Sukses

"Before Too Late Sumatera Forest", Kegelisahan yang Dibagi

Melalui buku ini, ada rasa gelisah yang mesti dibagi. Gelisah yang terus berpendar dan diharapkan akan menjadi virus yang menjangkiti semua orang.

Liputan6.com, Yogyakarta Fotografer perempuan yang memulai kariernya di Yogyakarta, Regina Safri, membagikan kegelisahan yang dirasakannya lebih dari tiga tahun lewat buku foto. Buku foto berjudul Before Too Late Sumatra Forest Expedition ini merekam cerita dan foto-foto kehidupan satwa di hutan Sumatera yang membuat orang bergidik ngeri.

Bagaimana tidak, Regina menuliskan pengalaman dan menggambarkannya lewat foto di buku setebal 105 halaman ini. Lebih dari 20 titik hutan di sepanjang Sumatera, dari Aceh sampai Lampung, telah dijelajahinya.

"Buku ini jadi medium kampanye, supaya orang menjadi gelisah setelah mengetahui keadaan dan kondisi hutan di Sumatera seperti apa yang sesungguhnya," ujar Rere, sapaan akrabnya, dalam diskusi dan peluncuran buku di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Rabu (20/3/2019).

Buku ini merupakan buku foto kedua karya Rere. Pada 2012, ia pernah membuat buku foto yang menceritakan kehidupan orangutan di Kalimantan.

Namun, ketika itu ia hanya menjelajahi dua provinsi di Kalimantan, yakni Kalimantan Timur dan Tengah, dan hnya memakan waktu delapan bulan. Rasa penasaran terhadap kondisi hutan membuatnya ingin tahu lebih banyak. Ia pun memilih Sumatera untuk pembuatan buku foto selanjutnya.

Mengeksplorasi hutan Sumatera membuat Rere merasa prihatin. Bahkan ia sampai memiliki analogi kiamat sebenarnya dibuat oleh manusia.

Perburuan liar membuat ekosistem hutan tidak seimbang. Belum lagi, industri membuka lahan dengan membakar hutan tanpa pertimbangan.

Padahal, kebakaran hutan sudah tentu merusak ekosistem yang ada di dalamnya, termasuk satwa. Belum lagi dampak ke pemanasan global yang membuat es di kutub mencair.

Ia juga memperkirakan dalam 10 tahun gajah bisa punah jika kondisi tetap seperti ini.

Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) mencatat sekitar 150 gajah terbunuh dalam kurun waktu empat tahun, dari 2012 sampai Februari 2016.

Populasi gajah, liar dan jinak, juga mengalami penurunan. Pada 1985, gajah sumatera berkisar 2.800 sampai 4.800 individu, sedangkan pada 2014 populasinya turun menjadi 2.000 sampai 1.700 individu.

"Padahal gajah itu salah satu hewan yang membuka kehidupan di hutan, ia membuka jalan semak yang memungkinkan organisme lain tumbuh dan berkembang," kata mantan fotografer Antara ini.

Simak video pilihan berikut:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kisah Erin yang Mengharukan

Salah satu hal yang mendorong Rere untuk segera meluncurkan buku foto ini adalah kisah gajah liar di Lampung bernama Erin.

Ia bercerita pertemuannya dengan Erin pada 2016. Saat itu, Erin adalah bayi gajah liar berumur dua tahun. Ia ditemukan dan dievakuasi oleh ranger di Way Kambas.

"Kondisi Erin belalainya nyaris putus kena kawat sling pemburu, dia ditinggal oleh gerombolan gajah lainnya karena sudah sekarat," ucap Rere.

Erin bisa diselamatkan, tetapi belalainya diamputasi sebagian. Bisa dibayangkan, gajah hidup tanpa belalai. Erin sulit mengambil makanan, ia merengek setiap kali kesulitan beraktivitas karena belalainya nyaris tidak berfungsi.

"Sebagian keuntungan penjualan buku ini juga akan saya donasikan untuk Erin, dulu juga pernah saya bikin kaus donasi untuk Erin," tutur Rere.

Ia menilai, kasus Erin sebagai contoh gajah tidak sepenuhnya aman jika dilepas ke habitatnya. Perburuan liar menjadi ancaman.

Di tempat konservasi, gajah pun terancam virus herpes yang sampai sekarang belum ada vaksinnya.

"Saya berharap pemerintah bisa ikut andil membantu keberlangsungan populasi gajah," ucapnya.

 

3 dari 3 halaman

Dimana Hutan Paling Kritis?

Melalui ekspedisinya, Rere juga menemukan fakta keberadaan hutan di Riau paling kritis. Pembakaran hutan untuk alih fungsi lahan menjadi perkebunan membabat habis penyeimbang alam itu.

"Saya pernah menumpang helikopter TNI AU dan melihat situasi hutan yang terbakar dari atas," ujarnya.

Ia belum pernah melihat kebakaran seluas itu dan merasa khawatir jika hutan benar-benar habis. Meskipun tidak menentang industri, tetapi Rere ingin ada kepedulian dari pengusaha terhadap lingkungan.

"Alih fungsi lahan tidak masalah tetapi jangan serakah, jangan semua dibakar," tuturnya.

Pendapat Rere tentang hutan di Riau yang rusak parah juga dibenarkan oleh polisi hutan dan ranger yang ditemuinya. Mereka setuju jika hutan di kawasan itu menjadi neraka bagi satwa liar. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.