Sukses

Fenomena Embun Es di Dieng, Dampak Aphelion?

Benarkah Aphelion berpengaruh terhadap penurunan suhu di Jawa dan beberapa daerah kepulauan timur Indonesia hingga bisa memicu munculnya embun es di Dieng, Banjarnegara?

Liputan6.com, Banjarnegara - Belakangan di media-media sosial bersliweran kabar bahwa wilayah Indonesia mengalami penurunan suhu drastis akibat fenomena Aphelion, yakni titik terjauh orbit bumi dari matahari.

Informasi ini cukup meresahkan. Pasalnya, disebut bahwa penurunan suhu jika tak diantisipasi akan berdampak buruk. Anak-anak mesti berkaos kaki dan berselimut tebal. Bayi-bayi harus berada dalam ruangan yang cukup hangat.

Disebut dalam informasi itu, lantaran berada di titik terjauh, kekuatan panas matahari berada di titik nadir sampai ke permukaan bumi. Kabar ini seolah-olah benar dengan penurunan suhu di beberapa kota Indonesia, seperti Bandung dan Semarang.

Ditambah lagi, di Dataran Tinggi Dieng atau Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, muncul fenomena embun es atau bun upas yang cukup tebal dan mencakup kawasan yang luas. Kompleks Candi Arjuna Dieng di Desa Dieng Kulon Kecamatan Batur hingga Bukit Sikunir tertutup embun es, Jumat pagi, 6 Juli 2018.

Pertanyaan yang muncul adalah, benarkah Aphelion ini berpengaruh terhadap penurunan suhu di Jawa dan beberapa daerah kepulauan timur Indonesia hingga bisa memicu munculnya embun es di Dieng?

Kepala Stasiun Geofisika Pos Pengamatan Banjarnegara, Setyo Aji menerangkan, berdasarkan pengamatan cuaca di Stasiun Geofisika Banjarnegara yang berada di ketinggian 608 mdpl, tercatat suhu udara rata-rata dalam 4 hari terakhir, 1 – 4 Juli 2018 berkisar antara 20,7-23.4 derajat Celsius dan suhu minimum dapat mencapai 18,2 – 19,2 derajat Celsius.

Dengan asumsi setiap kenaikan ketinggian 100 meter terjadi penurunan suhu 0,5 derajat Celsius, maka di daerah Dieng yang memiliki ketinggian sekitar 2.065 mdpl diperkirakan suhu udara rata-rata dalam empat hari terakhir, berkisar antara 13,7-16,4 derajat Celsius dan suhu minimum mencapai 11,2 – 12,2 derajat Celsius.

"Perlu diketahui bahwa tanah lebih mudah menyerap panas dan lebih mudah melepaskan panas, ditambah lagi dengan topografi Dieng yang berupa dataran tinggi," katanya, Jumat malam.

Menurut dia, kondisi yang sangat dingin ini berdampak suhu udara bisa mencapai nol derajat Celcius yang dapat menyebabkan uap air atau embun menjadi beku. Masyarakat Jawa mengenalnya dengan istilah musim Bediding, yakni terjadi perubahan signifikan suhu di awal musim kemarau.

Akibat langsung dari perubahan suhu udara tersebut adalah munculnya fenomena embun es di Dieng, yang dikenal masyarakat dengan istilah Bun upas atau embun beracun karena berdampak buruk bagi petani sayuran di Dieng.

Setyo menjelaskan, faktor regional juga ikut memengaruhi, indikatornya adalah aktifnya monsoon Australia, yang berdampak masuknya aliran udara dingin dari australia ke sejumlah wilayah di Indonesia khususnya yg berada di sebelah selatan garis khatulistiwa.

"Dampaknya adalah penurunan signifikan temperatur udara," dia menambahkan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dampak Aphelion di Indonesia

Terkait fenomena Aphelion, Deputi Bidang Meteorologi, Mulyono R Prabowo dalam keterangannya menyatakan penurunan suhu pada Juli ini lebih dominan karena dalam beberapa hari terakhir, di wilayah Indonesia, khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT, kandungan uap di atmosfer cukup sedikit.

Hal ini terlihat dari tutupan awan yang tidak signifikan selama beberapa hari terakhir. Secara fisis, uap air dan air merupakan zat yang cukup efektif dalam menyimpan energi panas.

Rendahnya kandungan uap di atmosfer ini menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi ke luar angkasa pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer dan energi yang digunakan untuk meningkatkan suhu atmosfer di atmosfer lapisan dekat permukaan bumi tidak signifikan.

"Hal inilah yang menyebabkan suhu udara di Indonesia saat malam hari di musim kemarau relatif lebih rendah dibandingkan saat musim hujan atau peralihan," ucapnya, dikutip dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Jumat malam.

Menurut dia, kondisi ini bertolak belakang dengan kondisi saat musim hujan atau peralihan di mana kandungan uap air di atmosfer cukup banyak, sehingga atmosfer menjadi semacam "reservoir panas" saat malam hari.

Selain itu, pada Juli ini wilayah Australia berada dalam periode musim dingin. Sifat dari massa udara yang berada di Australia ini dingin dan kering. Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia semakin signifikan.

"Akibatnya, terjadi penurunan suhu udara yang cukup signifikan pada malam hari di wilayah Indonesia khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT," dia menambahkan.

Berdasarkan pengamatan BMKG di seluruh wilayah Indonesia selama 1 hingga 5 Juli 2018, suhu udara kurang dari 15 derajat Celcius tercatat di beberapa wilayah. Seluruhnya berada di dataran tinggi atau kaki gunung seperti Frans Sales Lega (NTT), Wamena (Papua), dan Tretes (Pasuruan).

Suhu terendah tercatat di Frans Sales Lega (NTT) dengan nilai 12,0 derajat Celcius pada 4 Juli 2018.

Adpun untuk wilayah lain di Indonesia selisih suhu terendah selama awal Juli 2018 ini terhadap suhu terendah rata-rata selama 30 hari terakhir ini tidak begitu besar. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena Aphelion memiliki pengaruh yang kurang signifikan terhadap penurunan suhu di Indonesia.

"Sehingga diharapkan masyarakat tidak perlu khawatir secara berlebihan terhadap informasi yang menyatakan bahwa akan terjadi penurunan suhu ekstrem di Indonesia akibat dari Aphelion," dia menerangkan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.