Sukses

Belajar Lepas dari Jerat 'Bank Jaket Hitam' di Desa Ponggok

Pada 2007, 60 persen warga Desa Ponggok yang terjerat 'Bank Jaket Hitam' setiap hari diteror penagih yang meminta utang mereka dibayar.

Liputan6.com, Klaten - Nama Desa Ponggok belakangan menjadi tujuan studi banding banyak kepala desa di berbagai daerah. Mereka datang berombongan, terkadang menumpang bus besar yang diparkir di halaman kantor kepala desa, untuk belajar mengelola desa yang kini memiliki pendapatan asli desa (PAD) mencapai Rp 4,3 miliar per tahun.

Siapa sangka jika desa yang berada di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu pernah terjerat 'Bank Jaket Hitam' -sebutan warga untuk rentenir- hingga 2007. Saat itu, kata Kepala Desa Ponggok Junaedhi Mulyono, 60 persen penduduk rajin diketok rentenir hampir tiap hari.

Junaedhi yang baru menjabat sebagai kepala desa pada tahun itu memutar otak. Visinya untuk mewujudkan desa mandiri untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, berbudaya, maju, adil, demokratis, dan peduli terhadap lingkungan, tak bisa terwujud jika masalah Bank Jaket Hitam itu tak diselesaikan lebih dulu.

"Besaran (utang)nya enggak banyak. Paling Rp 100 sampai Rp 200 ribu (per orang). Paling tinggi Rp 1 juta. Tapi, pengembaliannya bisa sampai Rp 1,2 juta. Itu banyak dan ditagih tiap hari," kata Junaedhi saat dikunjungi rombongan Bank Indonesia Perwakilan DKI Jakarta, Kamis, 15 Desember 2017.

Untuk itu, ia menyusun langkah pengentasan utang warga. Langkah pertama adalah mendata total utang yang dimiliki warga dan diperoleh besarannya Rp 60 juta. Junaedhi terpikir untuk menutup utang warga menggunakan dana desa, tapi urung dilakukannya karena risiko kredit macet besar.

"Kalau ditutup dari dana desa, pasti dana hilang. Disuruh kembalikan, warga pasti enggak mau karena menganggap itu uang negara, ya uang rakyat juga," ujarnya.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Buka BUMDes

Akhirnya, Junaedhi memutuskan untuk membuka Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tirta Mandiri pada 2009. Menurutnya, BUMDes paling strategis untuk mengokomodasi seluruh kepentingan desa dan warganya. Bidang usaha yang dijalankan pertama kali tentu saja simpan pinjam.

"Sebelum kami mulai mendirikan BUMDes ini, profil desa ini datanya enggak jelas, padahal untuk perencanaan, kami butuh data riil. Jadi, saya kirim surat ke Rektor UGM untuk membantu kami penelitian awal. Kami menyelesaikan masalah persis seperti skripsi," tuturnya.

Direktur Utama BUMDes Tirta Mandiri Joko Winarno mengatakan pekerjaan rumah pertama saat membuka usaha simpan pinjam itu adalah memberi pemahaman pada warga. Ia menyebut, dengan potensi luar biasa, risiko usaha itu juga luar biasa.

"Dengan label dana desa, kalau kurang literasi, ntar masyarakat anggap enggak dibalikin, enggak apa-apa," ucap Joko.

Metode yang diterapkan Junaedhi dan anak buahnya, didukung data yang valid mulai menampakkan hasil. Dana dari usaha simpan pinjam yang didapat dari warga berhasil diputarkan dan dikembangkan untuk memodali usaha lain. Termasuk di dalamnya wisata air Umbul Ponggok yang tersohor.

Di sisi lain, warga juga diberi keterampilan tambahan. Para pria yang biasanya hanya mengelola sawah, diajari cara membudidaya ikan nila. Apalagi, daerah itu memiliki potensi sumber daya air yang besar. Dengan konsep pertanian minapolitan, warga bisa memperoleh penghasilan tambahan.

Sementara, para ibu yang biasanya tak produktif, didorong untuk membuka usaha. Pengurus BUMDes saat itu bahkan menawari kios gratis untuk mereka berjualan. Namun, hal itu tak mudah. Kios yang ada sempat tak laku.

"Akhirnya, kita buat ramai dulu desa sehingga banyak pengunjung datang. Nah, pengunjung yang datang kan pasti mencari makan. Tahu ada potensinya, sekarang yang ada pada berebut mau sewa kios," kata Joko.

3 dari 3 halaman

Cegah Rentenir

Kembali Joko mengatakan dari total pendapatan BUMDes yang diterima, 10 persennya dialokasikan untuk CSR. Ia menjelaskan dana CSR itu untuk membiayai program sosial pemerintah desa, di antaranya menanggung biaya BPJS dan memberi beasiswa.

Junaedhi menerangkan dirinya sengaja membuat program 1 Rumah 1 Sarjana untuk mendukung program pemerintah desa. Ia menyadari kualitas sumber daya manusia yang masih rendah bisa ditanggulangi oleh pendidikan.

"Kami memberikan beasiswa Rp 300 ribu per bulan untuk sarjana. Tahun ini kami membiayai 54 orang mahasiswa," kata dia.

Selain itu, pemerintah desa juga memiliki program serupa Kartu Indonesia Sehat. Yakni, pemerintah menanggung biaya pengobatan warganya. "Klaim asuransi dibayar pemerintah desa walau kami baru mampu Kelas III," ujarnya.

Ada pula program Jamkesdes yang dibuat untuk membiayai kaum papa, seperti janda tua dan warga tak mampu. "Kami juga dirikan Badan Zakat, Amal dan Sedekah. Kalau perangkat desa mendapat penghasilan, langsung dipotong 2 persen untuk zakat desa," katanya.

Namun, program sosial pemerintah itu bukan tanpa tujuan. Menurut Junaedhi, fasilitas-fasilitas tersebut bisa mencegah warga kembali terjerat rentenir. Apalagi, para rentenir akan melakukan segala cara untuk menjerat mangsanya kembali karena hal itu adalah sumber pendapatan mereka.

"Jadi, kalau masih ada yang pakai jasa rentenir, fasilitas desa yang kita kasih, kita hilangkan. Alhamdulillah, dari 60 persen yang terjerat dulu, sekarang paling tinggal 0,7 persen," ujarnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.