Sukses

6 Makam Para Wali Penuh Karomah di Garut

Ramadan usai, ingat untuk tetap kunjungi 6 makam wali penuh karomah yang ada di Garut ini.

Liputan6.com, Jakarta Ritual ziarah kubur yang selalu dilakukan kaum muslimin saat Lebaran atau Idul Fitri telah usai. Namun, kebiasaan itu alangkah baiknya tetap terjaga. Liputan6.com merangkum enam makam tua waliyulloh di Garut, Jawa Barat, yang selalu ramai diziarahi pengunjung sepanjang tahunnya.

Berikut daftarnya:

Makam Syeh Rohmat Suci Godog

Siapa yang tak kenal makam tua yang satu ini. Peziarah yang selalu mendatangi makam tua di Pulau Jawa, bakal selalu menyematkan makam Godog atau Syeh Rohmat Suci, untuk disambangi.

Sejatinya Syah Rohmat adalah Prabu Kiang Santang, salah satu putra Prabu Siliwangi yang telah memeluk Islam. Lokasi pemakamannya berada di Kampung Godog, Desa Lebak Agung, Kecamatan Karangpwitan, Garut, Jawa Barat.

Berbicara Garut, Jawa Barat, memang tidak bisa lepas dari pengaruh kerajaan tua Hindu-Buddha Padjadjaran yang berpusat di Kota Bogor. Konon, kerajaan yang diperkirakan hidup 923 hingga 1579 Masehi tersebut, menguasai hampir seluruh wilayah Jawa Barat dan Banten saat ini.

"Ini makamnya Prabu Kiansantang atau Syeh Rohmat Suci, putra Prabu Siliwangi (Raja Padjadjaran) yang sudah masuk Islam," ujar Yaya Mansyur (62), juru kunci makam Godog.

Berada di atas ketinggian 700 meter dari permukaan laut (mdpl), makam keramat Godog sangat cocok untuk bersemedi memanjatkan doa. Udara sejuk makam semakin sejuk dipayungi puluhan pohon besar nan rindang yang berusia ratusan tahun.

Selain makam keramat utama sang wali, di sana ada pula puluhan perkakas yang konon milik sang prabu saat menyebarkan agama Islam di Garut dan sekitarnya. Sebut saja, pedang, keris, tumbak dan puluhan benda sejarah lainnya, yang ditempatkan persis samping makam.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Situs Ciburuy Bayongyong

Situs Ciburuy Bayongbong

Keberadaan situs Kabuyutan Ciburuy yang berada di kampung Ciburuy, Bayongbong, Garut, Jawa Barat, yang satu ini erat hubungannya dengan sejarah Kerajaan Padjajaran, yang berpusat di kabupaten Bogor.

Konon, komplek seluas satu hektare ini merupakan arena pertarungan para jawara (jagoan) di Pulau Jawa, sekaligus satu petilasan Prabu Siliwangi dan Prabu Kian Santang Raja Padjajaran, menyimpan puluhan naskah kuno berusia ratusan tahun silam.

Ujang, salah satu juru kunci situs Ciburuy mengatakan, pada bulan tertentu masyarakat sekitar kerap menggelar acara ritual Seba Muharam. Acara itu untuk memandikan benda pusaka, termasuk "membersihkan" naskah kuno yang berisi ajaran hidup serta budi pekerti adat Sunda.

Naskah kuno itu bahkan sudah mendapatkan penghargaan dari Perpustakaan Nasional RI, yakni Penghargaan Nugraha Jasadharma Pustaloka dengan kategori pelestari naskah kuno terbaik.

Jumlah naskah yang tersimpan di Kabuyutan Ciburuy saat ini sebanyak 27 keropak yang tersimpan dalam tiga peti. Setiap keropak jumlahnya bervariasi, antara 15 sampai dengan 30 lempir (lembar).

Selain itu, terdapat pula beberapa benda pusaka, yakni keris, bende (lonceng yang terbuat dari perunggu), kujang (senjata khas Prabu Siliwangi), trisula, tombak. Ada pula seperangkat gamelan yang disebut goong renteng yang merupakan cikal bakal dari kesenian degung yang ada saat ini.

