Sukses

Petisi Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Pilkada 2020 karena Pandemi Corona

Aktivis dan organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat membuat petisi untuk menolak pemilihan Kepala Daerah tahun 2020, melalui laman charge.org.

Liputan6.com, Jakarta Aktivis dan organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat membuat petisi untuk menolak pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2020, melalui laman charge.org.

Salah satu perwakilan yang juga merupakan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Aggraini, memandang Perppu Nomor 2 Tahun 2020, tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Penyelenggara Pemilu sehubungan dengan penyelenggaraan Pilkada serentak yang diatur untuk dilaksanakan pada bulan Desember 2020 di tengah pandemi Covid-19.

"Perppu nampaknya tidak berangkat dari pemahaman bahwa jika pemungutan dan penghitungan suara dilaksanakan pada Desember 2020, maka tahapan Pilkada lanjutan harus dimulai sejak awal bulan Juni. Belum ada kepastian bahwa Juni menjadi akhir dari penularan Corona virus disease 2019 (Covid-19)," kata Titi kepada Liputan6.com, Senin (25/5/2020).

Dia menuturkan, belum ada prediksi yang bisa diandalkan mengenai akhir pandemi di Indonesia. Kurva penambahan kasus harian sampai saat ini masih mengalami peningkatan, yang penambahannya fluktuatif namun masih dalam jumlah peningkatan yang besar.

"Belum ada tanda-tanda bahwa kita sudah melewati puncak wabah, apalagi mendekati akhir wabah. Jika mengacu pada tren ini, pandemi masih akan berlangsung di Indonesia setidaknya beberapa bulan ke depan," jelas Titi.

Dia menuturkan, Pilkada harus mengikuti protokol Covid-19 dan dengan sejumlah perubahan dalam proses pelaksanaan pada setiap tahapannya. Tanpa perubahan proses pelaksanaan, tahapan Pilkada jelas akan menciptakan pertemuan para pemangku kepentingan terutama di proses pemutakhiran data pemilih, verifikasi dukungan dalam pencalonan, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, dan rekapitulasi dan penetapan hasil.

"Ada risiko terpaparnya banyak orang yang terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada dengan Covid-19," tutur Titi.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Konsekuensi

Dia juga memandang, menyelenggarakan Pilkada dengan protokol tersebut berkonsekuensi pada anggaran dan perubahan tata cara penyelenggaraan tahapan-tahapan Pilkada. Perppu tak merubah pasal-pasal mengenai teknis kepemiluan yang diatur di dalam Undang-Undang Pilkada.

"Dengan demikian, tahapan Pilkada masih dijalankan dengan ketentuan di UU Pilkada yang ada. Penyelenggaraan juga akan terhambat oleh ketersediaan anggaran. Dari diskusi yang telah banyak diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu di daerah, anggaran tambahan dari Pemerintah daerah tak memungkinkan," ungkap Titi.

Dia pun menjelaskan, ada risiko politisasi bantuan sosial, kontestasi yang tak setara bagi peserta pemilu petahana dan non petahana, dan turunnya partisipasi pemilih.

"Singkatnya, memaksakan penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi berpotensi menimbulkan lebih banyak mudharat daripada manfaatnya," tukasnya.

Adapun koalisi ini selain dari Perludem juga dari, Netgrit, Netfid, PUSaKO FH Unand, Puskapol UI, Rumah Kebangsaan, dan lainnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.