Sukses

Geliat Gemulai Industri Sari Konde di Purbalingga

Ada sentra industri rumah tangga produsen sari konde di Desa Karangbanjar, Kecamatan Bojongsari, Purbalingga.

 

Liputan6.com, Purbalingga - Yang kutahu sari konde Ibu Indonesia sangatlah indah

Itulah penggalan sebaris puisi "Ibu Indonesia" karya Sukmawati Soekarnoputri yang kontroversial. Anak sang proklamator itu sampai harus berurusan dengan polisi karena puisinya itu.

Salah satu yang ikut tenar dari pemberitaan viral puisi itu adalah sari konde.

Nah, di Purbalingga, Jawa Tengah, tepatnya di Desa Karangbanjar, Kecamatan Bojongsari, ada sentra industri rumah tangga produsen sari konde. Desa tersebut telah masyhur sebagai gudangnya para perajin rambut palsu sejak era 50-an.

Kini, hampir di setiap lingkup RT terdapat perajin, baik itu konde (sanggul), wig (rambut palsu), cemara, bulu mata, maupun pengolahan bahan baku. Di banyak beranda rumah terlihat tangan-tangan perempuan piawai merajut helai-helai rambut.

Sepintas dipandang, 'Gerai tekukan rambutnya suci'. Sesuci para perajin perempuan itu yang tabah menenun rambut untuk menafkahi keluarganya hingga 'Peluh tersentuh angin laut'.

Nyonya Tarmawi (kini almarhum) adalah pionir yang membangun kejayaan rambut palsu di desa yang saat ini juga menjadi desa wisata itu. Usaha Nyonya Tarmawi saat ini diteruskan oleh cucunya dengan bendera Hair Wina.

Cucunya, Maryoto (77), meneruskan kelihaian Tarmawi sejak 1977. Dia dan delapan perajin di Hair Wina mampu membuat apa pun konde yang didesain oleh pelanggan.

'Rasa ciptanya sangatlah beraneka'. Meminjam baris lain puisi Sukmawati untuk menggambarkan kelihaian mereka menggelung konde.

Salah satu konde pesanan yang cukup populer bernama "keong racun" untuk pagelaran busana. Lainnya, ada konde serupa candi yang melingkar tinggi di atas kepala.

"Apa pun itu, asalkan dari rambut kami sanggup membuatnya," kata Maryoto saat ditemui Liputan6.com akhir Maret 2018 lalu.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Dari Pengantin hingga Pasar Rambut

Cerita Ny. Tarmawi merintis industri rambut palsu sebenarnya berawal dari kejadian tak terduga. Sekitar 1950, tetangganya bingung saat hendak menikah karena rambutnya tipis. Padahal, selayaknya pengantin perempuan rambutnya mesti digelung.

Nyonya Tarmawi lantas mencoba membantu tetangganya. Dia mengumpulkan rambut yang rontok milik warga desa.

Diuntainya jalinan rambut itu hingga membentuk cemara (jalinan rambut memanjang 50 - 100 cm). Lalu diserahkan kepada calon manten untuk berias diri.

"Cemara itu yang kemudian digelung, dijadikan konde bagi pengantin wanita," tutur Maryoto.

Keahlian Ny Tarmawi semakin dikenal. Ia pun sering mendapat permintaan membuatkan cemara. Awalnya, ia hanya mendapat upah ijol sirih (ungkapan Jawa upah seadanya), barter kebutuhan pokok, hingga lama-kelamaan mendapatkan upah yang setimpal.

Ramainya permintaan membuat Tarmawi rajin berkeliling mencari bahan baku hingga luar kota. Tetangganya pun banyak yang ketularan menjadi perajin rambut maupun pemasok bahan baku serta pemasar cemara dan konde.

Usaha rambut palsu kian berkembang, bahkan sempat muncul pasar rambut sekitar 1960-1970an. Bahan baku rambut asli, cemara, dan konde dijajar di lapak-lapak tak ubahnya seperti sayuran.