Ada lima rumah adat semipermanen di area situs Ciburuy, yakni:

Pertama, Bumi Padaleman, untuk menyimpan benda-benda pusaka yang berupa naskah kuno daun lontar dan nipah, juga terdapat kujang, untuk menyimpan benda yang berupa senjata tajam seperti keris, kujang, trisula, dan alat-alat kesenian, yaitu Goong Renteng.

Kedua, Bumi Patamon adalah sebuah tempat yang digunakan untuk menerima tamu dari luar juga untuk tinggal juru kunci, jadi bisa disebut juga rumah dinas juru kunci.

Ketiga, Leuit atau Lumbung Padi, yang berfungsi untuk menyimpan padi dan hasil bumi dari sumbangan penduduk sekitar sertelah mereka panen.

Keempat, Tempat Pangsujudan, yaitu berupa batu besar menyerupai persegi empat tempat bertapa dan bermunajat K.H Mustofa yang disebut sebagai nama lain dari Prabu Kian Santang.

Kelima, Saung Lisung yang sering digunakan sebagai tempat untuk menumbuk padi oleh penduduk sekitar.

"Kelima bangunan itu simbol kerukunan antar umat beragama, berbangsa dan bernegara," ujar dia.

Selain lima bangunan tadi, ada pula Pangalihan, tempat untuk menyimpan pagar. Maksudnya, pada bulan muharam, pagar yang mengelilingi bumi padaleman harus diganti sebelum diganti pagar itu terlebih dahulu harus disimpan di bumi pangalihan terlebih dahulu.

3 dari 6 halaman

Makam Senopati Arif Muhammad, Leles

Makam Senopati Arif Muhammad, Leles

Salah satu makam tua yang selalu diziarahi warga adalah makam Panembahan Senopati Arief Muhammad, di komplek Candi Cangkuang, Leles, Garut. Jawa Barat. Sang wali merupakan panglima perang Kerajaan Mataram, yang diutus kerajaan menyebarkan agama islam di sana.

Selain ketokohannya, makam yang satu ini terbilang unik karena berdampingan dengan Candi Cangkuang, salah satu candi Hindu tertua di pulau Jawa, yang diperkirakan dibangun abad VIII dan baru ditemukan tim cagar Budaya Jawa Barat tahun 1966 di Garut.

Umar, salah satu penjaga pintu situs Candi Cangkuang mengatakan, ajaran Arief Muhammad selaku muslim yang taat memberi banyak pelajaran yang mendasar untuk mewujudkan hidup rukun terhadap semua perbedaan.

"Beliau mengajarkan Islam, tapi tidak menyinggung kebiasaan masyarakat Cangkuang yang masih Hindu saat itu," kata dia.

Salah satu wujud toleransi, Arief hanya menyebarkan agama Islam pada hari-hari tertentu, ketika warga sekitar tidak sedang menyembah Dewa Siwa yang berada di dalam Candi Cangkuang.

"Di sini ada pantangan tidak boleh beraktivitas (menyebarkan agama) pada Selasa malam hingga Rabu malam. Sebab dahulu, masyarakat sekitar pada saat itu hari terbaik untuk menyembah Dewa Siwa adalah hari Selasa atau malam Rabu," tutur dia.

Makam Arief Muhammad kini masih sering diziarahi ribuan umat Muslim dan Hindu setiap tahun di kawasan Candi Cangkuang.

Di dalam kawasan cagar budaya seluas tiga hektare itu, para pengunjung juga bisa menemukan banyak naskah kuno ajaran Islam, seperti Alquran dan kitab kuning yang tertulis rapi di atas kertas berbahan kayu tertata rapi. Ada pula satu lukisan besar yang menggambarkan sosok Panembahan Arief Muhammad hingga serpihan batu purbakala bekas galian pertama Candi Cangkuang.

4 dari 6 halaman

Pangeran Papak Cinunuk, Wanaraja

Pengeran Papak Cinunuk, Wanaraja

Nama makam waliyulloh ini sejatinya adalah Raden Wangsa Muhammad. Namun, masyarakat sekitar lebih populer menyebutnya Pangeran Papak. Sebutan Papak merujuk pada jari tengah dan telunjuknya yang konon sejajar atau papak dalam bahasa Sunda.

