Sukses

Sensasi Menikmati Kopi di Atas Rakit Wisata Bahowo Manado

Warga Bahowo berupaya mengembangkan sektor wisata dengan memanfaatkan keindahan hutan mangrove di Manado.

Liputan6.com, Manado - Tak hanya sebagai benteng terakhir hutan mangrove di Manado dari gempuran reklamasi pantai, kampung Bahowo kini mulai ditata sebagai salah satu destinasi andalan. Letaknya yang berhadapan langsung dengan Taman Nasional Bunaken menjadi salah satu daya pikat.

Tak mudah memadukan antara pelestarian lingkungan hidup dengan kawasan wisata yang berguna menopang taraf hidup masyarakat. Namun kenyataanya, hal itu bisa dilakukan warga Bahowo yang terletak di Kelurahan Tongkaina Lingkungan IV, Kecamatan Bunaken, Manado, Sulawesi Utara.

Setelah meluncurkan kawasan bakau satu-satunya di Manado, kini guna menunjang sektor pariwisata, warga Bahowo pun membuat rakit wisata. Rakit ini resmi diluncurkan, Selasa 31 Oktober 2017.

"Kami sudah uji coba dan sangat bagus," ujar Kepala Lingkungan IV Bahowo, Benyamin Loho.

Nikmati Kopi di Atas Rakit Wisata Bahowo. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Dia mengatakan rakit itu satu-satunya rakit wisata yang berada di Manado dan ada di kawasan bakau Bahowo.

"Rakit tersebut bisa digunakan untuk jarak yang lumayan jauh dari Bahowo. Dengan kapasistas 20 orang boleh untuk diving, snorkling atau pasiar saja sambil makan-makan atau ngopi. Tarifnya cukup murah, hanya Rp 30 ribu per orang," ujar dia.

Benyamin menyatakan apresiasi kepada LSM Manengkel Solidaritas Sulut dan PT Tirta Investama Aqua Airmadidi yang membantu hadirnya rakit wisata tersebut.

"Semoga melalui Kelompok Masyarakat Tunas Baru, rakit ini benar-benar dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendapatkan pemasukan bagi kesejahteraan masyarakat," ujar Benyamin.

Nikmati Kopi di Atas Rakit Wisata Bahowo. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Dia menambahkan, rakit wisata itu merupakan inovasi baru wisata di Manado karena baru pertama ada rakit seperti ini Manado.

"Ukurannya 3×7 meter, lumayan besar dan sangat bagus. Mau ingin rasakan sensasi ngopi di atas rakit, silakan ke lokasi bakau Bahowo,” terang dia.

Rakit ini dihiasi dengan berbagai bendera asing agar terlihat menarik dan enak dipandang. Mau coba merasakan sensasi di atas rakit wisata tersebut, silakan ke lokasi bakau Bahowo. Dari pusat kota Manado, menggunakan kendaraan sekitar setengah jam tiba di lokasi yang berada di kawasan Utara Kota Manado ini.

 

Simak video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pagi Lebih Nikmat dengan Kopi Kepahiang Tanpa Gula

Bagi penggila kopi, menyeruput secangkir kopi panas di pagi hari adalah keharusan. Biasanya seduhan kopi dicampur gula agar pudar rasa pahit kopinya. Bubuk kopi yang pahit ini karena prosesnya tak tepat, mulai dari pemilihan biji hingga pengolahannya. 

Alhasil kenikmatan minum kopi akan berkurang jika kopi yang kita reguk terasa pahit. Kopi pahit semacam ini kadang memunculkan seloroh populer usai menyeruputnya,"Ini kopi apa kehidupan?"

Guna mengatasi masalah pahit ini, para produsen kopi yang tergabung dalam Bengkulu Coffee Community (BCC) membuat suatu terobosan. Caranya dengan memelihara rasa manis alami dari buah kopi yang tetap terasa ketika diseduh dan diminum tanpa gula.

Khairil Amin, salah seorang peracik kopi atau barista yang bergabung dalam komunitas BCC mengatakan, kopi tanpa gula yang dihasilkan tentu saja dengan melakukan proses yang lebih rumit. Mulai dari pemilihan buah kopi yang seharusnya dipetik ketika sudah merah, penjemuran dalam suhu terukur, pembakaran atau roasting, penggilingan hingga penyajian yang sangat teliti.

"Pada dasarnya, kopi itu buah yang memiliki rasa manis alami, ini yang kita pelihara hingga teraduk dalam cangkir siap minum," ujar Khairil di Bengkulu, Senin 30 Oktober 2017.

Rasa manis paling menonjol terdapat pada kopi yang ditanam di Kabupaten Kepahiang. Sebab dengan ketinggian lahan antara 800 hingga 1.200 meter dari permukaan laut, memungkinkan buah kopi mendapat asupan nutrisi yang baik. Apalagi kondisi lahan di Kepahiang yang rata rata merupakan kawasan bekas lelehan lahar gunung berapi yang sangat subur.

Beberapa jenis kopi yang dihasilkan di wilayah ini adalah Robusta, Arabica, biji kopi luwak dan Semang atau biji kopi yang sudah dimakan hewan selain luwak seperti burung dan hewan lain. Berdasarkan ukuran ada dua jenis yaitu Sintaro yang memiliki biji lebih besar dibandingkan jenis Cikari. Khusus jenis buah Cikari terutama dari pohon kopi Arabica, memiliki kadar asam yang lebih tinggi.

"Yang terbaik dan masuk jenis Premium itu baik Robusta maupun Arabica untuk ukuran biji besar atau Sintaro," lanjut Khairil.

Fauzi Ladesang, salah seorang produsen kopi Kepahiang mengatakan, untuk memproduksi kopi premium yang bisa dinikmati tanpa gula tetapi tetap terasa manis, dia melakukan proses produksi dengan cara Honey Process. Dari pemilihan biji, pemetikan buah yang tidak asalan hingga penggilingan khusus yang menghasilkan bubuk jenis Fine Robusta.

"Meskipun digiling kasar atau jenis tubruk, penyajiannya harus tanpa ampas, sebab yang kita minum itu rasa kopi, bukan ampas kopi," kata Fauzi Ladesang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.