"Bahan baku rambut itu dijual di lapak pasar lama, pedagangnya banyak dari luar kota. Nanti mereka juga yang memasarkan konde Purbalingga ke luar kota," kata Maryoto mengenang.

Bertahun-tahun kemudian, usaha rambut palsu mengalami pasang surut. Hingga mengalami kejayaan lagi pada 1980-an dan masuknya investor asing sekitar tahun 2000-an.

 

3 dari 4 halaman

Berkah TVRI dan Konde Megawati

Pada 1980, rambut palsu telah memasuki pasar ekspor hingga ke Inggris kala itu. Berkat masyhurnya Karangbanjar, kesempatan emas pun datang. Maryoto mendapat undangan tampil di TVRI pada 1984.

"Saat itu reporternya Joko Pitoyo. Saya berutang budi, setelah tampil, banyak pembeli berdatangan mengaku tahu dari TVRI," katanya.

Hingga kini, pelanggan tetap Maryoto berasal dari Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia (HARPI). Sekali setahun, ada waktu lebaran bagi para perajin sanggul, yaitu saat peringatan hari lahir RA Kartini.

Dalam satu bulan, rambut seberat 50 kilogram tuntas digarap para perajin Hair Wina. Harga jual konde bervariasi, dari Rp 50.000 hingga Rp 350.000, sedangkan wig seharga Rp 125.000 - Rp 300.000.

"Omzet lumayan, sekitar Rp 17 juta per bulan," katanya.

Jika sekali waktu Megawati Soekarnoputri tampil berkonde, barangkali konde itu dari Maryoto. Sebab pada 2004 silam, Maryoto berkesempatan memberikan sari konde kepadanya melalui Puan Maharani.

"Saat itu Ibu Megawati kunjungan ke Purwokerto, saya berkesempatan memberikan sanggul," ujarnya.

Sekali waktu saat pembaca ke Purbalingga, ambilah sari konde itu.

'...Supaya kau dapat mengingat kecantikan asli dari bangsamu..'

 

4 dari 4 halaman

Gempuran Investor dan Cara Pengolahan

Memasuki abad 21, abad yang berlari, satu persatu investor berdatangan mendirikan pabrik. Mereka bergerak memproduksi secara massal bulu mata dan rambut palsu.

Banyak para perajin di Karangbanjar yang beralih profesi ke penyedia bahan baku. Beberapa, seperti Maryoto, masih bertahan menghasilkan produk.

Beberapa dari mereka juga memasok produk jadi ke pabrik-pabrik untuk dipasarkan. Akan tetapi, gempuran itu tidak menyurutkan jayanya Karangbanjar sebagai sentra rambut palsu.

Salah satu pemasok bahan baku ialah Agus Santoso (50), tetangga seberang jalan Maryoto yang sudah menggeluti usaha rambut sejak tahun 1999. Dia mencari rambut dari berbagai kota di Indonesia, kemudian diolahnya hingga menjadi bahan baku rambut semijadi.

Industri rumahannya merupakan lahan garapan bagi 20 perajin. Mayoritas ibu rumah tangga yang merupakan tetangganya.

"Sebulan habis 2 kuintal rambut, makanya saya tiap hari jarang di rumah, karena saya harus cari bahan baku agar mereka di sini tetap bisa bekerja," katanya.

Usai mendapatkan bahan, rambut tersebut harus dijemur dahulu agar tidak mudah rusak. Proses selanjutnya rambut dijewer (menggerai rambut agar tidak menggumpal).

Agar rambut bisa lurus, helaian itu direndam dalam minyak tanah selama satu malam. Setelah mengembang, rambut siap disasak atau dipilah sesuai panjang rambut.

"Permintaan dari pembeli, dari 7, 8, 10 sampai 30 inci. Harga dari Rp 25 ribu sampai Rp 8 juta per kilogram tergantung panjang rambut," ujar Agus.

Sisa bahan baku yang pendek-pendek bukan tidak berarti. Bahan itu bisa dibuat untuk bulu mata. Bahkan, banyak yang mengantre untuk mendapatkan bahan itu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini