Sukses

Korban Banjir Bima, Dirundung Gelap hingga Minim Pakaian Dalam

Hingga kini, Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I mengerahkan eskavator amfibi untuk menormalisasi sungai usai banjir bandang di Bima.

Liputan6.com, Bima - Kota Bima dan Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima di Pulau Sumbawa diterjang banjir bandang pada Rabu, 21 Desember 2016, yang kemudian disusul banjir bandang serupa Jumat, 23 Desember 2016, sekitar pukul 12.30 Wita.

Ribuan rumah terendam dan 105.758 jiwa penduduk  kota itu terkena dampak banjir bandang.

Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Nusa Tenggara Barat Joko Jumadi mengatakan anak-anak yang menjadi korban banjir di Bima tidak hanya butuh makanan, tapi juga seragam dan peralatan sekolah.

"Bantuan yang masuk jenisnya banyak bahan makanan. Seragam dan peralatan sekolah boleh dibilang belum ada," kata Joko ketika dihubungi di Kota Bima, dilansir Antara, Minggu, 25 Desember 2016.

Menurut dia, banjir bandang yang terjadi di Kota Bima dan Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima, tidak hanya merusak bangunan rumah warga tapi juga baju seragam dan peralatan sekolah anak-anak rusak dan hanyut terbawa banjir.

Bantuan yang juga masih minim, menurut Joko, adalah kebutuhan untuk wanita. Misalnya, pakaian dalam dan pembalut.

"Ini harus menjadi perhatian kita semua, baik para donatur maupun pemerintah," ujar dia.

LPA Kota Mataram, kata dia, sudah menyalurkan bantuan logistik ke lokasi bencana. Sebagian besar bantuan tersebut jenisnya adalah kebutuhan untuk anak-anak, seperti susu, pampers dan bubur.

Ada juga kebutuhan untuk perempuan, seperti pakaian dalam dan pembalut. "Bantuan tersebut dibeli menggunakan dana yang terkumpul dari masyarakat melalui LPA," kata dia.

Selain menyalurkan bantuan, LPA NTB juga akan mengirimkan sebanyak 15 tenaga psikologi dan terapi ke Kota Bima. Mereka akan bergabung di Posko Bencana Kota Bima bersama pihak terkait dalam rangka pemulihan psikologis anak-anak terdampak banjir.

Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram ini, banjir bandang yang mencapai 2 meter tentu sangat berpengaruh terhadap psikologis anak-anak.

"Untuk itu, sebanyak 15 relawan LPA yang terdiri dari pakar psikologi dan terapi akan berangkat ke Kota Bima pada 28 Desember 2016," kata Joko.

General Manager PT Perusahaan Listrik Negara Wilayah Nusa Tenggara Barat Karyawan Aji mengatakan kondisi kelistrikan usai banjir bandang di Kota Bima masih belum pulih 100 persen.

"Hingga pukul 19.00 WITA, pemulihan daya sistem Bima baru mencapai 86,44 persen," kata Karyawan Aji di Kota Bima.

Ia menyebutkan, total daya listrik yang harus dipasok ke pelanggan melalui sistem Bima mencapai 42 megawatt (MW), sedangkan total daya yang sudah bisa dipulihkan setelah banjir hanya 36,3 MW.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kerahkan Eskavator Amfibi

Pasokan daya listrik sebesar 36,3 MW bersumber dari pusat listrik Niu sebesar 18,4 MW, pusat listrik Bima 3,05 MW, pusat listrik Dompu 7,6 MW, pusat listrik Sape 3,6 MW, dan pusat listrik Bonto 3,7 MW.

"Total nyala sistem Bima sampai dengan pukul 18.00 sebesar 80 persen," ujar dia pula.

Perbaikan yang masih harus dilakukan, kata dia, fokus pada tiang yang roboh akibat banjir bandang. Salah satunya di Kelurahan Lampe, Kota Bima.

Derasnya banjir yang berasal dari sungai Lampe menghanyutkan tiang jaringan tegangan menengah (JTM) yang berada di sisi sungai dan jembatan yang menghubungkan Kota Bima dengan Kecamatan Sape, Kabupaten Bima.

Sementara itu, Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I mengerahkan eskavator amfibi atau alat berat terapung untuk menormalisasi sungai usai banjir bandang yang melanda Kota Bima.

"Karena kondisi air sungai masih besar, kami datangkan alat berat yang bisa mengapung di air dari Mataram," kata Kepala Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I Asdin Julaidy di Kota Bima.

Menurut dia, normalisasi sungai-sungai di Kota Bima perlu dilakukan karena terjadi penyempitan yang diperparah oleh sampah yang menghambat aliran air sungai.

Namun, upaya normalisasi ditentang sebagian warga karena khawatir bangunan yang berdiri di pinggir sungai roboh.

"Tapi kami tetap harus melakukan upaya normalisasi sampai batas waktu yang belum ditentukan," ujar Asdin.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.