Sukses

Mengenalkan Bencana Alam kepada Anak-Anak dengan Mendongeng di Taman

Saat alam menyelaraskan dirinya, manusia menudingnya sebagai bencana. Sehingga sekarang ini diperlukan, pengertian soal bencana itu sendiri agar berbagai kalangan masyarakat mau hidup selaras dengan alam. Tak terkecuali untuk anak-anak.

Liputan6.com, Bandung - Bencana alam datang tanpa diduga. Kadang sebagian orang menganggap bencana merupakan peringatan dari Maha Kuasa. Namun secara keilmuan, hal itu merupakan penyeimbangan alam terhadap sesuatu yang tidak stabil.

Alam merelaksasi dirinya, agar semuanya mendapatkan porsi yang sama. Penyebabnya antara lain, ulah manusia yang serakah dalam memenuhi kebutuhan kehidupan dan selalu mengekplorasi alam dengan porsi yang tidak tepat.

Seperti pembangunan pemukiman, sarana umum, kebutuhan perhiasan, sandang, pangan, dan papan. Semuanya dilakukan tanpa menghiraukan keseimbangan alam.

Saat alam menyelaraskan dirinya, manusia menudingnya sebagai bencana. Sehingga diperlukan pengertian soal bencana itu sendiri agar berbagai kalangan masyarakat mau hidup selaras dengan alam. Tak terkecuali anak-anak.

Anak-anak perlu mendapatkan perhatian lebih soal mengantisipasi datangnya bencana alam semisal banjir, gempa bumi, gunung meletus dan sejenisnya. Alasannya sederhana, anak-anak bersama lansia merupakan kelompok yang rentan menjadi korban saat terjadinya bencana alam.

Penyampaian soal antisipasi bencana terhadap anak-anak ini, dilakukan dengan bahasa tutur dan dimengerti. Ya, dengan bercerita atau mendongeng soal antisipasi atau mitigasi bencana.

Seperti yang dilakukan Komunitas Pahlawan Bencana. Mereka berkelanjutan mengkampanyekan mitigasi bencana melalui medium cerita bergambar atau dongeng kepada anak-anak pada Kamis 15 November 2018. Apalagi di Kota Bandung sendiri, potensi terjadinya bencana alam sangat tinggi.

"Saat pra bencananya sendiri ini masih banyak orang-orang yang belum tahu harus seperti apa dan sosialisasi tahapan sebelum bencana itu seperti apa," kata Priyangga Dyatmika ditemui Liputan6.com di Taman Lansia, Jalan Diponegoro, Bandung, ditulis Kamis (29/11/2018).

Priyangga menuturkan, komunitasnya banyak menemukan kasus sebagian masyarakat panik saat terjadinya bencana. Itu disebabkan ketidaktahuan untuk bertindak saat terjadinya bencana karena minimnya informasi soal mitigasi terutama bagi anak-anak.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Respon Terhadap Bencana

Priyangga mencontohkan di daerah Utara Kota Bandung yang terletak Gunung Api Tangkuban Parahu, di bagian Selatan setiap tahun dipastikan banjir, serta sesar aktif Lembang. Sehingga perlu mensosialisasikan kesiapsiagaan bencana sejak dini dengan mengunjungi sekolah.

"Dikenalkan apa itu bencana, simulasi gempa, karena kita tahu hampir di seluruh Indonesia tidak ada daerah yang rawan gempa. Tapi berdasarkan pengalaman saya pribadi saat sekolah, belum pernah diberikan simulasi gempa," kata Priyangga.

Contoh paling nyata adalah Jepang dan Amerika yang setiap tahunnya pelajar diberikan pengenalan simulasi gempa. Berbagai macam kesiapsiagaan bencana itu dikemas dalam dongeng kepada anak-anak.

Setelah anak mengetahui dalam berbagai macam bencana tersebut terjadi berbagai hal, maka tahapan selanjutnya adalah menceritakan soal respon terhadap bencana itu sendiri.

"Misalnya yang sederhana kalau banjir harus pakai sepatu boot untuk melindungi kaki, ada gunung meletus harus lari, ada abu vulkanik pakai masker atau ada gempa ayo berlindung kayak gitu - gitu," jelasnya.

Jika tahapan bencana dan respon bencananya sudah diketahui oleh anak - anak, maka pengenalan lingkungan di sekitar dilakukan. Pengenalan lingkungan guna mengetahui cara merespon dampak terjadinya bencana, terhadap benda-benda didekat mereka serta proses evakuasi.

Sehingga jika terjadi bencana alam berupa gempa bumi, anak-anak sudah memahami apabila lapangan terbuka lebih aman daripada diam di ruangan atau kamar mandi. Barang-barang yang menggantung atau menempel di dinding seperti pigura, akan membahayakan apabila jatuh karena kaca penutup pigura pecah.

Pecahan kaca ini menjadi material berbahaya untuk dilalui saat proses evakuasi. Jalur yang lebih aman dari benda yang membahayakan tersebut, harus segera dicari dalam pelatihan evakuasi terhadap anak - anak.

"Fokus pemberian mitigasi bencana ke anak - anak dan kelas empat serta lima. Sehingga mereka bisa menceritakan kembali cerita mitigasi bencana kepada yang lain dan menjadi pahlawan bencana. Bukan voluenternya tapi mereka," tegas Priyangga.

Seperti yang dilakukan olehnya di salah satu pojok di Taman Lansia bersama beberapa teman di Komunitas Pahlawan Bencana. Mereka bercerita soal apa yang disebut banjir, gempa dan lain sebagainya didepan siswa taman kanak - kanak dengan medium buku bergambar berwana ukuran sekitar 30 x 20 centimeter.

Lokasinya cukup mumpuni, karena tepat dibelakang para siswa itu berdiri repilka satwa prasejarah  Dinosaurus. Setiap penjelasan Priyangga ataupun relawan lainnya, selalu ditanggapi dengan bagus oleh mereka.

Tak hanya siswa, para orang tua yang mendampingi ikut menanggapi setiap penjelasan maupun pertanyaan soal banjir yang diutarakan oleh relawan Komunitas Pahlawan Bencana. Kelompok yang mengaku setiap menggelar kegiatan sosialiasi mitigasi bencana dengan koceknya sendiri itu, siap dipanggil untuk menyebarkan informasi kesiapsiagaan bencana secara gratis.

Saksikan video pilihan berikut:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.