Sukses

6 Bulan Usai Gempa dan Tsunami, 6.000 Anak Palu Masih Tinggal di Huntara

Ribuan anak masih membutuhkan hunian permanen usai 6 bulan setelah bencana gempa dan tsunami yang melanda Sulawesi Tengah September 2018.

Liputan6.com, Jakarta Ribuan anak masih membutuhkan hunian permanen usai 6 bulan setelah bencana gempa dan tsunami yang melanda Sulawesi Tengah September 2018.

Sekitar 6.000 anak masih tinggal di hunian sementara, dan dalam kesehariannya bergulat dengan saluran pembuangan terbuka serta tumpukan puing-puing tajam berikut terpapar risiko berbagai penyakit seperti diare dan pneumonia. Saat ini, demam berdarah juga mulai merebak lagi di berbagai penjuru Indonesia.

“Saat puluhan ribu orang sudah bisa dijangkau, enam bulan setelah bencana ini kami masih sangat khawatir dengan kondisi 6.000 anak yang masih tinggal di hunian sementara seperti tenda, serta ribuan lainnya yang tinggal di rumah-rumah rusak. Hunian sementara ini memiliki kondisi sangat seadanya – tenda-tenda atau rumah-rumah sementara – dan juga kerap tidak berlantai, sehingga akan banjir ketika hujan,” kata Tom Howells, Response Team Leader Save the Children (Yayasan Sayangi Tunas Cilik) di Indonesia.

Indonesia tidak asing untuk bencana alam, tetapi 2018 bisa dipandang sebagai tahun yang cukup berat dengan 2.436 bencana alam. Lebih dari 5.000 orang kehilangan nyawa karena gempa, tsunami dan longsor di seluruh negeri pada tahun 2018, ribuan lain luka-luka, serta puluhan ribu lebih kehilangan tempat tinggal. Untuk banyak anak di Indonesia, 2018 merupakan tahun yang akan membekas dalam kehidupan mereka.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Bencana Paling Mematikan

Lebih dari 4.300 orang tewas dan lebih dari 170.000 orang kehilangan tempat tinggal dalam bencana di Sulawesi, yang juga merupakan bencana yang paling mematikan dalam dekade ini di Indonesia. Peristiwa ini juga merusakkan dan menghancurkan lebih dari 40.000 rumah, termasuk yang lenyap ditelan fenomena langka ‘likuefaksi’ yang menyebabkan lempengan bumi berubah menjadi cair.

Salsa, 10 tahun, tinggal di tenda bersama kedua orang tuanya sejak tsunami menghancurkan rumah mereka. Tendanya tidak memiliki lantai dan pintunya hanya berupa selembar selimut yang tentunya tidak dapat tertutup secara aman.

“Karena ombak besar, fondasi rumah kami terbelah … saya bersama sepupu saya. Saya menangis dan mencari ibu saya,” kata Salsa “biasa kalau tidur banyak tikus.”

 

3 dari 3 halaman

Save the Children

Sejak bencana melanda, Save the Children di Indonesia (Yayasan Sayangi Tunas Cilik) telah bekerja untuk memastikan agar kebutuhan utama anak-anak dapat dipenuhi dan layanan-layanan dasar bisa beroperasi. Hingga saat ini, distribusi barang-barang bantuan sendiri sudah menjangkau lebih dari 100.000 orang berupa perlengkapan hunian, perlengkapan kebersihan, air bersih dan kelambu. Organisasi ini juga melakukan pelatihan penggunaan kayu dengan para pekerja bangunan di tiga desa yang paling parah serta menyediakan uang tunai bagi keluarga-keluarga yang paling rentan sehingga mereka bisa membangun kembali hunian-hunian mereka.

“Skala kerusakan di sini menandakan bahwa upaya pertolongan masih sangat dibutuhkan dalam jumlah sangat besar, bahkan untuk negara yang rentan bencana seperti Indonesia dengan kapasitas pemerintah yang cukup kuat. Gempa susulan masih terasa, enam bulan berjalan dan kita masih bisa melihat di lapangan bahwa bencana ini sangat menekan dan merapuhkan anak-anak dan orang dewasa. Namun, dana sudah mulai mengering, dan kami memanggil komunitas internasional untuk merogoh lebih dalam lagi dukungan terhadap upaya-upaya penanganan guna menolong para keluarga tersisa untuk bisa bangkit kembali,” ujar Howells.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.