Sukses

Thoriqoh Musa As dan Awal Mula Doktrin Kiamat di Ponorogo

Bumi reog geger, isu kiamat membuat sebagian warganya mendadak hijrah ke Malang.

Liputan6.com, Ponorogo - Bumi reog geger, isu kiamat membuat sebagian warganya mendadak hijrah ke Malang. Berita ini langsung meluas ke berbagai penjuru Indonesia setelah pemilik akun Facebook Rizky Ridho mengunggah keresahannya di grup Info Cepat Wilayah Ponorogo (ICWP). Dalam cuitannya, Rizky mencari tahu kronologi mengapa ada banyak orang pindah rumah. Karena kiamat

"Dengar-dengar katanya kena doktrin, yang kiamat pertama daerah situ, dan katanya ada yang pakai jaket MUSA AS. Itu aliran apa, khawatirku merembet ke daerah lain. Gitu aja. Soalnya agak membahayakan ada seperti ini takutnya malah membuat orang gila,” tulisnya dalam bahasa Jawa Timur.

Tulisan ini diunggah pada Senin (11/3/2019) sekitar pukul 10.14 WIB lalu. Unggahan itu langsung mendapat 1.300 komentar dan 985 like dari warganet. Sebagian lagi menyayangkan kejadian ini.

Awak Liputan6.com langsung mencari tahu kebenaran berita ini ke Dusun Krajan, Desa Watubonang, Kecamatan Badegan, Ponorogo. Hasilnya, memang benar ada 52 warganya yang pindah ke Pondok Pesantren di wilayah Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang.

Kepala Desa Watubonang, Bowo Susetyo sendiri membenarkan ada 52 warganya yang pergi ke Malang, katanya ingin berguru ilmu agama atau mondok. Namun secara administratif kependudukan warganya masih warga Watubonang.

"Iya pergi ke Malang mau mondok katanya," tutur Bowo kepada Liputan6.com, Kamis (14/3/2019).

Bowo menambahkan, sebagian warganya bahkan rela menjual harta bendanya untuk bisa tinggal di pondok yang ada di Malang. Data mengungkap, dari 52 orang tersebut berasal 16 KK, ada 6 orang yang menjual rumah, tanah, kendaraan demi bisa berguru ke Malang.

Warganya, lanjut Bowo, pergi ke Malang secara bertahap. Diawali dengan kepergian Katimun (48), orang yang diduga menyebarkan 7 fatwa Thoriqoh Musa As di Ponorogo. Sejak 1 bulan terakhir total ada 52 warganya yang eksodus ke Malang dengan rincian terdiri dari 29 orang laki-laki dan 23 perempuan. Bahkan ada 10 anak-anak yang masih berstatus pelajar ikut pindah mengikuti jejak kedua orangtuanya.

"Kami tidak tahu kepergiannya itu apa karena doktrin kiamat atau bukan, karena yang tahu hanya jamaahnya saja," katanya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Awal Mula Penyebaran Thoriqoh Musa As

Sekitar 2008, Katimun (48) yang merupakan santri di Pondok Pesantren Miftahul Falahil Mubtadiin di Desa Sukosari, Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang memutuskan kembali ke Desa Watubonang, Kecamatan Badegan, Kabupaten Ponorogo usai menuntut ilmu selama 18 tahun.

Di desanya ia pun dikenal sebagai sosok yang alim serta santun. Tidak ada yang menyimpang dari ajarannya. Layaknya umat Islam pada umumnya, mereka juga menggelar pengajian setiap Selasa malam dan Jumat malam. Semakin bertambah tahun, semakin bertambah pula jemaahnya. Tidak hanya dari Kecamatan Badegan saja, tetapi dari luar Badegan juga datang menuntut ilmu agama di tempatnya.

“Masyarakat yang ikut dalam pengajian ini melakukan ibadah sama dengan umat Islam lainnya,” tutur Bowo Susetyo.

Bowo juga mengatakan, di tempat Katimun juga berdiri musala dan gazebo yang digunakan warga sekitar untuk mengaji. Sebelum warga ini memutuskan hijrah ke Malang, kata Bowo, terlebih dahulu pimpinan Thoriqoh Musa Ponorogo, Katimun, berpindah ke Malang dua bulan lalu. Sejak kepindahan Katimun itu, kegiatan pengajian di pondokan yang ada di rumah Katimun sepi dan tidak ada kegiatan keagamaan.

 

3 dari 3 halaman

Ajaran Kontroversial

Berikut 7 ajaran Thoriqoh Musa ala Katimun yang menyihir 52 warga Ponorogo pindah ke Malang lantaran Ponorogo diyakini akan menjadi tempat pertama yang mengalami kehancuran kiamat.

Ajaran kontroversial Thoriqoh Musa As ini disebarkan pihak Kecamatan Badegan, Ponorogo. Berikut isinya: 

1. Kiamat sudah dekat

Jemaah diminta menjual aset-aset yang mereka miliki untuk bekal akhirat. Uang hasil penjualan aset dibawa dan disetorkan ke ponpes. Selain itu, jemaah juga diharuskan salat 5 waktu di masjid pondok di Malang.

2. Ramadan tahun ini akan ada huru-hara atau perang

Jemaah diminta membeli pedang seharga Rp 1 juta. Sementara jemaah yang tidak membeli pedang diharuskan menyiapkan senjata di rumah, sehingga meresahkan masyarakat sekitar. Kemudian jemaah juga diminta berlindung di pondok.

3. Akan ada kemarau panjang

Selama tiga tahun mulai 2019-2021, yang mengakibatkan paceklik.

Jamaah diminta menyetor gabah 500 kg per orang. Bahkan ada anak kelas 5 SD yang sudah ditarik dari pondok mengatakan ke orangtuanya tentang sesuatu hal yang mengerikan. "Jika nanti terjadi paceklik, tangan adik saya potong, saya makan," cerita si anak.

4. Bendera tauhid

Jemaah diimbau untuk mengibarkan bendera tauhid.

5. Foto pengasuh ponpes

Jemaah diminta menebus atau membeli foto pengasuh pondok pesantren seharga Rp 1 juta. Foto tersebut dijadikan pusaka atau teknologi antigempa.

6. Anak-anak tidak boleh sekolah

Anak-anak di usia sekolah tidak diizinkan mengenyam bangku pendidikan. Dengan alasan karena ijazah tidak berguna.

7. Anak boleh menghukum orangtuanya

Jika tidak membaiat atau bersumpah untuk mengamalkan Thoriqoh Akmaliyah Sholihiyah.

Ketujuh ajaran yang tersebar luas di grup Whatsapp pun sontak membuat heboh masyarakat. Mereka menyayangkan ajaran seperti ini bisa dipercaya oleh warga Ponorogo. Bahkan mereka rela menjual hartanya demi bisa hidup di Pondok.

Menanggapi keresahan masyarakat, Polres Ponorogo pun kini tengah menyelidiki seseorang bernama Katimun. Pihaknya sudah menugaskan anggotanya untuk mencari Katimun di Malang.

"Iya anggota saya masih cari Katimun, info lebih jelasnya nanti ya kalau sudah ketemu," terang Kapolres Ponorogo AKBP Radiant.

Pihaknya ingin memastikan apakah Katimun benar menyiarkan ajaran 7 Fatwa Thoriqoh Musa. Selain itu, dirinya juga meluruskan berita yang terlanjur tersebar. Bahwa ajaran membeli pedang tidaklah benar. Pun juga pihak kepolisian bersama TNI, Forpimda serta tokoh agama baik dari NU maupun Muhammadiyah dikumpulkan di Desa Watubonang untuk memberi pengarahan dan pencerahan kepada warga Desa Watubonang agar tidak ikut ke Malang.

Radiant menambahkan, hasil penyelidikan sementara, Khotimun memang diketahui sebagai pengajar agama di desanya. Ajaran yang disampaikan pun benar tidak ada yang menyimpang. Namun terkait kepindahan warga dari Ponorogo ke Malang, Radiant belum bisa memastikan apakah itu terkait isu kiamat atau karena memang ingin berguru ilmu agama ke pondok.

"Tapi kan biasanya kalau warga mau mondok (pondok) butuh biaya hidup, makanya ada yang jualin hartanya. Tapi kan tidak banyak hanya 6 orang yang jual hartanya, mungkin mereka memang berniat pindah ke Malang, di sana beli rumah atau ngontrak kita kan nggak tahu," katanya menambahkan.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.