Sukses

Kisah di Balik Perseteruan Panjang Keraton Solo

Konflik di Keraton Solo ini sejatinya sudah berlangsung sejak 14 tahun lalu.

Liputan6.com, Solo - Kisruh di Keraton Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo, Jawa Tengah, memasuki babak baru. Pada pekan lalu, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Timoer Rumbai Kusuma Dewayani menggugat ayahnya sendiri, penguasa Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi.

Gugatan yang dilayangkan GKR Timoer Rumbai bersama saudara sepupunya, Bendoro Raden Mas (BRM) Aditya Soerya Harbanu, berkaitan dengan pembentukan Tim Lima atau Satgas Panca Narendra oleh Raja Solo tersebut.

Konflik di tubuh keraton menambah kisah panjang yang ada dalam trah Kerajaan Mataram Islam (1588-1681 Masehi). Konflik di Keraton Solo ini sejatinya sudah berlangsung sejak 14 tahun lalu, tepatnya ada dualisme raja yang sama-sama mengklaim diri sebagai pemimpin keraton Solo yang syah.

Dua raja itu adalah PB XIII Hangabehi dan PB XIII Tedjowulan. Kala itu Hangabehi duduk di singgasana Keraton Solo, sedangkan Tedjowulan menempati Keraton Kilen.

Keduanya mengklaim sebagai raja, para sentana dan abdi dalem juga terbelah. Pun demikian dengan setiap ajang budaya, mereka melakoni sendiri. Bahkan, mereka juga masing-masing memberikan gelar kerajaan pada setiap orang yang dianggap layak.

Tak sedikit yang mengintervensi agar dualisme raja ini berakhir. Joko Widodo atau Jokowi yang kala itu menjabat sebagai Wali Kota Solo juga berupaya mendamaikan kedua kubu. Ada juga upaya dari Bendoro Raden Ajeng (BRA) Mooryati Soedibyo yang berupaya memediasi. Dan upaya perdamaian ini menuai hasil.

Pada awal Mei 2012, Tedjowulan melepaskan gelarnya. Dia menyatakan untuk mendukung kepemimpinan kakaknya alias Hangabehi. Ia pun didaulat menjadi Mahapatih Keraton Solo dengan gelar.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Awal Konflik Baru

Ternyata, konflik belum mau lepas dari keraton Solo. Justru sekarang yang berkonflik adalah kubu Hangabehi dan Tedjowulan dengan sentana dalem yang notabenenya dikomando oleh Koes Moertiyah dan Edi Wirabumi.

Puncaknya pada sehari menjelang Tingalan Jumenengan Dalem (ulang tahun penobatan raja) PB XIII Hangabehi, Koees Moertiyah atau Gusti Moeng bersama dengan Dewan Adat menolak ditahbiskannya Tedjowulan menjadi mahapatih. Dewan Adat membubarkan paksa acara pelantikan.

Pada malam harinya, tepatnya Senin 26 Agustus 2013, upaya saat itu sempat kaos atau kacau balau karena sejumlah warga mendobrak pintu keraton. Abdi dalem dan warga merasa keselamatan raja terancam. Polisi pun turun tangan dan menjamin keselamatan raja.

Kekacauan berlanjut pada keesokan harinya, saat prosesi Tingalan Jumenengan Dalem PB Hangabehi XIII. Tedjowulan tak juga diperbolehkan masuk. Dan polisi kembali turun tangan, Tedjowulan bisa menembus barikade Dewan Adat.

Walau sudah bisa masuk, suasana panas masih terasa di balik tembok keraton ini. Berbagai usaha dilakukan oleh banyak pihak untuk mendamaikan kedua belah pihak, namun juga berhasil.

Termasuk upaya dari Kanjeng Radèn Mas Tumenggung (KRMT) Roy Suryo selaku Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) yang mengaku mendapat mandat dari presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, untuk menjadi mediator konflik Keraton Solo.

Pada 2014, muncul kabar yang tidak mengenakkan dari Keraton Solo. PB XIII Hangabehi dilaporkan oleh seorang anak baru gede (ABG). Hangabehi diduga menghamili gadis berinisial AT yang masih di bawah umur sekaligus dugaan human trafficking atau perdagangan orang.

Tapi kasus ini menguap begitu saja. Lantaran raja dianggap cacat permanen. Selain itu juga Raja Solo dikatakan daya ingatnya lemah. Oleh kuasa hukumnya, raja dikatakan kesulitan untuk bicara.

Lantaran dianggap cacat ini, Dewan Adat secara sepihak mengangkat Pelaksana tugas (Plt) Raja Solo yang dalam hal ini diserahkan pada Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Puger pada April 2015. Para sentana dalem termasuk Dewan Adat memaklumatkan bahwa KGPH Puger menjalankan semua tugas PB XIII sebagai raja.

Hanya saja dari pihak Hangabehi tetap tidak mengakui adanya Plt Raja Solo. Walhasil ketika ada Tingalan Jumenengan Dalem (ulang tahun penobatan raja), kedua pihak masing-masing menggelar acara yang sama. Hal itu dilakukan pada upacara Tingalan Jumenengan Dalem tahun 2015 dan 2016.

3 dari 3 halaman

Tim Lima Digugat

Panas di tubuh trah Mataram kembali menemukan sumbunya. Saat Hangabehi membentuk Tim Lima atau Satgas Panca Narendra. Tim ini terdiri dari KGPH PA Tedjowulan, GPB Benowo, KPAA Condrokusumo Suro Agul Agul alias Begud Purnomosidi, KP Hari Sulistyo dan Sugeng Nugroho.

Tim Lima dikukuhkan PB XIII pada 26 Februari 2017. Pengukuhan disaksikan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Subagyo HS, Wali Kota Solo FX Hady Rudyatmo, Kapolda Jawa Tengah, Pangdam IV Diponegoro, dan Kapolresta Solo. Tim ini tugasnya membantu keberlangsungan Keraton Solo.

Kubu Dewan Adat panas dengan keberadaan dari Tim Lima. Mereka lalu menggugat PB XIII senilai Rp 2,1 miliar ke Pengadilan Negeri Solo lantaran membentuk Tim Lima yang menyebabkan sengketa internal keraton kembali muncul.

Gugatan dilayangkan oleh putri PB XIII Hangabehi, GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani dan keponakannya BRM Aditya Soerya Herbanu. Gugatan dilayangkan pada 15 Maret lalu.

Kuasa hukum penggugat, Arif Sahudi menjelaskan gugatan dilakukan oleh sendata dalem Keraton Solo yang merupakan cucu dari PB XII. Gugatan yang dilakukan penggugat berkaitan dengan dibentuknya Tim Lima yang dianggap sebagai tindakan melawan hukum. Pasalnya pada kasus dugaan trafficking, PB XIII dinyatakan cacat.

"Artinya itu kan tidak bisa melakukan tindakan hukum. Tindakannya itu tidak berdasar hukum," Arif menjelaskan.

Arif menambahkan, jika posisi raja sudah ada Plt, tapi ternyata raja malah membentuk Tim Lima. Akibatnya konflik internal kembali mencuat. Karena konflik yang tak kunjung reda ini Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tidak mengucurkan dana upacara adat Rp 200 juta dan untuk gaji abdi dalem Keraton Solo senilai Rp 900 juta.

"Perbuatan itu membuat keraton tidak menerima anggaran dari pemerintah. Hal ini menyebabkan kerugian immateriil senilai Rp 1 miliar. Secara keseluruhan kerugian yang ditanggung keraton Rp 2,1 miliar," Arif Sahudi memungkasi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.