Sukses

Kebinekaan dalam Semangkuk Soto

Soto merekam gambaran kehidupan masyarakat kelas bawah pada masa penjajahan Belanda.

Liputan6.com, Yogyakarta - Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki menu soto yang diolah dengan kekhasannya masing-masing. Jawa Timur, misalnya, identik dengan soto yang diberi bubuk koya, sementara Betawi lekat dengan soto berkuah santan, atau Makassar yang cotonya sarat daging.

Tercatat ada lebih dari 70 jenis soto di Indonesia. Namun tidak banyak yang tahu, soto justru lahir dari kemiskinan dan ketertindasan. Masakan berkuah kaya bumbu rempah itu awalnya identik sebagai makanan rakyat, menu kelas bawah, dan pantang masuk ke dapur bangsawan semasa penjajahan Belanda.

"Soto identik dengan makanan rakyat karena selalu menggunakan jeroan sebagai isinya sewaktu masa penjajahan Belanda," ujar Fadly Rahman, sejarawan Universitas Padjadjaran Bandung, saat menjadi pembicara dalam seminar bertajuk "Soto Sebagai Representasi Cita Rasa" di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM, Yogyakarta, Rabu, 4 Oktober 2017.

Van Der Burg, seorang Belanda, pertama kali mendefinisikan sebuah masakan yang kemudian dipercaya sebagai soto. Dalam buku berjudul Voeding In Netherlandsch Indie pada 1904, Burg menulis orang pribumi terbiasa membuat kaldu dengan daging menyerupai gagak. Dia menyebut gagak karena tidak pernah melihat babat dan jeroan.

Fadly menuturkan berdasarkan berbagai sumber, soto pertama kali dikenal masyarakat pada abad ke-19. Masakan iitu dibawa oleh orang Kanton yang bermigrasi ke Indonesia kala itu sehingga soto menjadi populer di kawasan peranakan Tionghoa di Semarang.

Semula, soto juga dijual dengan cara dipikul. Kondisi itu meniru penjual di Tiongkok yang menyatakan dagangannya dengan cara dipikul.

Kaitan erat soto dengan Tionghoa juga terlihat dari kata soto. Ada sejumlah versi asal kata Soto, antara lain, chau tu dan cao du. Cao berarti rumput yang merujuk pada rempah-rempah hasil sumber daya Nusantara dan du berarti babat atau jeroan menyiratkan organ dalam tubuh hewan.

Lelucon yang menyindir kehidupan masyarakat peranakan Tionghoa saat itu adalah mereka memakan apa saja yang berkaki empat, kecuali meja. Soto yang diperkenalkan kepada masyarakat saat itu berisi babat dan jeroan sebagai bagian dari hewan berkaki empat.

"Bagi Belanda, babat dan jeroan tidak sehat dan higienis. Mereka mengganggap makanan itu jorok," ucap Fadly.

Hal ini juga berkaitan dengan konsumsi daging saat itu. Hanya para bangsawan dan penjajah Belanda yang bisa mengonsumsi daging karena harganya mahal. Sementara, masyarakat Tionghoa dan pribumi menganggap daging sebagai makanan mewah dan memilih untuk mengonsumsi jeroan.

Soto sebagai makanan rakyat juga terbukti dengan sebuah tulisan pada zaman yang sama. Ketika itu ada sebuah cerita tentang perkelahian di pasar dan penjual soto terkena imbasnya. Dagangannya berantakan.

"Itu menunjukkan soto dijual di tempat umum yang dekat dengan rakyat kecil," tuturnya.

Keberadaan soto diakui pertama kali pada 1930-an. Menu itu masuk dalam buku masak. Namun, bukan soto babat atau jeroan yang tercantum, melainkan soto ayam. Ternyata, itu berkaitan dengan populasi daging sapi yang menurun drastis di zamannya. Sebaliknya, populasi daging ayam stabil.

Pasca-kemerdekaan, kata Fadly, soto semakin bervariasi. Menu ini mengalami proses diaspora. Konsep perbedaan ini seragam dengan kebinekaan di Indonesia.

"Soto di Jawa Barat dagingnya sedikit, lagi-lagi ini berkaitan dengan minimnya populasi sapi di daerah itu, berbeda dengan soto di Makassar yang dagingnya banyak karena populasi sapi melimpah," ujar Fadly.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.