Sukses

Menengok Aktivitas Pagi Suku Bajo yang Baru Mengenal Daratan

Suku Bajo yang sudah mulai berhenti melaut sejak awal 1990-an kini banyak hidup di darat. Meraka pun diajari untuk merawat hutan yang berada di pesisir Konawe, Sulawesi Tenggara.

Liputan6.com, Konawe - Siapa yang meragukan kehebatan Suku Bajo sebagai pelaut ulung? Pelaut dari tanah Sulawesi itu mampu bertahan di tengah laut dalam waktu lama dengan hanya menggunakan perahu kayu serta mengandalkan rasi bintang sebagai penggati kompas.

Sayangnya, jauh di pesisir Kendari, Sulawesi Tenggara, telah banyak Suku Bajo yang meninggalkan aktivitas melaut. Sejak awal 1990-an mereka dipaksa pemerintah untuk belajar hidup di daratan. 

Mau tidak mau Suku Bajo pun akhirnya mulai beradaptasi dengan kehidupan alam di pesisir. Mereka mulai belajar untuk bertahan hidup bukan hanya dengan cara melaut, tapi juga bercocok tanam.

Ada banyak tantangan yang harus dihadapi oleh warga Suku Bajo. Selain karena bercocok tanam tidak pernah diajarkan oleh nenek moyang mereka, mendapatkan air bersih juga menjadi hal sangat sulit bagi warga Suku Bajo yang bermukim di Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

Bagaimana tidak, hanya ada satu sumber mata air pegunungan di wilayah tersebut. Sedangkan, populasi keseluruhan yang bermukim di wilayan itu mencapai 15.000 jiwa.

"Hanya ada satu sumber air saja, sekitar 2 kilometer diatas perbukitan. Jadi, warga menggunakan pipa kecil untuk mengalirkan air bersih hingga ke pesisir," kata Om Kende (70), tokoh masyarakat Suku Bajo di Kecamatan Soropia, Sabtu, 16 Maret 2019.

Om Kende menceritakan, wilayah perbukitan Konawe menjadi lokasi yang penting sebagai penyokong kebutuhan warga akan air bersih.  Sayangnya pemerintah setempat kurang memberikan perhatian kepada wilayah tersebut.

"Saya tidak tahu di kecamatan lain. Tapi, kalau disini belum ada penghijauan. Masih tanaman pohon yang dulu," ujar Om Kende.

Penghijauan yang tidak pernah dilakukan oleh pemerintah setempat akhirnya menggugah hati sejumlah kelompok pemerhati hutan. Apalagi, ancaman kerusakan ekosistem hutan di wilayah pesisir Sulawesi Tenggara cukup tinggi.

Sedikitnya ada 1200 bibit pohon yang ditanam pada Sabtu, 16 Maret 2019. Para kelompok pemerhati hutan itu melibatkan anak-anak dari Suku Bajo dan warga lainnya untuk membantu mereka menanam berbagai jenis bibit pohon di lahan seluas 2 hektare di kawasan Taman Hutan Rakyat Nipa-Nipa.

"Kami lihat, Suku Bajo kini mulai bergantung di daratan terutama untuk air bersih. Disisi lain, hutan Sultra yang sudah terancam, makanya perlu menyadarkan generasi mereka agar sadar pentingnya hutan," ujar Fanca Yanuar Kusuma, Kepala Manggala Agni Daerah Operasi Tinanggea, saat diwawancara terpisah.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Potensi Wisata dan 900 Ribu Hektare Hutan Kritis

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun Liputan6.com, Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki hutan dengan luas sekitar 2,3 juta hektare. Namun, 900 ribu hektare diantaranya sudah dalam kondisi kritis. 

"Ada 300 ribu hektar masuk dalam kawasan hutan yang dilindungi, sedangkan 600 ribu hektar lainnya diluar kawasan hutan," ujar Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara, Rusbandriyo, saat dikonfimrasi dihari yang sama.

Menurutnya, sekitar 70 ribu hektar dari total keseluruhan hutan yang kondisinya kritis itu disebabkan oleh perambahan yang dilakukan tanpa menanam kembali pohon yang sudah ditebang. "Nah, potensi ini kemudian yang sangat menjadi ancaman bagi Kota Kendari dan sejumlah wilayah pesisir," ujar Rusbandriyo.

Pada musim hujan, lanjut Rusbandriyo, air sungai dan teluk Kendari airnya menjadi kuning. Warna air yang menguning itu berasal dari kikisan tanah yang tak lagi kuat lantaran jumlah pepohonan yang makin berkurang.

"Teluk juga sudah dangkal, ada pendangkalan di beberapa titik saat air surut, ini yang kurang menandakan perhatian warga dan pemerintah," ujarnya.

Padahal, wilayah Perbukitan Taman Hutan Rakyat Nipa-Nipa di Pesisir Konawe  menjadi salah satu lokasi wisata yang berpotensi bila dikembangkan. Dari ketinggian, beberapa spot di wilayah ini menjadi lokasi yang indah untuk berfoto dan menghabiskan waktu. 

Selain itu, lokasi ini juga menjadi arena tepat bagi pecinta olahraga hiking. Selain menjelajah, warga juga diajak melihat Kota Kendari dan pesisir Konawe dari ketinggian.

Dari atas perbukitan Taman Hutan Rakyat itu, pengunjung bisa melepaskan pandangan ke seantero teluk Kendari.  Pulau Wisata Bokori, bisa dilihat dengan jelas di bibir teluk dari ketinggian beberapa ratus meter dari permukaan laut.

"Daripada sibuk dengan gadget (handphone) di rumah, saya sengaja ajak anak-anak di Bukit Tahura. Selain menanam pohon, juga sebagai momen berwisata alami," ujar Pepep Umbara.

Selain keindahan teluk Kendari dari ketinggian, di wilayah Taman Hutan rakyat Nipa-Nipa juga menyimpan potensi wisata air terjun. Meskipun bisa mendatangkan wisatawan, namun lokasi ini belum banyak dibenahi oleh pemerintah setempat.

Saksikan video pilihan menarik berikut:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.