Sukses

Kisah Anak-Anak Difabel di Yogyakarta Mengeksplorasi Titik Lewat Pameran Seni Rupa

Lihat bagaimana anak-anak difabel asal Yogyakarta ini memaknai titik menjadi karya seni yang menawan.

Liputan6.com, Yogyakarta - Kidung Sarira Ayu (3) menyelesaikan karyanya dalam waktu empat hari. Ia membuat goni yang dipenuhi dengan titik. Jari-jarinya dicelupkan pada perwarna dan ditempelkan di karung goni. Gadis difabel down syndrome itu memamerkan karyanya di pameran seni rupa Perspektif bertajuk Eksplorasi Titik di Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta, 8 sampai 12 Agustus 2018.

Ia mengerjakan karyanya dibantu sang ibu. Kidung sempat mengompol di atas karung goni, sehingga ibunya harus mencuci goni lebih dulu. Bahan untuk menitik terbuat dari sagu mutiara. Seringkali Kidung melepasnya setelah ditempel, tetapi akhirnya karya peserta termuda pameran itu selesai juga.

Suryo Putro Legowo (11), difabel tuna rungu asal Sleman, memamerkan lampu dan bambu lewat eksplorasi garis. Ia sudah tidak lagi merasa jijik dengan lem dan perwarna. Dalam proses menyusun, Suryo belajar mengikat sendiri, meskipun ikatannya belum terlalu kuat.

Laksmayshita Khanza Larasati Carita (18) memiliki cara sendiri memamerkan karyanya. Mahasiswi tuna rungu ini mengeksplorasi kamar dan seluruh interiornya dengan titik. Karya ini menjadi jawaban beragam pertanyaan yang berkutat di benak Shita.

Ia memiliki sejumlah pertanyaan emosional sebagai difabel yang beranjak dewasa, seperti mengapa harus bereksplorasi dengan titik, mengapa difabel dianggap orang yang tidak mampu dan pantas diabaikan.

Dia mendapat jawaban ketika bergabung dengan Perspektif. Ia mendapat pemahaman, titik adalah asal mula segala hal. Eskplorasi titik bisa dilakukan oleh siapa saja, dari yang muda sampai tua. Ia membongkar stigma tentang difabel.

"Pada dasarnya, setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap sebuah benda," ujarnya.

Benda yang banyak ditemui di lingkungan sekitar ketika disusun dan diletakkan dengan baik di sebuah tempat bisa menjadi karya seni. Jadi, tidak harus memaksakan diri bisa melukis untuk menciptakan karya seni.

Shita berekplorasi dengan titik dalam tiga warna,hitam, kuning, dan putih. Ia memamerkan kasur lengkap dengan sprei, meja komputer, laptop, lampu kamar, tempat pensil, bunga hiasan, keset, selimut, sepatu, rak buku, dan sebagainya. Shita memaknai dirinya sebagai difabel yang mampu melakukan apa saja. Dan, difabel dan orangtua yang memiliki anak difabel harus saling mendukung dan mengapresiasi.

Simak video pilihan berikut ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Mengapa Titik?  

Belasan anak difabel memamerkan karyanya dalam pameran seni rupa itu. Mereka tergabung dalam Perspektif Yogyakarta, kelompok seni rupa yang mengajak berkehidupan setara para difabel. Berkarya seni adalah hak setiap orang dan tidak bisa dibatasi keadaan fisik.

Kelompok itu didirikan di Yogyakarta pada 24 Oktober 2014 dan seluruh anggotanya adalah difabel. Salah satu pintu masuk menguasai media seni adalah dengan penguatan rasa percaya diri. Hal itu bisa dilakukan dengan penguasaan elemen seni rupa yang paling dasar, yakni titik.

Setiap anak bisa menguasai titik menggunakan anggota bagian tubuh maapun dengan bahan apa pun. Dalam upaya mengeksplorasi dan menguasai titik, mereka didampingi fasilitator supaya memunculkan dialektika.

Pertemuan berlangsung secara berpindah-pindah tempat, yakni dari rumah satu anggota ke anggota lain. Perspektif bukan sanggar yang memiliki tempat khusus. Fasilitator mendampingi pertemuan dan berperan sebagai teman dialog tentang karya seni.

Perspektif juga bukan organisasi, sehingga kepengurusan dibentuk untuk melancarkan komunikasi. Keanggotannya pun luwes dan tidak ada tuntutan memenuhi aturan tertentu.

"Orang yang terlahir difabel hanya butuh kesempatan dan akses," ujar Sri Hartaning, Ketua Kelompok Perspektif.

Jika diberi kesempatan dan akses, difabel akan berdaya, setara, serta mampu melakukan apa saja. Ia meyakini, setiap orang mampu mengekspresikan diri melalui karya seni, sehingga tidak ada istilah berbakat atau tidak, pintar atau bodoh, bagus atau jelek.

Menurut Sri, setiap orang berhak menjadi apa siapa saja. Bagi difabel, akses sesuai kebutuhan, kesempatan tanpa syarat akan mendukung kemandirian dan kepercayaan diri.

"Paham mengenai kenormalan sebenarnya hanya ketidaksadaran kolektif masyarakat, sehingga orang awam kerap menganggap difabel lemah dan merasa iba," tuturnya.

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.