Sukses

Adopsi Lampah Bisu, Mubeng Beteng di Yogyakarta Jadi Wisata Baru

Sejumlah ormas menginisiasi tradisi Mubeng Beteng setiap bulan bertepatan dengan hari lahir pasaran Sultan HB X.

Liputan6.com, Yogyakarta - Tradisi Mubeng Beteng di Yogyakarta, tidak hanya digelar pada malam 1 Sura. Sejumlah organisasi massa atau ormas di Yogyakarta, menggagas tradisi baru dengan menggelar Mubeng Beteng setiap satu bulan sekali, tepatnya pada Senin Pon Malam Selasa Wage. Hari itu dipilih karena bertepatan dengan hari pasaran kelahiran Sultan HB X.

"Ini sudah kedua kalinya, yang pertama bulan lalu," ucap Musthofa W Hasyim selaku Wakil Sekretaris Pejuang Mataram Islam, Senin, 4 Desember 2017.

Mubeng Beteng yang diadakan sebulan sekali ini diikuti oleh 500 orang dari berbagai organisasi, seperti Paksi Katon, Ijab Qobul, Palapa, Code X, jemaah Masjid Pathok Negoro, Pejuang Mataram Islam, dan sebagainya. Kegiatan ini diberi nama Zikir Akbar Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta.

Perhelatan yang rencananya digelar rutin ini untuk mendoakan Sultan HB X agar diberi kekuatan, kemauan, dan kemampuan yang utuh untuk menjalankan amanat Undang-Undang Keistimewaan dan Paugeran Adat Mataram Islam.

"Berdoa supaya diberi keselamatan dan bisa jadi tradisi baru juga, meningkatkan pariwisata di Yogyakarta, jadi siapa saja boleh ikut ritual ini, lintas agama," ujar Musthofa.

Secara teknis, Mubeng Beteng dimulai setelah pukul 21.00 WIB. Perjalanan berawal dari Masjid Gede Kauman menuju ke depan Gedung BNI 46, belok ke arah barat melewati Jalan KH Ahmad Dahlan, Ngabean, Pojok Beteng Kulon Lor, Pojok Beteng Kulon Kidul, Pojok Beteng Wetan Kidul, simpang empat Gondomanan, kantor pos, dan berakhir di depan Keraton Yogyakarta. Sepanjang perjalanan, mereka membawa obor dan mengumandangkan azan.

"Mirip seperti malam takbiran, tetapi suasana Mubeng Beteng lebih hening," tuturnya.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Mengadopsi Lampah Bisu

Zikir Akbar Damai Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta mengadopsi tradisi Lampah Bisu Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta. Belum banyak yang tahu, jika asal mula perilaku mengitari beteng atau benteng yang menjadi tradisi abdi dalem dan masyarakat Jogja ini justru berawal dari kegiatan ronda.

"Mubeng Beteng itu semacam ronda yang dilakukan abdi dalem pada zaman dahulu," ujar KRT Gondohadiningrat, Panitia Lampah Budaya Mubeng Beteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, beberapa waktu lalu.

Dahulu, Mubeng Beteng tidak dilakukan dalam hening atau membisu. Barulah pada masa pemerintahan Sultan HB II, Lampah Bisu Mubeng Beteng menjadi tradisi. Meskipun demikian, perhelatan ini bukan hajat raja, melainkan diinisiasi oleh para abdi dalem dan masyarakat.

Gondo menjelaskan, bisu itu berdoa di dalam hati alias tidak diucapkan. Tujuannya, untuk pengendalian diri supaya jangan sampai terpancing oleh hal-hal yang tidak diinginkan, sehingga dengan tapa bisu lebih fokus dan terkendali.

"Ini juga menjadi momentum untuk introspeksi diri, setahun lalu apa yang sudah dilaksanakan, kalau bagi abdi dalem apa yang sudah dilaksanakan untuk keraton, masyarakat apa yang sudah dilakukan untuk negara," kata Gondo.

Sebelum ritual Lampah Bisu dilakukan pada dini hari, abdi dalem dan masyarakat juga mengikuti rangkaian ritual, seperti makan nasi gurih dan menyelipkan bunga kantil di telinga.

Nasi gurih dalam tradisi Jawa sebagai simbol uba rampe. Nasi gurih yang dimasak dengan santan biasa disebut dengan nasi wudu. Sebagian masyarakat juga menamakan makanan ini nasi Rasul. Tujuannya, mengirimkan doa kepada Nabi Muhammad SAW karena dipercaya pada zaman dahulu, Nabi Muhammad SAW makan nasi suci atau nasi wudu.

Sementara, bunga kantil memiliki makna untuk meraih ilmu melakukan kanthi laku atau untuk meraih ilmu spiritual serta meraih kesuksesan lahir dan batin. Setiap orang tidak cukup hanya dengan memohon doa, melainkan juga perlu penghayatan terhadap nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari. Kantil juga bisa berarti tali rasa tansah kumanthil-kanthil atau kasih sayang mendalam tidak terputus.

Gondohadingrat menambahkan. selama melakukan ritual Lampah Bisu, peserta akan melewati jalan sejauh kurang lebih tiga kilometer hingga malam pergantian tahun atau memasuki 1 Sura.

Rute dimulai dari pelataran Keben menuju Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, Suryowijayan, Pojok Beteng Kulon, MT Haryono, lewat depan Plengkung Gading ke timur hingga Pojok Beteng Wetan. Selanjutnya, ke arah utara Jalan Brigjen Katamso, Ibu Ruswo, dan alun-alun utara.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.