Sukses

Begini Desain Bangunan Tahan Gempa Warisan Leluhur Warga Bali

Leluhur masyarakat Bali membentuk aturan sedemikian rupa dalam merancang bangunan yang dinilai lebih tahan gempa daripada bangunan modern seperti saat ini.

Denpasar - Merencanakan bangunan tahan gempa. Artikel yang terbit Rabu, 8 September 1982 itu terselip di antara kisah tangis dan haru gempa yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Artikel yang diterbitkan salah satu media lokal Bali itu diunggah arsitek sekaligus dosen Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Dwijendra I Nyoman Gde Suardana sehari sebelum musibah terjadi, Sabtu, 4 Agustus 2018, pukul 10.46 Wita.

Seandainya Bandung Bondowoso (kisah Roro Jonggrang dan legenda Candi Prambanan) bukan tokoh kiasan dan sempat membaca artikel yang diunggah sang arsitek, tentu 347 nyawa tak perlu melayang tertimpa bangunan.

Tentu 1.477 orang tak perlu merintih menahan luka. I Nyoman Gde Suardana mengajak masyarakat mengingat pesan nenek moyang.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, akademisi sekaligus praktisi kelahiran Desa Jagaraga, Buleleng, 21 September 1956 itu menyebut berdasarkan hasil penelitian Bali masuk ke dalam urutan wilayah III tingkat aktivitas gempa bumi di Indonesia. Hal itu berarti gempa bumi akan sering terjadi.

"Melihat kondisi demikian, tepat sekali kalau moyang tetua dulu telah mencermati perihal gempa bumi, terutama dikaitkan dengan rancang bangun arsitektur Bali tradisionalnya," ucapnya.

Dalam hikayat tradisional, imbuhnya, bumi diibaratkan sebagai "Bedawang Nala" oleh tetua moyang Bali, yang setiap waktu dapat bergerak atau bergetar.

"Merupakan kewajiban kita untuk senantiasa sadar, bahwa bumi kita memang terletak dalam daerah gempa yang setiap saat bisa berguncang," kata pria yang menyelesaikan pendidikan Sarjana (S1) Arsitektur di Fakultas Teknik Unud pada 1988 dan S2 (Magister Teknik) di ITS, Surabaya, pada 2002 itu.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), kata Suardana, menyebut banyak bangunan rusak akibat gempa lantaran tidak mengikuti kaidah bangunan tahan gempa.

"Masalahnya, saat ini banyak bangunan yang menggunakan bahan berat. Tak seperti zaman dulu, yang menggunakan bahan ringan seperti kayu," ujarnya.

Secara tersirat, Suardana menyebut kerangka bangunan tradisional (Bali) jauh lebih kokoh "melawan" gempa. Selain diperkuat dengan susunan sineb-lambang, bangunan tradisional Bali juga diperkuat oleh bale-bale yang mengikat empat tiang atau canggah wang.

Konstruksi kerangka badan ini ibarat kursi atau meja, bila mendapat gaya samping terlalu besar, ia hanya bergeser tempat saja. Ia juga menerangkan beberapa cara untuk memperkuat tembok. Penebalan sudut-sudut tembok, seperti halnya paduraksa pada tembok penyengker.

Artinya, dinding diberi bingkai penebalan material. Dinding yang terlalu luas dibagi-bagi dalam bingkai-bingkai kecil. Bingkai-bingkai ini didigestilir sebagai pepalihan atau ornamen.

"Bangunan dengan masa yang berat akan menanggung gaya guncangan yang besar pula. Demikian juga sebaliknya, bangunan yang ringan akan menanggung gaya guncangan yang lebih ringan akibat guncangan gempa," ungkapnya sembari menyebut bangunan yang tinggi akan lebih bergoyang.

"Pikirlah baik-baik sebelum membangun bertingkat, perlu dihitung dengan teliti dan dilaksanakan dengan hati-hati," kata dia.

Baca berita menarik JawaPos.com lainnya di sini.

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Atap Rumah

Tentang atap (kepala) dalam arsitektur Bali, Suardana menyebut para tetua telah membaginya ke dalam gaya-gaya merata ke seluruh penjuru dan ditampung merata dengan kokohnya sineb dan lambang.

Atap tersebut kaku serta kokoh. Atap model “kuda-kuda” ungkapnya perlu mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, tiap kuda-kuda duduk di atas tiang atau pada ring balk yang kuat. Kedua, ada ikatan angin antara kuda-kuda.

