Sukses

Diberi Dispensasi, Jumlah Pengantin Bocah Cirebon Melonjak

Dari sekian pengantin bocah yang memaksakan diri menikah, ada yang bercerai hanya kurun waktu seminggu.

Liputan6.com, Cirebon - Angka dispensasi pernikahan pada usia di bawah umur meningkat. Data Pengadilan Negeri Agama Cirebon 2016 menyebutkan sebanyak 157 anak yang mendapatkan dispensasi menikah pada usia di bawah umur.
 
Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 72 kasus. Koordinator WCC Mawar Balqis Sa’adah mengungkapkan, dari data yang dihimpun, yang mendapatkan dispensasi menikah pada usia di bawah umur itu rata-rata memiliki usia 12 hingga 16 tahun.

Meningkatnya angka dispensasi menikah pada anak usia di bawah umur tersebut, lanjut dia, dikarenakan sudah terjadi hubungan badan di luar nikah. Orangtua yang mengetahui hal itu kemudian memaksa anak-anak mereka menikah.

"Dari data yang ada, ada juga yang meminta dispensasi menikah karena sudah hamil duluan. Mereka itu belum berusia 18 tahun," ujar Sa'adah, Senin (14/11/2016).

Sa’adah menjelaskan, pernikahan dini yang dipaksakan melalui dispensasi nikah itu dinilai rentan terjadinya perceraian. Bahkan, Sa’adah menilai hal tersebut merupakan gerbang daripada terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

"Mereka nikah kan bukan karena niatan, tapi karena ingin lepas dari jeratan hukum. Sehingga, dipaksakanlah untuk menikah," kata dia.
 

Minimnya infromasi akan kesehatan reproduksi serta pergaulan bebas merupakan faktor utama terjadinya hubungan di luar nikah. Mawar Balqis pun mengajak masyarakat agar lebih memandang ke kehidupan mendatang dibandingkan dengan solusi instan yang hanya akan mencederai pernikahan.

"Terakhir, kita mendapatkan informasi ada yang cerai. Dan, usia pernikahannya itu baru satu minggu. Kita ingin membuat sesuatu yang memberikan efek jera kepada pelaku agar tidak menjadi pelaku kekerasan seksual," kata Sa'adah.

Pihaknya kini bersama Forum Pengadaan Layanan (FPL) dan lembaga lainnya sedang mempercepat penyusunan draf Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Hal tersebut dilakukannya guna mendorong DPR RI membuat panitia khusus (pansus) untuk membahas dan mengesahkan undang-undang PKS.

Berbeda dengan UU yang ada, lanjut dia, RUU PKS tersebut akan fokus juga kepada masalah yang diderita korban kekerasan seksual.

"UU yang ada saat ini, seperti UU Perlindungan Anak, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) itu belum cukup memenuhi hak-hak para korban. Karena, saya anggap UU tersebut hanya fokus pada pelakunya, bukan korbannya," kata Sa'adah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.