Sukses

Menikmati Pagi Sambil Belajar Setia dari Burung Gelatik Jawa

Burung Gelatik Jawa ternyata bukan burung biasa. Temukan fakta di balik burung ini.

Liputan6.com, Yogyakarta Setelah aturan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Satwa dan Tumbuhan Dilindungi Undang-Undang muncul, Gelatik Jawa tidak lagi dianggap sebagai hama, melainkan binatang dilindungi. Meskipun demikian, belum banyak orang yang tahu dinamika kehidupan burung yang endemik di Jawa ini.

Pagi hari pun terasa indah saat mendengar kicau burung Gelatik Jawa. Mendengar kicauannya, pagi hari kita seolah dibawa memulai petualangan ke tengah hutan sambil menghirup udara dan mereguk segarnya air terjun.Tak ayal burung ini juga diburu penyuka burung di luar negeri.

"Saking indahnya, burung Gelatik Jawa sering diselundupkan ke luar negeri," kata Bambang Agus Suripto, Dosen Biologi UGM, dalam sosialisasi aturan baru satwa dilindungi kepada siswa Smp di DIY baru-baru ini.

Setelah diselundupkan, burung itu dimutasi dan dimurnikan sehingga menghasilkan spesies baru. Tujuannya, kembali dijual ke Indonesia.

Saat kembali ke Indonesia, burung itu sudah memiliki nama yang berbeda, seperti White Javan Sparrow dan Red Eye Javan Sparrow. Biasanya burung menjadi albino karena hasil mutasi.

Ia mengungkapkan mutan Gelatik Jawa sebenarnya burung abnormal. Ia termasuk binatang yang sakit dan tidak kuat hidup dalam keadaan normal karena telah mengalami rekayasa genetika.

Kedua, Gelatik Jawa adalah burung yang setia pada pasangan. Mereka tidak akan mengawini burung lain sampai pasangannya mati.

Bambang menilai, kondisi ini memperparah populasi Gelatik Jawa yang kian menurun karena mereka bukan jenis burung yang bebas berkembang biak dan kawin.

Di pasaran, harga Gelatik Jawa juga lumayan mahal. Untuk burung tangkapan berkisar Rp 150.000 per pasang dan burung di penangkaran bisa dijual Rp 160.000 sampai Rp 210.000 per pasang.

Ketiga, burung ini masuk kategori satwa dilindungi atau rentan karena sejumlah alasan, antara lain, daerah sebaran kurang dari 20.000 kilometer persegi, luas daerah yang ditempati kurang dari 2.000 kilometer persegi, peluang untuk punah 10 persen dalam kurun waktu 100 tahun.

"Bahkan, populasi burung ini menurun 50 persen dalam 20 tahun," kata Bambang.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.