Sukses

Perludem: Pemilu Terbuka dan Tertutup di Pilkada 2020 Masih Memiliki Kekurangan

Jika suara partai lebih besar dari suara calon seperti saat pemilu 2019 kemarin, kata Didik, akibatnya banyak orang yang mempersoalkan dan melakukan intervensi gugatan ke MA.

Liputan6.com, Jakarta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai sistem pemilu proporsional, baik terbuka maupun tertutup di pemilihan kepala daerah (Pilkada) tetap memiliki kekurangan. 

Pertama, sistem terbuka (open list) dengan memperlihatkan wajah kandidat yang diusung, diharapkan masyarakat bisa memberikan kontrol terhadap kandidat terpilih nantinya.

"Maka dalam proses perjalanannya, kita terus bisa melihat perkembangan calon yang kita pilih. Nah distorsinya adalah banyak kebijakan sebagian yang tidak semata-mata ditentukan oleh calon terpilih, tetapi oleh partai politik," ujar Pendiri dari Perludem Didik Supriyanto saat diskusi daring, Senin, 11 Mei 2020. 

Sebagai contoh dalam sidang DPR saat memilih anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

"Biasanya, itu kan tujuh dan dari partai A ditentukan tiga yang sesuai dengan partai. Jika ada yang memilih luar dari situ akan kena sanksi. Yang empat lainya itu pilihan masing-masing, jadi partai mengambil pola seperti itu," jelasnya. 

Akan tetapi, Didik menyebut secara umum partai dan anggotanya akan membagi otoritas dalam kebijakan. Distorsi seperti itu yang tidak bisa diakomodasi oleh sistem pemilu proporsional di Indonesia.

"Distorsi juga terjadi saat pemilu. Semestinya kita hanya diberikan untuk memilih calon tidak harus memilih partai. Sehingga pengertian suara terbanyak benar-benar nyata. Jadi ketahuan perolehan suara terbanyak sebenarnya dan tidak diperbandingkan dengan suara partai," tuturnya

Jika suara partai lebih besar dari suara calon seperti saat pemilu 2019 kemarin, kata Didik, akibatnya banyak orang yang mempersoalkan dan melakukan intervensi gugatan ke MA, MK bahkan mengintimidasi calon terpilih.

Dia mengaku tidak menyalahkan sistem yang dijalankan dalam pemilu proporsional terbuka, tetapi sikap konsistensi dalam pelaksanaannya yang harus diperbaiki.

"Seperti calon yang seharusnya tidak disusun sesuai dengan nomor urut. Diundi saja yang demikian ada pertarungan bebas, antar calon di konstituen. Kalau ada nomor urut itukan, seakan-akan ada pesan dari partai, bahwa nomor urut satu itulah yang jadi preference partai. Jadi inilah yang menyebabkan, pemilu proporsional kita tidak sebagaimana diidealkan sesuai tujuan sistem proporsional," ujar Didik.  

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pemilu Tertutup Tidak Selamanya Buruk

Selain itu, Didik mengatakan bahwa sistem pemilu tertutup juga tidak selamanya buruk. Di satu sisi memberikan keleluasaan bagi partai politik, karena bebas menentukan calon dan siapa yang terpilih.

Oleh karenanya, tidak semua kebijakan dari partai yang menentukan siapa yang terpilih itu buruk.

"Bandingkan dengan pemilu 99 masih banyak anggota dewan yang hebat pada saat itu. Mengapa hebat? Karena partai sadar yang nomor satu itu benar-benar orang hebat. Karena percuma saja, kita memiliki anggota dewan, yang kerjanya kurang dan tidak mampu mewujudkan kehendak, harapan konstituen," ungkapnya. 

Walaupun demikian, Didik tidak menampik jika dengan sistem calon yang tertutup bisa menjamin semuanya kembali lebih baik dan lebih konsisten. Namun, pihaknya mengharapkan dalam sistem pemilihan lebih diperkecil daerah pemilihan (dapil) bagi calon.

"Tetapi dari teman-teman perludem mengharapkan pemilihan secara proporsional terbuka saat ini, bisa diperkecil saja dapilnya. Kursinya 3-10, itu mengapa tidak diperkecil saja. Karena, semakin diperkecil akan semakin sedikit calon dan lebih memudahkan masyarakat mengetahui dan mengontrol kinerja calon. Tetapi kalau dapilnya besar seperti ini juga, jadi ya percuma kontrol masyarakat cukup sulit," jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, peneliti Perludem, Heroik M Pratama menilai bahwa setiap sistem semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya, baik terbuka atau tertutup.

"Tetapi tidak bisa kemudian berpindah dan langsung berganti, harus disiapkan variabel-variabelnya. Seperti halnya, semisal sistem pemilu proporsional tertutup itu ada indikasi menciptakan oligarki partai. Tetapi bisa ditaruh untuk variabel bagaimana sistem penomoran dan pencalonan oleh partai dibuat secara demokrasi," jelasnya.

"Cara-caranya pun harus diketahui oleh publik secara demokratis terbuka dan ini seperti memang tidak bisa variabel tunggal dalam memberlakukan sistem pemilu yang dipakai di Indonesia," tambahnya.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.