Sukses

Merajut Asa Petani Tembakau Pamekasan di Tengah Musim Kemarau

Dengan menekuni profesi sebagai petani tembakau, Matneri bisa berangkat haji.

Liputan6.com, Pamekasan - Matneri, petani tembakau asal Desa Tobungan Kecamatan Galis, Pamekasan Jawa Timur, selama 60 tahun ini tetap konsisten menanam tembakau dan padi.

Pria yang memilih jalan hidupnya dengan menjadi seorang petani tembakau sejak kelas 3 SD ini, mencoba merajut asa dan mengejar mimpinya untuk membina keluarga serta mencukupi segala urusan istri dan anak-anaknya.

"Dari hasil panen tembakau ini, alhamdulillah saya sudah daftar haji, dan akan segera berangkat ke tanah suci," tuturnya kepada Liputan6.com saat berkunjung ke area persawahannya di Pamekasan, Sabtu (12/5/2018).

Selain bisa memenuhi kebutuhan spiritualnya untuk segera berangkat haji, Matneri juga mendapatkan berkah menjadi seorang petani tembakau. Dia sukses menyekolahkan anaknya hingga jenjang yang lebih tinggi.

"Alhamdulillah, anak saya ada yang menjadi anggota dokter gigi di TNI AL dan anak yang satunya menjadi pengembang perumahan di Sidoarjo," katanya.

Saat ditanya apakah tidak ingin menanam komoditas lain seperti bawang dan tebu, yang sesuai dengan arahan pemerintah, Matneri menjawab bahwa menjadi petani, tembakau itu paling menguntungkan bila dibandingkan dengan komoditas lainnya, sehingga dia pun enggan bercocok tanam selain tembakau.

"Saya tidak mau kalau disuruh tanam lainnya jika sudah masuk kemarau. Bagi saya hanya tembakau yang menguntungkan. Dulu pernah ditawari tanam tebu. Tapi saya tidak mau," ucapnya.

"Saya kesulitan air kalau menanam tebu, apalagi uang hasil panen tebu itu prosesnya lama beda dengan uang hasil tembakau yang prosesnya cepat, jadi perputaran uangnya enak," ujarnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Didukung Pemkab

Dia menuturkan, tahun lalu per kilo gram tembakau rajangan miliknya terjual dengan harga Rp 50 ribu. Waktu itu, dia mengaku mengeluarkan modal sebesar Rp 3,5 juta untuk 22 ribu bibit tembakau. Setelah dipanen dan dirajang, tembakaunya terjual Rp 22 juta. Dengan keuntungan tersebut, dia menegaskan tidak mau bercocok tanam selain tembakau. 

Untuk tahun ini, Matneri menanam tembakau sebanyak 35 ribu bibit dengan modal Rp 7 juta. Untuk menyiram tembakaunya, dia menyiapkan 4 sumur yang dia gali di dekat ladang. Dia yakin tahun ini tembakaunya juga akan laku mahal, karena kualitasnya bisa diadu dengan tembakau daerah lain, seperti tembakau Prancak, Kecamatan Pasongsongan, Sumenep.

"Biasanya dibeli Gudang Garam, Sampoerna dan Djarum. Saya berharap harga tembakau tahun ini tetap mahal," ucapnya.

Sektor pertanian tembakau di Pamekasan sangat didukung penuh oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pamekasan, hal tersebut terbukti dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) tembakau, yang menjadi Perda satu-satunya di seluruh Indonesia.

"Selain Perda tembakau, kami juga punya Komisi Urusan Tembakau Pamekasan," tutur Bambang Edi, Kadisperindag Kabupaten Pamekasan.

Edi menceritakan, menanam tembakau di Pamekasan atau Madura ini sudah menjadi budaya dan jika dilarang sekeras apapun tidak boleh menanam tembakau, maka tekanan penolakan dari para petani tembakau ini akan semakin besar.

"Menghapus budaya tanam tembakau di Madura itu sulit karena ada istilah kalau tidak menam tembakau berarti bukan orang Madura," ujarnya.

 

 

3 dari 3 halaman

Komoditas Pilihan Saat Kemarau

Sementara Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Soeseno mengatakan, tembakau merupakan komoditas pilihan di saat kemarau, karena memiliki nilai ekonomi paling tinggi dibandingkan komoditas pertanian lainnnya. Sehingga di Madura, menanam tembakau menjadi realitas kultural karena dilakukan secara berkelanjutan. 

"Komoditas tembakau lebih menguntungkan ketimbang lainnya," kata Soeseno.

Dia pun mengatakan Universitas Airlangga tahun 2013 lalu meneliti tembakau dan sejumlah komoditas lain di Lombok Timur, Madura, Jember, dan Temanggung. Hasilnya sangat mengejutkan. Penerimaan per hektare tembakau di atas Rp 53 juta, sementara per hektare jagung hanya di atas Rp 4 juta. Begitu juga dengan cabai dan bawang merah. Per hektare cabai hanya di atas Rp 9 juta, sementara per hektare bawang merah hanya lebih Rp 7 juta.

"Tentu penelitian itu cukup menarik. Itu membuktikan bahwa tembakau menjadi pilihan di saat kemarau bila dibandingkan jenis tanaman lainnya," ujar Soeseno.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.