Sukses

Liukan Barongsai Runtuhkan Tembok Pembeda

Perbedaan etnis dan agama bukan masalah dalam perkumpulan barongsai itu meski rajin menerima order menghadiri ritual keagamaan.

Liputan6.com, Solo - Dua anak muda asyik berlatih memainkan barongsai di bangku yang disusun tiga tingkat. Di dekat mereka, ada rekan lainnya mengamati latihan keduanya.

"Astaghfirullah," ucap remaja tersebut saat keduanya hendak jatuh dari tumpukan bangku setinggi kira-kira 3 meter itu, beberapa waktu lalu.

Berpindah ke bagian lain, dua anak beretnis Jawa berusia 11 tahun dan 18 tahun juga mengasah gerakan dalam memainkan barongsai. Mereka berlatih diiringi suara tambur, simbal dan kenong yang ditabuh secara ritmis.

Dengan lincah, mereka berlatih menyamakan gerak sambil melompat-lompat di atas tiang setinggi 1,3 meter hingga 3 meter. Tubuh mereka meliuk gagah agar barongsai terlihat menari indah.

Begitulah gambaran singkat dari anggota komunitas Liong Barongsai Tripusaka Solo. Saban Rabu, Jumat dan Minggu, puluhan anak dan remaja ini berlatih di halaman SMP Tripusaka yang beralamat di Jalan Kol Sutarto Jebres, Solo, mulai pukul 16.30 WIB.

Peluh yang menetes tak menghilangkan suasana kekeluargaan dalam perkumpulan itu. Suasana makin hangat saat antarmereka yang berbeda etnis dan agama saling berceloteh dan sesekali melontarkan candaan.

Liong Barongsai Tripusaka memang beda. Satu hal yang mencolok dari komunitas pelestari tradisi kesenian asal Tiongkok itu adalah mayoritas pemainnya bukan dari kalangan etnis Tionghoa dan beragama Kong hu cu, melainkan kalangan etnis Jawa serta berbagai agama.

"Para pemain Liong dan Barongsai Tripusaka sekitar 90 persen berasal dari etnis Jawa. Mereka itu agamanya juga beragam, ada yang Islam, Kristen, Katolik dan Kong hu cu," kata pendiri komunitas Liong Tripusaka WS Adjie Tjandra kepada Liputan6.com, Selasa, 13 Desember 2016.

Kelahiran Liong Barongsai Tripusaka tak lepas dari sejarah Presiden KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur membolehkan kesenian tradisi Tionghoa kembali dipentaskan secara bebas. Kebebasan berekspresi itu disambut gembira masyarakat Tionghoa yang berada di Solo.

"Kami berdiri sejak tahun 1999, tapi kami memulai pentas itu sejak Februari 2001. Saat digelar perayaan Imlek Bersama di Stadion Sriwedari, Solo," kata Adjia Tjandra.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Filosofi Liong dan Barongsai

Sekumpulan orang-orang Jawa yang bertekad melestarikan tradisi Tionghoa, begitu lah ia menggambarkan komunitas itu. Bagi Adjie Tjandra, ini menjadikan komunitasnya unik sekaligus modal positif.

Bagi dia, siapapun yang ingin melestarikan sebuah seni dan tradisi dengan rasa ikhlas pasti akan menghasilkan sebuah keindahan. Seperti yang dilakoni komunitas bentukannya.
 
"Budaya itu sesuatu yang indah. Siapa pun yang memainkan sebuah seni tradisi itu dengan tulus pasti akan melahirkan sebuah keindahan. Mereka ini bermain tanpa kepentingan, tak beda-bedakan tanpa ada rasa prasangka satu sama lain," kata dia.

Menurut Adjie yang juga rohaniwan Kong Hu Cu,  bermain liong barongsai bukan sekadar olah gerak tubuh meliuk-liuk.  Di dalam seni ini terkandung banyak nilai-nilai kehidupan yang diaplikasikan dalam komunitas.

Barongsai, kata Adjie, sebagai simbol yin dalam falsafah Tiongkok. Sementara, liong adalah yang. Jika digabungkan, hal itu menjadi simbol keseimbangan dalam elemen-elemennya. Baginya, simbol ini sudah menunjukkan adanya keseimbangan dalam perbedaan.

"Liong itu sudah mencerminkan nilai-nilai pluralisme. Itu di bagian depan moncongnya seperti mulut buaya, kemudian di kepala ada tanduk kijang, terus ada jenggot kambing, ada juga cakarnya kayak burung garuda. Nah, itu kalau disatukan kemudian dimainkan kan menjadi sesuatu yang indah," kata dia.

"Makanya, tidak penting kita memperdebatkan agama atau etnis apa ketika bermain liong barongsai. Adanya itu kebersamaan dalam perbedaan untuk memberikan sebuah sajian seni yang indah. Agama, tradisi, budaya itu jika disatukan akan menjadi sebuah keindahan," dia menambahkan.

3 dari 3 halaman

Berdoa Sendiri-Sendiri

Filosofi itu dipraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya saat berlatih, sikap toleransi dan saling menghormati juga ditunjukkan saat kelompok asuhannya menerima order untuk kegiatan berbau ritual keagamaan.

Ia menegaskan tak ada kewajiban bagi tiap-tiap anggota mengikuti ritual agama Kong hu cu. Ia menghormati setiap anggotanya untuk berdoa sesuai agama dan keyakinan masing-masing.

"Saya sendiri sebagai rohaniwan menghindari untuk berbicara agama kepada anak-anak. Untuk ritual doa biar saya saja yang menggunakan Kong hu cu, para pemain silahkan berdoa dengan agamanya masing-masing," tutur Adjie.

Hal itu diamini oleh salah seorang pelatih Barongsai, Agus Yunianto. Lelaki Jawa itu merupakan anggota tertua yang menjadi kepercayaan Adjie Tjandra melatih anak-anak.

Agus yang kerap meraih juara perlombaan Barongsai tingkat nasional ini mengakui tidak ada perbedaan saat ada di komunitas ini. Ia bahkan belajar tentang arti kebersamaan tanpa memandang agama dan etnis.

"Bermain liong barongsai itu membutuhkan kebersamaan. Kita nggak melihat itu suku agama itu. Yang penting kita bermain dengan indah. Bahkan saat bermain itu kita benar-benar dituntut untuk tidak emosional, tanpa rasa iri dengki. Kalau ada rasa negatif itu, pasti gerakan kita nggak akan padu," kata Agus.

Kebersamaan itu lah yang kemudian menjadi modal prestasi untuk Liong Barongsai Tripusaka. Bukan hanya banyak orderan yang menjadi keuntungannya tetapi raihan piala. Berulangkali komunitas ini menjuarai Kejurnas Liong Barongsai.

"Kita juga berkesempatan untuk main di depan Presiden Gus Dur. Ini kebanggaan bagi kita. Waktu itu ada acara Sedekah Bumi di Solo. Nah, kepala barongsai kita ini juga ditandatangani oleh Presiden Gus Dur," kata Agus bangga.

Baru-baru ini, liong barongsai kelompok itu terpilih menjadi wakil dari Jawa Tengah untuk mewakili dalam PON di Jawa Barat. Tak mendapat medali bukan menjadi masalah besar. Mereka menganggap bermain liong barongsai itu sendiri yang menjadi intinya sekaligus sebuah pengalaman.

"Kita dari awal sudah menanamkan bahwa bermain liong atau barongsai itu tidak usah memikirkan angpao. Yang penting kita ini bermain dan menyajikan sebuah aksi yang menghibur," kata Agus.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.