Sukses

Pengalaman Mahasiswa RI Jalankan Ramadan di AS Sebagai Minoritas

Seorang mahasiswa AS menceritakan pengalamannya selama menjalankan ibadah puasa sebagai minoritas do Worcester, Massachusetts.

Liputan6.com, Worcester - Seorang mahasiswa asal Indonesia yang pernah menempuh pendidikan di Amerika Serikat berbagi pengalamannya selama menjalani Ramadan di sana. Ia adalah Cut Famelia, mahasiswa penerima beasiswa Fulbright yang mengambil master di bidang Ilmu Data di Worcester Polytechnic Institute (WPI).

Sebagai representasi dari tiga kelompok entitas, yakni perempuan, muslim, dan pendatang, Famelia harus menghadapi banyak tantangan, terutama sebagai muslim yang menjadi minoritas di AS.

Selama berada di Worcester, Famelia tinggal di apartemen kampus dan berbagi dengan dua orang mahasiswi WPI yang berasal dari Cina dan bukan pemeluk Islam.

Saat Ramadan, ia memastikan agar persiapan sahurnya tak mengganggu teman-temannya yang sedang tidur. Meski demikian, terkadang bunyi yang ditimbulkan alat masak tak dapat dihindari.

Untuk menghindari kesalahpahaman dan ketidaknyamanan, ia harus menerangkan kepada teman-temannya tentang aktivitas yang dijalankannya.

"Saya tidak ingin ritual ibadah saya menimbulkan rasa kesal di hati orang lain. Syukurlah, tidak terjadi konflik apa-apa di antara kami terkait hal ini," ujar Famelia yang kisahnya dibagikan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat kepada Liputan6.com.

Untuk salat tarawih, Famelia memilih melaksanakannya di rumah. Ia mengaku jarak dari apartemen dan masjid cukup jauh dan harus menggunakan taxi.

Selain itu, tarawih juga dimulai hampir larut malam karena kala itu Ramadhan datang di musim panas. Muslim di sana berbuka sekitar pukul 20.30 dan tarawih dimulai setelah shalat Isya, yakni sekitar pukul 22.45.

Cut Famelia menjadi Wakil Presiden MSA untuk periode Fall 2016 - Spring 2017. (Cut Famelia)

Saat musim panas, Muslim AS harus berpuasa sekitar 18 jam. Bagi Famelia, kondisi itu menantang baginya yang sudah terbiasa berpuasa sekitar 13-14 jam di Aceh, kampung halamannya.

Menjadi seorang minoritas, membuat Famelia merindukan Ramadan khas Indonesia, termasuk makanannya. Di Worcester, ia hanya menemukan WNI sekitar 25 orang yang sebagian besar adalah mahasiswa.

Meski jumlahnya kecil, mereka selalu berusaha untuk bersilaturahim, salah satunya dengan buka puasa bersama. Acara tersebut sedikit mengobati rasa rindu Famelia akan makanan khas Indonesia.

"Walau cita rasanya tidak persis sama seperti yang saya nikmati di kampung halaman, namun paling tidak, bisa sedikit mengobati kerinduan saya akan masakan dan suasana ifthar di tanah air," ujar Famelia.

"Kala itu, nuansa Amerika hampir tak terasa. Saya seperti sedang berbuka puasa bersama di Indonesia. Akhirnya saya sadar bahwa silaturrahmi dengan komunitas bangsa sendiri itu penting, salah satunya untuk mengurangi homesick."

Selain menimba ilmu, Famelia bergabung dengan Muslim Student Association (MSA) yang merupakan komunitas muslim di kampus WPI. Ia terpilih sebagai MSA Vice President untuk periode Fall 2016 – Spring 2017 dan menjadi satu-satunya perempuan di dalam tim MSA Executive Board.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.