Sukses

Nasib Garam Amed Bali di Ujung Tanduk

Garam Amed bukan hanya bernilai ekonomi, tetapi juga merupakan warisan sejarah dari Raja Karangasem I yang hidup sejak 1.500 tahun lalu.

Liputan6.com, Denpasar - Garam Amed pernah menjadi sumber penghidupan utama warga di wilayah Kabupaten Karangasem, Bali, selama ribuan tahun silam. Nasibnya kini di ujung tanduk setelah lokasi tambang garam itu banyak beralih fungsi menjadi sarana akomodasi wisata Pulau Dewata.

Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Garam Amed Bali, I Nengah Suanda menuturkan, Garam Amed sudah ada sejak ‎1.500 tahun silam, kala Raja Karangasem I masih menjabat.

"Menurut lontar kuno Desa Pakraman Culik, Raja Karangasem pertama mewajibkan masyarakat menyerahkan upeti berupa garam. Garam Amed memang berkulitas. Dari sana terus berlanjut memproduksi sampai kini. Tapi sekarang kondisinya hampir punah," ucap Suanda saat berbincang dengan Liputan6.com ‎di Desa Budaya Kertalangu, Sabtu, 22 Oktober 2016.

Saat ini, kata dia, kondisi produksi Garam Amed sungguh memprihatinkan. Dulu, ia menjelaskan, dari timur hingga ke barat warga sekitar berprofesi sebagai petani garam.‎

"Sekarang tinggal 20 petani saja. Warisan budaya leluhur kami bisa hilang. Garam ini kan bagian hidup kita sehari-hari, maka kami membentuk kelompok. Ada perlindungan geografis, kami bisa memasarkan garam dengan lebih baik," ujar dia.

Peredaran Garam Amed cukup lumayan, meski tak banyak dan tak begitu populer. Di Jakarta, kata dia, ada empat supplier yang memasarkan Garam Amed.

Kendati begitu, di Ibu Kota Provinsi Bali, Denpasar, hanya satu supplier yang mau memasarkan Garam Amed. Itu pun baru sejak tiga bulan lalu.

"Sebetulnya ada permintaan ekspor. Tapi, kita tidak bisa memenuhi karena tidak sewaktu-waktu bisa produksi," kata Suanda.

Dalam satu musim, petani garam di Amed hanya bisa memproduksi satu ton garam saja. "Total hanya 20 ton garam saja yang bisa kami produksi dalam satu musim," ucap dia.

Apalagi, alat produksi Garam Amed berupa palungan kelapa saat ini bersaing dengan bahan bangunan sehingga harganya cenderung mahal. Padahal, modal produksi yang dimiliki menjadi kendala utama.

"Lahan juga. Sekarang (lahan) telah berkembang lahan pariwisata. Warga diiming-imingi harga tinggi akhirnya menjual lahan mereka. Lahan produksi Garam Amed berubah menjadi bangunan pariwisata. Itu juga kendala produksi dan keberadaan Garam Amed semakin tergerus," ‎tutur dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Produksi Unik Garam Amed

Ia menilai perlunya dukungan dari pemerintah untuk mempertahankan keberadaan Garam Amed. Utamanya agar Garam Amed dapat menjadi bahan baku bagi hotel-hotel sehari-hari, minimal di sekitar Karangasem.‎

"Di Karangasem sudah ada hotel yang menggunakan Garam Amed. Jumlahnya sekitar 30 persen saja. Di Seminyak, Kuta juga ada hotel yang meminta garam kami. Tiap minggu mereka minta 10 kilogram," kata Suanda.

‎Kelebihan Garam Amed, Suanda mengimbuhkan, yakni dari segi rasa cenderung asin gurih.‎ "Kelebihannya dari segi rasa. Kalau garam lain ada rasa cenderung pahit menyengat, kalau ini tidak. Pecah di lidah, rasa asin gurih. Kami produksi menggunakan tanah, air laut yang telah dinetralisir," tutur Suanda.

Ia menceritakan, proses produksinya setelah musim hujan usai, petani akan membersihkan rumput menjadi empat petak. Di tengah ada tunjung, lalu tanah di bawahnya disiram air laut secukupnya. Setelah kering di tunjung, akan dipadatkan sedikit.

"Kasih lagi air laut menetes airnya. Pagi sekali dibawa ke palungan kelapa. Di sana jadi garam. Selama empat hari, kita panen," ucap dia.

Ke depan, ia berharap seluruh hasil produksi petani dapat terserap di pasaran. "Satu musim kami memproduksi 20 ton. Kami berharap semua bisa terserap di pasaran," tutur Suanda.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.