Sukses

Sentuhan Seniman Jepang dalam Seni Banyumasan yang Nyaris Punah

Seniman Banyumas bahkan merasa ditampar dengan penampilan seniman Jepang yang sangat halus memperlakukan calung.

Liputan6.com, Purbalingga - Ketukan nada dari alat perkusi kayu dan bambu mengalun siang itu. Melodi dan ketukan ritmis yang keluar dari seni calung Banyumasan ini membuat ratusan pasang mata terkagum-kagum.

Harmonisasi nada dan para pemainnya menyedot perhatian para penonton. Tak seperti biasanya, kesenian yang dibawakan warga lokal kini dimainkan tangan-tangan terampil dan penuh penghayatan dari warga Jepang.

Grup Calung Kulu-kulu dari Tokyo, Senin, 26 Maret 2018 diundang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Purbalingga dalam Apresiasi Seni di Pendopo Dipokusumo Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Dua lagu, Eling-Eling dan Ricik-ricik Banyumasan, tuntas ditabuhnya di hadapan guru-guru seni sekolah se-Purbalingga.

Mereka terdiri dari tujuh pemain, enam di antaranya warga Jepang yakni Kayo Kimura, Akiko Makino, Kumiko Mimura, Masaki Fukuda, Tomoko Yanagawa, Keiko Murakami, Kyoko Yasunori dan Yumiko Kamei. Serta, satu pemain lainnya dari Meksiko yakni Leon Gilberto.

Seniman asing itu mempelajari seni calung Banyumasan selama satu tahun di ISI Surakarta. Mereka akhirnya mampu memainkannya dengan baik, persis sebagaimana musisi lokal bermain.

"Mereka sangat hati-hati memperlakukan instrumen, itu yang membuat kita merasa kalah. Pelan-pelan, tapi penuh penghayatan," kata Darno Kartawi, Dosen mata kuliah Musik Banyumasan ISI Surakarta yang membawa Grup Kulu-kulu.

Salah satu personel Kulu-kulu, Kayo Kimura merasakan harmoni nuansa tradisional mampu merelaksasi dan menghilangkan stres. Baginya, alunan ritmis calung seakan bercerita tentang masa lalu masyarakat Banyumas.

"Musik Banyumasan berbeda dari Surakarta dan Yogyakarta yang lebih halus dan statis. Musik Banyumasan lebih dinamis dan lebih ekspresif," katanya.

 

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

21 Tahun Belajar Krumpyung

Selepas calung mengalun, satu set angklung yang bertengger dari awal acara dimainkan oleh Grup Krumpyung Sri Rahayu Tresno Sejati, Purbalingga. Mereka dan Kulu-kulu berkolaborasi membawakan gendhing Jineman Uler Kambang khas Surakarta.

Kesenian Krumpyung pada dasarnya menggunakan alat musik perkusi dari bambu dan kayu seperti calung. Tetapi, pada Krumpyung ditambah alat musik angklung yang dimainkan oleh tiga orang sekaligus. Masing-masing berperan memainkan strata nada berbeda yang disebut Pengoblong, Penuthuk, dan Penerus.

Warga Jepang yang berperan sebagai sinden dengan khusyuk mengikuti alunan angklung. Mata penonton pun semakin berbinar, bunyi khas angklung tambah menyemarakkan pendopo saat itu.

Sulemi, Ketua Grup Krumpyung Sri Rahayu Tresno Sejati mengaku butuh waktu puluhan tahun untuk belajar menyelaraskan nada Krumpyung. Satu alat yang dimainkan oleh tiga orang sekaligus baru ‘berbunyi’ jika para pemainnya sudah sehati.

"Saya belajar dari bapak saya sejak tahun 1964, tahun 1985 baru mahir memainkannya," tutur Sulemi.

Saat ini, Kesenian Krumpyung hampir punah di Purbalingga karena minim regenerasi. Darno Kartawi bercerita, pada 1970-an, ia pernah menjumpai Krumpyung di Somagede, Banyumas, tetapi sekarang sudah hilang.

"Sekarang satu-satunya yang bisa dijumpai adalah di Purbalingga, tepatnya di Desa Langgar Kecamatan Kejobong," ujarnya.

Krumpyung dinilai sebagai representasi seniman dari wilayah tertentu. Meski berasal dari Purbalingga, dalam kesenian itu dinilai mengalir dari gaya wetanan, khususnya Surakarta. Sebab, karakter Angklung sendiri lebih enak dimainkan dengan tempo yang lamban.

3 dari 3 halaman

Sedikit Asa

Selain Calung dan Krumpyung, para guru seni se-Purbalingga juga dikenalkan dengan Kesenian Angguk. Ciri-ciri seni Angguk adalah gerakan penari berkarakter anggukan dengan diiringi suara rebana, beduk, dan kendang.

Angguk kental dengan nuansa Islam. Syair-syair yang dilantunkan diambil dari kitab Barzanji. Konon, anggukan dalam tarian itu berasal dari bentuk penghormatan kaum muslim saat saling bertemu.

Para guru yang hafal dengan shawalat Barzanji lirih-lirih ikut berdendang. Rampaknya tarian, syair, dan tabuhan rebana memaksa para guru ikut menghentakkan kaki dan mengetuk jari.

Untuk menjaga keberlangsungan kesenian khas Banyumasan itu, Pemerintah Kabupaten Purbalingga, melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) bersengkuyung merevitalisasi kesenial lokal yang hampir punah. Salah satunya dengan membangun wadah Sanggar Citra Budaya sejak 2013.

"Dulu banyak desa-desa yang menradisikan seni ini dalam pementasan, tetapi sekarang sudah langka karena tidak ada regenerasi," kata Kepala Seksi Kesenian dan Nilai Tradisi, Dindikbud Purbalingga, Rien Anggraeni Setya.

Selanjutnya, tahun ini Pemkab berencana menggelar kegiatan apresiasi seni dan budaya untuk 18 kecamatan. Apresiasi seni didorong dengan pengadaan gamelan untuk seluruh Kecamatan.

"Minimal ada 18 kali pertunjukan wayang kulit dan jika memungkinkan ada dua kali pementasan dalam satu bulan," kata Subeno, Plt Kepala Dindikbud Purbalingga.

Dindikbud juga telah berkoordinasi dengan seluruh sekolah di Purbalingga agar berkontribusi mengembangkan seni budaya. Subeno mempersilahkan para guru untuk menyampaikan usulan, ide kreatif, dan pemikiran-pemikiran positif dalam rangka pengembangan budaya pada 2019.

"Satu hal yang pasti, setiap tahun kami akan melaksanakan revitalisasi seni, dan tahun ini adalah revitalisasi kesenian angguk," katanya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.