Sukses

Ponsel Jauhkan Gadis-Gadis Muda Dayak dari Budaya Menenun

Jumlah penenun kain Dayak tak sebanding dengan ramainya pesanan yang datang.

Liputan6.com, Pontianak - Menenun menjadi salah satu keahlian yang diwariskan secara turun-temurun oleh para orangtua kepada gadis-gadis Dayak penghuni rumah-rumah Betang di Kalimantan. Seiring waktu, banyak gadis-gadis muda makin enggan menenun.

Seperti yang dijumpai di Rumah Betang Ensaid Panjang, Kabupaten Sintang, Maria (40), mengaku belajar menenun dari ibunya, saat dia masih remaja. "Saya belajar dari mamak (ibu) saya," katanya saat ditemui di Rumah Betang Ensaid Panjang, pekan lalu, dilansir Antara.

Maria mengaku baru mulai menenun setelah berkeluarga dan punya anak satu. Sebelumnya, sama seperti remaja umumnya, dia bersekolah dan bermain-main.

"Saya baru menenun saat punya anak satu karena waktu muda dulu, sekolah di Sintang. Sekarang sudah punya anak empat," katanya.

Penenun lain, Elisabet (37) juga belajar dari ibunya. Dia mengatakan saat remaja selepas pulang sekolah, ia banyak jalan-jalan. Baru setelah punya anak satu, ia tekun duduk di depan "pemantang" atau alat tenun tradisional.

Kini, Maria mengaku banyak generasi muda di rumah betang yang berdiri pada 1986 tersebut enggan menenun sejak mengenal telepon selular. "Anak saya asyik main hp saja, tak mau belajar menenun," kata perempuan berkaca mata itu.

Belakangan, para gadis muda yang kecanduan ponsel mulai tergugah belajar menenun setelah Rumah Betang Ensaid Panjang tempat mereka tinggal semakin banyak dikunjungi turis. Tak hanya turis asing, turis lokal pun banyak yang datang.

Saat datang, mereka selalu mencari dan membeli kain hasil tenunan warga rumah betang tersebut. Akibatnya, para remaja mulai belajar menenun demi membantu orangtua mengerjakan pesanan kain.

"Dulu sedikit saja yang datang ke sini, tak banyak pesanan juga. Tapi sekarang ini sudah ramai," kata istri dari Stepanus itu.

Walau begitu, kekhawatiran menghilangnya budaya menenun di dalam masyarakat Dayak tetap ada. Ketua Dewan Kesenian Kalimantan Barat (Kalbar) Yohanes Palaunsoeka mengatakan masifnya informasi dari luar masuk ke rumah-rumah betang mampu menurunkan minat anak-anak untuk menenun, seperti yang terjadi di Sintang.

"Di Sintang itu bahkan drastis sekali. Tahun 90-an belum mengenal apa-apa, tahun 2000 mereka mulai mengenal dunia luar, sampai sekarang. Jadi memang ada kecenderungan minat anak-anak untuk menenun itu berkurang. Karena memang mereka sudah mulai berpikir praktis," kata budayawan itu.

Saksikan video menarik di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pantangan Penenun di Rumah Betang Dayak

Untuk mengantisipasinya, kata dia, anak-anak Dayak harus mulai diajarkan bagaimana menenun dengan pola pendidikan muatan lokal. Dengan begitu, mereka bisa tetap mencintai dan mewarisi budaya milik mereka sendiri.

Rumah Betang Ensaid Panjang sudah ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Rumah Betang itu dapat dijangkau menggunakan kendaraan bermotor roda dua dan empat dari Kota Sintang, sekitar 1 jam perjalanan atau 58 kilometer.

Para warga yang mendiami rumah betang tersebut dari Suku Dayak Desa. Mereka menenun secara turun temurun, mewarisi tradisi orangtua.

Maria yang memiliki anak empat, biasa menenun bermacam-macam motif untuk kain panjang, syal, taplak meja, bahkan sajadah untuk salat. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak kain tenun yang dia buat sejak masih berusia muda.

Saat ditemui di rumah betang dengan 28 bilik itu, Maria sedang menenun kain kebat (panjang) pesanan pelanggan dari Kabupaten Bengkayang. "Ini kain sudah dua bulan saya kerjakan, tapi baru sebagian jadi. Baru sekitar 50 persen," katanya, Sabtu, 22 Juli 2017.

Dia mengatakan, sehari-hari waktunya diisi dengan kesibukan menenun kain tersebut dan pengerjaannya sudah memasuki bulan ketiga.Untuk membuat satu kain kebat, Maria terlebih dahulu membuat gambar pada kertas. Gambarnya yang sederhana saja.

Sedangkan Elisabet, membuat pesanan syal dari bibinya yang bermukim di Sintang. Pesanan mencapai 60 helai, tetapi baru selesai 28 helai dan saat ini masih dikerjakan untuk 14 helai syal dengan motif rotan.

Kedua orang ini menenun sedari pagi pukul 07.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Di sela-sela waktu tersebut, para perempuan ini menyempatkan diri memasak untuk makan siang anak dan suami, istirahat melepas lelah, dan mandi. Kemudian melanjutkan menenun hingga sore hari.

"Tak boleh menenun saat matahari terbenam, pantang (dilarang) bagi warga rumah betang ini. Kalau melanggar, kena hukum adat," kata Elisabet.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.