Sukses

Lebih Dekat dengan Doktor Batik Sunda Pertama di Dunia

Batik Sunda bukan hanya soal produk, tapi ada nilai-nilai penting yang menjadi warisan bagi generasi penerus.

Liputan6.com, Bandung - Dosen Kriya Institut Teknologi Bandung, Yan Yan Sunarya didapuk menjadi doktor batik Sunda pertama di dunia sejak 2014. Kiprahnya mempopulerkan batik, khususnya Batik Sunda, itu berawal dari amanat yang diserahkan padanya.

"Saya diamanatkan untuk mengangkat soal Batik Sunda. Dan dari situlah saya tertarik untuk mempopulerkan Batik Sunda," kata Yan Yan dalam siaran pers Direktorat Humas dan Publikasi ITB, Rabu, 11 Juli 2018.

Doktor batik Sunda pertama itu meraih gelar sarjananya di Desain Tekstil FSRD ITB, gelar magister di Desain FSRD ITB, dan gelar doktor di Ilmu Seni Rupa dan Desain FSRD ITB.

Ia mengatakan batik sebagai salah satu warisan kebudayaan Indonesia yang telah diakui dunia tidak hanya dipandang sebagai kain tradisional beragam corak. Tetapi melalui batik, orang-orang bisa memaknai sejarah, nilai kebudayaan, dan identitas suatu daerah.

"Atas dasar itulah, membuat saya mendalami khazanah Batik Sunda dengan penelitiannya yang berjudul 'Strategi Adaptasi Visual pada Ragam Hias Batik Sunda'," ujar dia.

Yan Yan yang juga Ketua Program Studi S-3 Ilmu Seni Rupa dan Desain ITB itu sengaja mempopulerkan diri sebagai Doktor Batik Sunda karena tidak banyak orang tahu bahwa di Sunda juga mempunyai corak batik yang khas yang dapat diteliti secara mendalam.

Kekhasannya itu muncul dari karakter orang Sunda yang humoris dan ceria dalam bentuk warna, corak, motif, komposisi, penamaan, dan sebagainya.

Dia menceritakan, saat lulus S-1 di FSRD ITB, penelitian yang diambilnya mengenai fesyen modern. Ia lalu melanjutkan pendidikan S-2 di fakultas yang sama dan kembali mengambil tema penelitian tentang fesyen, khususnya di era postmodern.

Namun saat S-3, promotornya menyarankannya untuk tidak lagi mengangkat kembali desain modern.

Dia menjelaskan kurikulum mengenai kearifan lokal di bidang batik awalnya tidak pernah masuk dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Yang ada malah hanya international style. Padahal, isu batik yang dimasukkan ke dalam pendidikan formal bisa memberi pemahaman lebih tentang produk budaya itu dari hanya sekadar produk.

"Baru pada 1991 sebagai periode postmodern di Indonesia, kearifan lokal dari Indonesia mulai diakui. Dari sanalah kurikulum kita sudah memahami bahwa kita itu punya kekuatan lokal. Akhirnya, memasukkan mata kuliah Batik, Ikat, Tinjauan Kriya, Sejarah Kriya, dan seterusnya sebagai muatan lokal di sini," kata dia.

Selain pada batik, Dr. Yan Yan juga punya ketertarikan di bidang Korean Fashion. Pada 2016, ia diberi kesempatan sebagai mentor dalam acara Young Creator Indonesia Fashion Institute (YCIFI).

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sejarah Batik Sunda

Tidak hanya di dalam kelas, Yan Yan juga konsisten mengangkat soal kearifan lokal Batik Sunda saat mengisi seminar di luar kampus. Sejarah batik dalam masyarakat Sunda dijelaskan Yan Yan, berasal dari kata "euyeuk" dan "pangeuyeuk".

Hal itu terdapat di dalam naskah Sunda Buhun Siksa Kanda Ng Karesian pada abad ke-16. Dalam naskah itu dijelaskan mengenai bahan, potongan, warna, corak, estetika, dan cikal bakal batik saat ini.

Contoh warna khas batik Sunda misalnya, beureum euceuy (merah kuat), hejo ngagedod (hijau pekat), dan warna lainnya.

"Bagaimana rancangannya, itu ada istilah didadarkeun, wirahma, dilempengkeun, entong paliyas, kade papalimpang. Banyak sebetulnya cuma saja visualisasinya tidak ada, melainkan baru secara literasi saja," katanya.

Karena hanya sebatas bukti literasi, ia sulit untuk mengetahui bentuk visual asli batik Sunda. Maka itu, visualnya sebagian dipengaruhi batik Jawa yang ada saat ini. Hal itu tak mengherankannya sebab menurutnya, antara batik Jawa dan Sunda saling terkait secara historis.

Batik Sunda itu tercermin dari orang Sunda yang terbuka (muka), adaptif (merenahkeun), positif (hade hate), dan kreatif (binangkit). Maka itu, pemilihan warnanya mencerminkan keceriaan, kadang terang.

"Dasarnya ceria, humoris, dan ekspresif," katanya.

Dia mengatakan, saat ini batik yang ada di pasaran tidak sepenuhnya asli, melainkan sudah bercampur dengan "batik palsu" hasil printing. Batik ini biasanya beredar di pasaran dengan harga yang amat murah.

Terkait hal itu, ia menyarankan agar pemerintah memberikan subsidi kepada pengrajin batik, baik berupa insentif, bahan baku, peralatan sehingga batik mereka bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.

"Sekarang di ITB sudah ada kurikulum batik untuk mata kuliah pilihan, ternyata peminatnya cukup banyak, di luar prodi kriya ada prodi astronomi, kimia, arsitektur, pokoknya membludak," katanya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.