Ada juga cerita penyebutan papak buat Raden Wangsa Muhammad karena sikap dan prinsip Beliau yang tanpa pandang bulu atau sama, dalam memperlakukan orang tanpa membeda-bedakan status sosialnya.

Sosok yang satu ini adalah penyebar ajaran Islam di tanah Garut dan dimakamkan di dekat sumur tujuh Cinunuk. Konon mata air yang cukup bening dan segar ini dipercaya memiliki khasiat tertentu.

Salah satu ajaran Pangeran Papak yang selalu diingat masyarakat sekitar adalah agar hati selalu tenteram, ‘ulah ngingu kabingung, miara kasusah, sangkan aya dina kagumbiraan manah’ (Jangan memelihara keresahan hati, sehingga selalu ada dalam keceriaan hati selalu).

5 dari 6 halaman

Sunan Cipancar, Limbangan

Sunan Cipancar, Limbangan

Berada di kompleks makam Sunan Cipancar di Kampung Pasir Astana, Desa Pasirwaru, Kecamatan Balubur Limbangan, Garut, Jawa Barat. Tokoh yang satu ini merupakan cucu dari Prabu Siliwangi, Raja Padjajaran, sekaligus ulama penyebar agama Islam yang kelak kerap melahirkan keturunan bupati di Kabupaten Garut.

Awalnya, cikal bakal Kabupaten Garut saat ini, berasal dari kerajaan kecil Kertarahayu yang berdiri sekitar tahun 1415 Masehi. Kerajaan ini berada di bawah kekuasaan kerajaan besar Pakuan Padjajaran yang saat itu menguasai hampir seluruh kerajaan di Jawa Barat dan Banten.

Namun, sejak tanam paksa (cultuurstelsel) yang digulirkan Belanda gagal, hingga akhirnya administrasi kerajaan yang berada di daerah Limbangan ini, dipindah ke Garut Kota saat ini. Sunan Cipancar terkenal akan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kewibawaannya dalam memimpin masyarakat.

Seperti halnya makam keramat lainnya di Garut, makam Sunan Cipancar juga kerap dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah. Bahkan, berada di dekat persimpangan jalan lintas nasional bagian selatan Jawa, makam yang satu ini selalu ramai diziarahi pengunjung.

6 dari 6 halaman

Sunan Haruman

Sunan Haruman (Syeh Ja’far Shadiq), Cibiuk

Bagi sebagian peziarah, makam waliyulloh yang satu ini berbeda penyebutannya, ada yang menyebut Sunan Haruman karena dimakamkan di kaki gunung Haruman. Ada juga yang memanggilnya Embah Wali Cibiuk, yang belakangan mitosnya kerap dipanggil Mbah Sambal Cibiuk.

Tokoh ini merupakan salah seorang penyebar Islam di Garut, Jawa Barat, yang hidup satu masa dengan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Kabupaten Tasikmalaya, dan Syaikh Maulana Mansur, Banten.

Berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat, konon ketiga tokoh penyebar Islam satu generasi itu, selalu salat berjemaah dan menimba ilmu bersamaan di Makkah al Mukaromah karena kelebihan karomah yang di miliki ketiganya.

Jika Syeh Maulana Mansur dikaruniai karomah menembus bumi, Syeh Abdul Muhyi, dikaruniai karomah mampu menembus laut, sedangkan Syeh Ja’far Shadiq dikarunia karomah mampu menembus udara. Bahkan dalam satu kesempatan, ketiganya mengajak lomba pulang paling cepat di Indonesia.

Selain makam, peninggalan lain yang selalu dikunjungi peziarah adalah masjid tua berusia lebih dari 400 tahun, di Jalan Pesantren Tengah, Desa Cibiuk Tengah, Kecamatan Cibiuk. Ciri utama masjid itu memiliki 'pataka' ukiran batu dan dipasang di pucuk atap bangunan masjid tersebut dan masih terlihat utuh hingga kini.

 

Reporter : Jayadi Supriadin

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.