Sukses

Solusi Menepis Ancaman Pasar Online untuk Produk Kerajinan Tangan

Kebanyakan produk kerajinan yang dijual di market place memasang harga bersaing.

Liputan6.com, Yogyakarta - Seiring dengan perkembangan bisnis di era Revolusi Industri 4.0, pelaku usaha kerajinan tangan yang banyak tersebar di beragam UMKM menghadapi dilema. Keberadaan pasar online dianggap membuat produk mereka lebih cepat diserap. Faktanya, pasar online justru membuat produk-produk kerajinan tangan menjadi tidak bernilai.

"Market place yang ada sekarang justru melemahkan UMKM yang bergerak di kerajinan tangan," ujar Bio Hadikesuma, konsultan Innovating Jogja, di sela-sela peluncuran Innovating Jogja 2019, Kamis (4/4/2019).

Kebanyakan produk kerajinan yang dijual di market place memasang harga bersaing. Sebab, produk-produk dari Cina berani masuk dengan harga yang sangat terjangkau. Akibatnya, harga kerajinan lokal menjadi sangat rendah.

Variasi kerajinan tangan beragam, mulai dari batik sampai karya seni rupa lainnya. Alasan pelaku usaha memasarkan produknya di market place menjadi muara persoalan yang dihadapi UMKM.

Menurut Bio, permasalahan yang kerap melanda pelaku usaha kerajinan di Indonesia adalah pandai membuat atau memproduksi sesuatu tetapi tidak pintar dalam berjualan. Kebanyakan orang membuat lebih dulu, setelah itu kebingungan menentukan pasar.

"Seharusnya melihat peluang dulu, baru belajar membuat sesuatu," ucapnya.

Melalui Innovating Jogja 2019 yang digagas oleh Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) Kementerian Perindustrian RI, pelaku usaha diharapkan tidak hanya bisa menghasilkan produk secara teknis, melainkan juga mempelajari manajemennya. Manajemen yang diajarkan, meliputi, karakter bisnis, analisis pasar, dan pendampingan.

Ia mengungkapkan pasar produk kerajinan dari Yogyakarta justru tidak cocok dijual di Yogyakarta. Sebab, Yogyakarta sudah menjadi gudangnya kerajinan.

Sebaliknya, jika produk dipasarkan di luar daerah, maka berpotensi harga jual lebih tinggi. Ia mencontohkan, produk inovasi batik dijual di Yogyakarta hanya Rp 200.000, sedangkan ketika dipasarkan di Jakarta bisa mencapai Rp 2 juta.

Ia juga tidak mempersoalkan penjualan secara online, selama produk memiliki karakter. Bentuk karakter yang paling nyata bisa membuat situs sendiri dan tidak bergabung dengan market place.

"Jadi konsumen pun penasaran dan ada usaha untuk mendapatkan produk secara langsung karena susah didapatkan di market place," tutur Bio.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Memunculkan Ide Inovasi Bisnis

Innovating Jogja 2019 merupakan perhelatan ketiga setelah Innovating Jogja 2016 dan 2018. Kegiatan tahun ini menitikberatkan pada pertumbuhan usaha yang bergerak pada bidang kerajinan dan batik.

"Selama ini kami sudah melakukan 23 inkubasi," ujar Titik Purwati Widowati, Kepala BBKB.

Hasil dari Innovating Jogja 2016, antara lain, Wastraloka yang bergerak dalam bidang seni lukis pada kerajinan kaleng, Janedan yang mengusung kerajinan kulit tanpa jahit, dan Alra berupa bisnis kerajinan kulit kekinian.

Sedangkan pada 2018, program ini menghasilkan Tizania Batik yang bergerak dalam bidang batik latar ringkel dan By&G yang menghasilkan tas tenun agel kombinasi batik.

Untuk kegiatan tahun ini, Innovating Jogja akan menyeleksi calon tenant yang memiliki inovasi di bidang kerajinan dan batik serta calon tenant yang belum memiliki inovasi tetapi berminat untuk memanfaatkan teknologi kompor listrik batik tulis.

Mereka yang lolos seleksi administratif dan presentasi akan mengikuti kegiatan boothcamp. Empat tenant terpilih akan mendapatkan program penguatan teknis produksi, pembangunan, dan pengembangan bisnis dari BBKB serta bantuan produksi senilai Rp 20 juta.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.