diletakkan saja dalam wadah besar untuk dipakai bersama secara bergantian.

Seiring perkembangan zaman, kebiasaan mencari sendiri bahan Balimau Kasai sudah tidak dilakukan. Masyarakat lebih memilih yang instan karena sudah banyak dijual di pasar.

"Itu salah satu pergeserannya, sudah ada di pasar, orang lebih memilih membeli dari pada membuat sendiri," jelas Al Azhar.

Al Azhar mengakui, Balimau Kasai yang diupacarakan (Petang Megang) sudah banyak mendapat kritik dari beragam kalangan. Pasalnya, sebagian anak muda menjadikan acara menyucikan diri ini menjadi bercampur diri.

"Di sungai banyak bercampur antar laki-laki dan perempuan bukan muhrim, riang gembira terlepas dari esensi awal," imbuh Al Azhar.

Seharusnya, tegas Al Azhar, pesta menyambut Ramadan tidak dinodai ulah sebagian warga yang hanya ingin mencari kesenangan. Pasalnya, esensi dari Petang Megang adalah simbol bersuci secara adat.

 

Simak video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.