Sukses

Ada Tragedi Kemanusiaan di Pengungsian Warga Nduga Papua

Sebetulnya masyarakat sipil takut dengan kedua kubu ini, baik TNI-Polri atau OPM, karena mereka perang menggunakan senjata.

Nduga - Setelah terjadi penembakan dan pembantaian pekerja Jalan Trans Papua oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) awal Desember 2018, menimbulkan gelombang pengungsian di Kabupaten Nduga, Papua. Tentang hal ini, sejumlah aktivis HAM di Papua menyebutkan bahwa telah terjadi tragedi kemanusiaan di Kabupaten Nduga.

Dilaporkan oleh Kabarpapua.co, Latifah Anum Siregar, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua menyebutkan potret ini sangat terlihat jelas pada pengungsi yang berada di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Walaupun masih banyak pengungsi yang juga berada di hutan belantara di Kabupaten Nduga.

Tragedi kemanusiaan terjadi usai saling serang, antara aparat keamanan dan kelompok separatis bersenjata di Kabupaten Nduga sejak Desember 2018 hingga kini.

"Kepada semua pihak jangan takut untuk membantu pengungsi ini. Banyak warga Nduga kehilangan tempat tinggalnya dan kebutuhan dasar masyarakat di Nduga tak terpenuhi. Kami minta ada dukungan terkait hal ini dari semua pihak," jelasnya dalam keterangan pers bersama Yayasan Keadilan Dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) di Kantor ALDP, Kamis 14 Maret 2019.

Direktur YKKMP, Theo Hesegem menyebutkan atas tragedi seperti ini yang sangat dirugikan adalah warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan yang harus meninggalkan tempat tinggalnya dan mengungsi.

"Dari hasil investigasi kami, sebetulnya masyarakat sipil takut dengan kedua kubu ini, baik TNI-Polri atau OPM, karena mereka perang menggunakan senjata," kata Theo.

Akibatnya warga mengungsi dan tidak mendapatkan pelayanan yang baik oleh pemerintah daerah setempat.

"Ada 2000-an lebih pengungsi yang keluar dari Kabupaten Nduga, mereka menyebar di Wamena, Lanny Jaya dan Timika. Ada juga yang memilih masuk hutan dan gua," ungkapnya.

Selain itu, kata Theo ratusan siswa sekolah harus menghentikan pendidikan sebab gangguan keamanan. Anak-anak yang mengungsi di Wamena ada 637 anak yang terdiri dari siswa SD-SMA. Termasuk 81 orang guru yang mengungsi dan melakukan proses belajar di sekolah darurat. “Anak-anak yang harus akan ujian nasional ini perlu perhatian serius dari semua pihak,” ujarnya.

Theo menambahkan, hasil investigasi bersama sejumlah aktivis di Nduga, hingga saat ini tak mempercayai sejumlah tudingan yang disebutkan kedua pihak, baik aparat keamanan dan OPM atau kelompok separatis di Nduga.

"Keduanya saling melempar hoaks. Untuk itu kami minta kepada aparat keamanan dan pemerintah, agar memberikan kesempatan kepada kami untuk melakukan investigasi lebih mendalam," jelas Theo.

Anggota DPRD Kabupaten Nduga yang juga Ketua Fraksi Golkar, Ikagus Gwijangge yang hadir dalam keterangan pers bersama itu meminta Presiden Joko Widodo untuk menarik pasukan di Kabaupaten Nduga. Menurutnya, keberadaan pasukan di Nduga akan membuat trauma berkepanjangan bagi rakyat.

"Masyarakat dulu hidup tenang dan damai, namun sekarang dengan kondisi ini masyarakat seolah dipaksa keluar dari kampungnya sendiri. Jadi saya pikir tarik pasukan dari sana," ujarnya.

Seorang relawan pada pengungsi Nduga di Wamena, Raga Kogeya menyebutkan hingga saat ini pemerintah setempat belum melihat anak-anak dan warganya di pengungsian. Data dari relawan menyebutkan pengungsi di Wamena tersebar di 26 rumah keluarga para pengungsi.

Raga menjelaskan, akibat banyaknya pengungsi, dalam satu rumah atau honai bisa berisi 30-50 orang, bahkan ada yang berisi hingga ratusan orang.

"Kami sengaja tak memberikan laporan terkait pengungsi Kabupaten Nduga di Wamena kepada pemerintah. Kami beranggapan, karena pemerintah adalah bagian dari kami (pengungsi), maka pemerintah harus turun langsung melihat kami di pengungsian," kata Raga.

Ikuti berita terbaru dari Papua di Kabarpapua.co

Simak video pilihan berikut:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.