Berikutnya, siku penguat pada setiap pojok bila menggunakan balok keliling kayu. Kuda-kuda atap pelana dengan tembok samping yang menjadi tinggi. Bila tidak kokoh dan kaku, lupa ikatan angin, dan pelaksanaan tidak teliti, akan sungguh berbahaya bila ada gempa.

Bagaimana halnya dengan badan bangunan? Bila dinding itu tidak cukup kaku, ia akan meliuk atau meleot (berubah bentuk) dan menjadi rapuh. Bila terdorong oleh guncangan mendatar, tembok menjadi bencah-bencah, mendekati batas ketahanan untuk berdiri memikul atap.

Lantas bila ada guncangan lagi, ia akan sangat mudah runtuh. Suardana menjelaskan, gempa bisa menggoyangkan bangunan ke segala arah, dalam berbagai kekuatan.

Karena itu, tiap bangunan bukan saja mesti kuat berdiri memikul beban sendiri, melainkan harus kuat juga menahan dorongan-dorongan horizontal (mendatar).

"Robohnya suatu bangunan tentu disebabkan tidak tahan guncangan atau dorongan horizontal. Selain itu bila bangunan di sekitar demikian padat, besar kemungkinan robohnya sebuah bangunan yang tak tahan gempa, dapat merobohkan bangunan-bangunan lainnya," ungkapnya.

3 dari 3 halaman

Pentingnya Halaman Rumah

Lantas bagaimana dengan halaman (natah) rumah? Natah pada tatanan gubahan ruang rumah Bali tradisional, ungkap Suardana, mempunyai peranan yang sangat vital sebagai tempat berlindung dari reruntuhan bangunan maupun komponen-komponennya bila terjadi gempa.

Natah, ruang terbuka yang bermakna kekosongan dan sebagai pusat orientasi, merupakan pusat tuju paling aman. Menurutnya, pada kekosonganlah, manusia merasa takjub akan kebesaran Sang Pencipta, sekaligus merasakan kekerdilan dan kegentaran diri amat dalam menyaksikan guncangan alam maha perkasa.

"Dari hati kecil yang paling asasi, di tengah natah manusia dambakan keselamatan. Pada natah-lah aura pelepasan tumpah ruah. Pelepasan rasa ketakutan dan semacamnya. Di natah, manusia jadi luruh, dan terpekur mohon perlindungan-Nya," ungkapnya.

Tentang alasan bangunan Bali tradisional lebih tahan gempa, Suardana menjawab teliti. Dikatakannya, jika ditelisik secara keseluruhan, bangunan tradisional dimaksud terbagi atas susunan kepala, badan, dan kaki dalam perbandingan berat yang serasi.

Yakni, kepala (atap) ringan, rendah, kokoh dan kaku; badan dengan sifat kokoh, lentur dan ringan, dan kaki dengan sifat berat, kokoh dan kaku.

Selain itu denah tiap bangunan sederhana dan rapi, serta dibangun satu persatu secara terpisah. Atap yang ringan, kaku dan rapi, akan membagi rata gaya-gaya, bertumpu dalam bingkai sineb dan lambang, gaya-gaya tersebut akan tersalur ke tiang-tiang bangunan (saka-saka).

Saka-saka kayu yang terpilih mendukung atap duduk di atas sendi sendi atau yang bersifat sendi. Antara saka dan saka terikat oleh bale bale atau oleh canggah wang.

Lantaran itu pula, jika gempa datang mengguncang, bangunan hanya bergoyang saja. Jika ada dinding yang roboh, struktur inti bangunan akan tetap berdiri di atas fondasi.

Ia menambahkan, tuntutan kebutuhan ruang akibat perkembangan jenis aktivitas (terutama di perkotaan) dewasa ini, memerlukan suatu hasil rancangan yang lebih arif dan kreatif.

Upaya tersebut hendaknya menyertakan pada bangunan: citra dan “roh” Bali-nya. Perkembangan teknologi dan produk material saat ini perlu diadopsi secara benar dan baik.

Aturan-aturan untuk mendirikan bangunan tahan gempa tegasnya tentu telah melalui hasil penelitian dari para ahli di bidang konstruksi.

"Tinggal diefektifkan supervisi (pengawasan) dalam pembangunannya, supaya tidak melenceng dari taksu kebaliannya. Pun agar kualitas konstruksi dan bahan bangunan yang dipergunakan bisa dipertanggungjawabkan," kata Gde Suardana.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.