Sukses

Gunung Agung Erupsi Lagi, Abu Membubung Setinggi 2,5 Km

Ketinggian kolam abu membubung setinggi 2,5 kilometer dari puncak kawah Gunung Agung.

Liputan6.com, Denpasar - Gunung Agung kembali menunjukkan aktivitasnya. Pagi tadi, gunung setinggi 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu kembali erupsi. Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Devy Kamil Syahbana membenarkan geliat aktivitas vulkanik Gunung Agung.

"Erupsi terjadi pada pukul 10.05 Wita," kata Devy, saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (24/12/2017).

Erupsi Gunung Agung menyemburkan abu vulkanik. Devy menyebut, ketinggian kolam abu mencapai 2.500 meter.

Meski kolom abu vulkanik cukup tinggi, Devy menyebut, hal tersebut tak mengganggu penerbangan di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. "Ketinggian kolom abu setinggi 2.500 meter. Angin mengarah ke timur laut. Bandara Ngurah Rai yang berada di barat daya masih aman," ujar Devy.

Dalam laporan Magma VAR Indonesia yang disusun tiap enam jam sekali, disebutkan beberapa aspek kegempaan masih teramati di dalam perut Gunung Agung. Gempa letusan sebanyak satu kali dan gempa vulkanik dalam satu kali. Tremor menerus (microtremor) terekam dengan amplitudo 1-4 milimeter (dominan 1 milimeter).

Ketinggian asap kelabu pekat teramati dengan jelas. Saat diamati cuaca mendung, angin bertiup lemah hingga sedang ke arah timur laut. Suhu udara 24-25 derajat Celsius dan kelembaban udara 77-82 persen.

Kemarin, Gunung Agung juga menunjukkan aktivitasnya. Gunung api itu kembali erupsi pada pukul 11.57 Wita. Ketinggian kolom abu vulkanik mencapai 2.500 meter.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

BNPB soal Pencabutan Tanggap Darurat Gunung Agung

Sebelumnya, status tanggap darurat Gunung Agung resmi dicabut pemerintah. Alasannya, dengan status tersebut banyak negara mengeluarkan travel banned bagi warganya bepergian ke Bali. Pencabutan status tersebut tak dipermasalahkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kepala Pusat Data dan Hubungan Masyarakat BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, tak mempersoalkan pencabutan status tanggap darurat tersebut.

"Toh, ini hanya untuk kepentingan administrasi penggunaan anggaran dan logistik saja. Yang penting pemerintah masih akan terus membantu penanganan pengungsi," kata Sutopo saat dikonfirmasi Liputan6.com, Sabtu, 23 Desember 2017.

Sutopo mengakui jika penggunaan istilah darurat bencana di daerah lain di Indonesia selama ini tidak pernah ada masalah. Namun, karena bencana tersebut terjadi di Bali yang dimaknai lain oleh banyak pihak dengan arti yang lain pula, diksi darurat menjadi sensitif.

"Makanya perlu diganti dengan istilah lain," ujarnya.

Bagi dia, soal status tanggap darurat dalam penanggulangan bencana, keadaan atau status darurat baik itu siaga darurat, tanggap darurat ataupun transisi darurat menuju pemulihan, sesungguhnya hanyalah administrasi belaka.

Administrasi itu diperlukan agar ada kemudahan akses, baik pengerahan SDM, dana, dan logistik saat terjadi bencana erupsi Gunung Agung. Status keadaan darurat yang ditetapkan kepala daerah pada dasarnya hanya syarat administrasi untuk memudahkan penanganan bencana.

"Perlu diskresi agar bencana dapat ditangani dengan cepat dan tepat," kata Sutopo.

 

 

3 dari 4 halaman

Landasan Hukum

Dengan status tanggap darurat, Sutopo menyebut, BNPB memiliki landasan hukum untuk mengeluarkan bantuan Dana Siap Pakai (DSP) ke pemerintah daerah di mana bencana terjadi. Di sisi lain, Kementerian Sosial juga dapat mengeluarkan bantuan cadangan beras di gudang dengan status tanggap darurat.

Status tanggap darurat juga sejatinya diperlukan bagi pemerintah daerah untuk menjadi dasar penggunaan dana Belanja Tak Terduga (BTT).

Hanya saja, masalah timbul manakala banyak pihak tak memahami pengertian diksi tanggap darurat. Dalam benak mereka, imbuh Sutopo, status tersebut menandakan sebuah wilayah dalam kondisi krisis, chaos, genting, tidak nyaman, dan bahaya untuk dikunjungi.

Ia mengakui kata darurat dalam beberapa hal digunakan untuk sesuatu yang menyatakan terjadinya situasi kaos.

Sebut saja, darurat sipil atau darurat militer. Tetapi, darurat bencana berbeda pengertian dengan kedua istilah tersebut. "Darurat bencana hanya persoalan administrasi belaka agar tak menjadi temuan dan memudahkan penanganannya secara cepat dan tepat," paparnya.

Sementara bagi negara-negara asing yang jarang terjadi bencana, yang dipikirkan dengan penggunaan kata tanggap darurat sama halnya bermakna terjadinya kondisi genting dan akan dapat membahayakan warganya jika berkunjung ke Bali.

Pemahaman yang salah seolah-olah Bali tidak aman akibat status Awas dan erupsi Gunung Agung itu banyak terjadi di masyarakat luar. "Informasi yang berlebihan dan hoax yang bermunculan menyebabkan beberapa negara mengeluarkan travel warning," tutur Sutopo.

Terbatasnya informasi kondisi yang sebenarnya tentang erupsi Gunung Agung dan dampaknya, khususnya ke masyarakat internasional menyebabkan seolah-olah Bali tidak aman.

"Akhirnya banyak negara mendefinisikan kata darurat bencana dengan pengertian darurat yang mengerikan. Banyak negara lain yang belum paham soal definisi dan arti darurat bencana," ujar dia.

Atas dasar itulah, menurut Sutopo, Presiden Jokowi meminta mencabut status tanggap darurat bencana Gunung Agung.

4 dari 4 halaman

Warga di Zona Merah Tetap Mengungsi

Meski status tanggap darurat telah dicabut, Sutopo tetap mengimbau masyarakat dalam radius 8-10 kilometer dari puncak kawah Gunung Agung harus tetap mengungsi.

"Tidak boleh kembali ke rumahnya. Gunung Agung juga masih berbahaya. Patokannya tetap rekomendasi PVMBG," pinta dia.

Di sisi lain, Sutopo menjelaskan jika kerugian ekonomi Bali memang luar biasa akibat bencana erupsi Gunung Agung. "Melebihi siklon Cempaka menerjang Jawa. Sampai saat ini masih ada lima negara menetapkan travel warning ke Bali," tuturnya.

Apa pun yang terjadi, menurut Sutopo, terpenting pengungsi tertangani dengan baik. Hanya memerlukan payung hukum administrasi yang mudah guna mengeluarkan DSP, BTT dan beras.

Makanya, perlu ada diskresi. Ada perlakuan khusus. Tanpa status tanggap darurat pun yang penting tetap dapat menggunakan anggaran atau tetap ada kemudahan akses.

"Apa pun istilah penggantinya nanti akan dituangkan dalam perpres. Sebab diksi darurat ternyata implikasinya luas terhadap Bali," Sutopo memungkasi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.