Sukses

Pesta Seks, di Antara Kepuasan Seksual dan Bisnis

Cek kelainan seksual yang mungkin dialami para penyuka pesta seks

Liputan6.com, Yogyakarta Akhir tahun lalu, Yogyakarta dikejutkan dengan kasus pesta seks yang melibatkan belasan orang di sebuah homestay di Sleman. Sebagian dari penonton pesta seks adalah pasangan suami istri.

Konselor psikologi dan founder Derira The Counselor, Derira Dewi, memaparkan berbagai kemungkinan pelaku melakukan hal pesta seks. Ia membagi motif menjadi dua, yakni bisnis dan kemungkinan kelainan seksual yang disebut voyeurism atau voyeuristik.

Seseorang yang mengalami voyeuristik akan mendapat kepuasan seksual ketika mengintip orang lain tanpa busana atau sedang melakukan aktivitas seksual.

"Tapi ini masih kemungkinan karena indikasinya mendekati, soal diagnosis voyeurism atau tidak perlu pemeriksaan secara personal lebih lanjut," ujarnya kepada Liputan6.com, Rabu (3/1/2019).

Ia menilai voyeurism biasanya disebabkan oleh pengalaman seksual pertama. Ia mencontohkan pernah mendapat kasus di Yogyakarta, sepasang suami istri ketika berhubungan seksual harus dilihat oleh anaknya. Si istri baru bisa mendapat kepuasan ketika ada yang menontonnya.

Menurut Derira, jika hal ini dibiarkan tidak menutup kemungkinan sang anak tumbuh dengan voyeurism karena pengalaman seksual pertamanya. Ia bisa merasa hubungan seksual yang dilihat oleh orang lain adalah hal yang wajar.

Terkait kasus pesta seks, menurut Derira perlu mengulik apakah istri berada di bawah paksaan atau tidak. Kalau murni terjadi kesepakatan tanpa paksaan, tidak menutup kemungkinan si istri juga memiliki perilaku voyeurism murni.

Ia berpendapat, fenomena ini sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu, akan tetapi kini semakin sering terangkat karena kemajuan teknologi. Pasangan suami istri yang menikah lama biasanya memiliki kecenderungan jenuh dan salah satu bentuk menciptakan hal baru dengan mewujudkan fantasi mereka.

"Media sosial juga turut berperan di sini karena informasi soal aktivitas seks semacam itu gampang diakses lewat media sosial," tuturnya.

Derira menilai dari segi bisnis, dalam hal ini bandar, merespons fenomena ini dan menjadikannya peluang usaha. Ia melihat ada kebutuhan perilaku seks yang berbeda di masyarakat dan diakomodasi ke dalam bisnisnya.

Simak video pilihan berikut:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bisa Sembuh

Kelainan atau penyimpangan seksual ini bisa sembuh karena akarnya adalah pengalaman atau hal yang dipelajari.

"Bisa sembuh dengan kognitif behavior therapy, yakni terapi dengan memperbaiki pola kognisi yang salah pada individu dengan voyeurism," tutur Derira.

Caranya, kesalahan persepsi diperbaiki supaya perilaku juga berubah, mengingat perilaku merupakan produk dari pikiran.

Instrumen terapi berupa deep counseling, yakni memberikan tugas untuk dilakukan sehari-hari secara rutin supaya menjadi kebiasaan baru dan memperbaiki perilaku lama. Misal, seseorang atau pasangan biasanya puas ketika berhubungan seksual dilihat orang lain.

"Sekarang mereka diberi tugas mencari pusat kenikmatan yang lain, dengan mengulik pengalaman kenikmatan yang pernah mereka dapatkan selain harus ditonton oleh orang lain," ujarnya.

Sebagian besar orang dengan voyeurism memiliki karakter ekstrovert dan cenderung narsis, berbeda dengan fetish atau ekshibisionis yang kebanyakan berada di orang introvert.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.