Sukses

Soal Ujian Nasional SMP di Garut Menuai Protes Ormas Islam

Soal ujian nasional mata pelajaran bahasa Indonesia di Garut, Jawa Barat menuai protes Anshor dan Banser, yang dinilai menyudutkan mereka, akibat insiden pembakaran bendera HTI, Oktober tahun lalu.

Liputan6.com, Garut Salah satu soal Ujian Nasional (UN) Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, menuai protes pengurus Nahdlatul Ulama (NU) dan Banser Garut, Jawa Barat.

Puluhan kader Banser, PMII, Anshor dan beberapa pengurus NU Cabang Garut, langsung mendatangi kantor Dinas Pendidikan Garut, mempertanyakan soal mata pelajaran Bahasa Indonesia nomor 9 yang dianggap menyudutkan ormas terbesar tanah air tersebut.

Satuan Koordinasi Wilayah Barisan Ansor Serbaguna (Satkorwil Banser) Jawa Barat Yudi Nurcahyadi berang dengan soal tersebut. Menurutnya, peristiwa tersebut seharusnya tidak dijadikan bahan soal.

"Hal ini (perihal pembakaran Bendera dan pembubaran HTI) sudah tidak relevan lagi diangkat, sebab perkaranya sudah selesai, apalagi dibahas pada soal UN," ujarnya, Rabu, 10 April 2019.

Lembaganya berharap agar pemerintah Garut bertanggung jawab, dan meminta Bupati Garut memberikan sanksi atas beredarnya soal ujian, yang dianggap menyudutkan NU dan Banser ini. "Kami minta bupati mencopot Kadisdik Garut dan pihak-pihak yang membuat soal tersebut," ujarnya.

Sebelumnya, soal ujian nasional mata pelajaran Bahasa Indonesia nomor 9, dianggap menyinggung perasaan kalangan Nahdliyin. Dalam teks 1 soal nomor 9 tersebut, terdapat kutipan berita dari salah satu portal yang dinilai tidak pantas untuk dijadikan soal ujian, yakni:

Tokoh ulama Garut Tatang Mustafa Kamal mengecam aksi pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia(HTI) yang dilakukan Bantuan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama (NU). Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Melangbong Garut itu mendesak agar anggota Banser NU segera menyampaikan permintaan maaf karena anggotanya telah menghina kalimat tauhid dan umat Islam di seluruh dunia.

Kemudian diperjelas dengan munculnya teks 2 pada nomor soal yang sama, mengenai aksi pembakaran bendera pada saat Hari Santri Nasional 22 Oktober tahun lalu.

Pasca adanya pembakaran bendera di Garut, Jawa Barat saat peringatan hari oleh 3 anggota Banser, mulai terdengar agar organisasi yang dipimpin Gus Yaqut itu dibubarkan. Alasannya, karena keberadaannya tidak berguna, bahkan cenderung arogan.

Sontak kedua teks dalam satu nomor soal ujian nasional itu langsung mematik kemarahan kalangan pesantren dan Nahdliyin kota Dodol. Mereka meminta Dinas Pendidikan bertanggung jawab atas kelalaian itu.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Anshor-Banser Geruduk Dinas Pendidikan

Tak berselang lama sejak munculnya soal tersebut dalam ujian nasional, puluhan anggota Banser dan Ansor Garut langsung mendatangi Kantor Dinas Pendidikan Garut, Rabu petang.

Ketua PAC Ansor Kecamatan Tarogong Kaler Muhammad Sofiyulloh mengaku kecewa dengan munculnya soal ujian nasional, yang dinilai menyudutkan tersebut. "Kedatangan kami untuk mengklarifikasi, apakah ada unsur kesengajaan, atau tidak," ujarnya.

Menurutnya, munculnya soal tersebut cukup mengusik ketentraman umat Islam, terutama menjelang puncak demokrasi pelaksanaan pemilu, 17 April mendatang. "Soal itu (USBN) sangat merugikan dan meyudutkan kami, apalagi dianggap organisasi yang anarkis," ujarnya.

Sofi menyatakan, persoalan kasus pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sudah final dan minta untuk tidak dipersoalkan lagi, seiring keputusan tetap ihwal dilarangnya HTI di Indonesia. "Kami menuntut ujiannya diulang untuk Bahasa Indonesia, dan semua berkasnya ditarik," pinta dia.

Hal sama disampaikan Undang, salah satu pengurus Banser Garut. Menurutnya, munculnya soal berbau anarkis tersebut dinilai bentuk kelalaian dari pemerintah daerah. "Di sini seperti ada keterlibatan orang HTI, sehingga memunculkan persoalan besar," kata dia.

Dalam pembuatan soal tersebut, Dinas Pendidikan menyumbang sekitar 80 persen bahan ujian, sedangkan 20 persen sisanya berasal dari soal pemerintah pusat. "Di MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) kan ada pemeriksaan, tetapi kenapa masih lolos, jelas ini tidak profesional," kata dia.

Ia berharap, dengan adanya kelalaian tersebut, lembaganya meminta agar Bupati Garut memberikan sanksi yang tegas kepada seluruh pihak yang terlibat. "Ini kan USBN, apalagi ini mau menghadapi hajat politik nasional, seperti sengaja dibuat memanas," ujarnya.

3 dari 3 halaman

Permintaan Maaf

Kepala Dinas Pendidikan Totong mengaku kecolongan dengan munculnya soal ujian nasional tersebut. "Kami dengan tulus, atas nama keluarga Dinas Pendidikan Garut memohon maaf sebesar-besarnya, kami tidak ada maksud apa pun terkait soal itu," ujar dia di depan wartawan.

Menurutnya, prosedur pembuatan soal USBN dibagi dua porsi antara Dinas Pendidikan Garut dan Kementerian Pendidikan Nasional. "Porsinya 80 persen dari Garut dan 20 persen dari pusat," ujarnya.

Dalam praktiknya, seluruh soal yang sudah disiapkan kemudian dikaji dan diteliti oleh tim MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang telah ditunjuk Pemerintah Daerah. "Jadi merekalah yang mengedit seluruhnya," ujarnya.

Lembaganya kerap mengingatkan seluruh tim penyusun, agar tidak menyinggung soal SARA yang dianggap cukup sensitif di kalangan masyarakat. "Jadi kelihatannya ini (soal ujian yang dipersoalkan) dibuat dari Tim MGMP Garut, karena kalau nasional sudah booming (menyebar luas)," ujarnya.

Untuk meredakan konflik yang terjadi, lembaganya tak segan langsung mengusulkan pergantian pejabat terkait mulai Kepala Bidang SMP, Kepala Seksi Kurikulum, dan MGMP yang bertanggung jawab dalam persoalan itu.

"Kami sudah mengusulkan kepada Bapak Bupati agar ada punishment bagi pihak terkait," dia menegaskan.

Tidak hanya itu, lembaganya akan menarik seluruh berkas ujian dan melakukan ujian susulan seluruh siswa SMP, khusus mata pelajaran bahasa Indonesia. "Sekali lagi kami selaku pimpinan Dinas Pendidikan memohon maaf atas kejadian yang terjadi kali ini," dia menandaskan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.