Sukses

Malaysia di Pundak Pak Lah

Abdullah Ahmad Badawi berjanji akan bekerja jujur dan tak melakukan perubahan mendasar pada kebijakan negara. Malaysia yang lebih demokratis tampaknya masih lama terwujud.

Liputan6.com, Putra Jaya: Suksesi di Malaysia berjalan mulus. Tak ada gejolak. Mahathir Mohammad mundur setelah hampir 22 tahun berkuasa. Ia menyerahkan tampuk kepemimpinan ke pundak Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi. Kini putra politisi Ahmad Badawi yang biasa disapa Pak Lah resmi menjadi Perdana Menteri Malaysia yang kelima.

Pergeseran kekuasaan di Malaysia terkesan tak banyak cakap. Sebagian kalangan yakin Pak Lah adalah angin segar. Mereka percaya bekas Deputi PM Malaysia ini bisa membawa negerinya lebih demokratis, terbuka, dan menghormati hak asasi manusia. Tapi ada juga yang ragu. Pak Lah dianggap setali tiga uang dengan pendahulunya. Tak ada beda. Otoriter dan sama-sama bertangan besi.

Tak bijak memang menilai kepemimpinan Pak Lah yang masih hitungan hari. Satu yang pasti, ia telah berjanji menjalankan tugas dengan jujur. Juga ia siap mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya. Nah, ini bisa dijadikan modal. Apalagi track record politisi berusia 63 tahun ini tak bisa dianggap kacangan. Berbagai jabatan strategis di Malaysia pernah mampir di pundaknya. Karier politik ayah dua anak ini dimulai pada 1969. Saat itu, ia ditunjuk menjadi Asisten Sekretaris Majelis Gerakan Negara. Dua tahun Pak Lah memangku jabatan itu.

Suami Datin Seri Endon binti Datuk Mahmud ini kemudian diangkat menjadi Asisten Sekretaris Keamanan Nasional. Bak meteor karirnya terus melesat. Ia memegang jabatan Deputi Sekretaris Jenderal Kementerian Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga pada periode 1974-1978. Lalu, Pak Lah diangkat menjadi Menteri Pendidikan. Dua tahun menjabat, lulusan Universitas Malaya ini dipercaya menjadi Menteri Pertahanan.

Lonjakan drastis dalam karier Pak Lah terjadi pada 1984, manakala dia diangkat menjadi Deputi Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO). Selanjutnya selama tujuh tahun, dia dipercaya menjadi Menteri Luar Negeri. Masa keemasan Pak Lah belum berhenti. Pada 1999, dia dipercaya menjadi Menteri Dalam Negeri sekaligus merangkap sebagai Deputi PM menggantikan Anwar Ibrahim yang dianggap terlalu vokal mengkritik kebijakan Mahathir.

Pengangkatan Pak Lah sebagai Deputi PM mengundang banyak tanda tanya. Adalah kalangan oposisi yang paling nyaring bersuara atas pengangkatan Pak Lah menjadi orang nomor dua di Malaysia. Menurut mereka, Pak Lah belum layak menempati posisi paling strategis tersebut--kalau langgeng jadi PM. Tapi Mahathir bergeming. Dr. M--julukan Mahathir--tetap pada pendiriannya.

Pak Lah memang "anak manis" dibanding tiga Deputi PM terdahulu--Musa Hitam (1986), Ghafar Baba (1993) maupun Anwar Ibrahim. Pak Lah lebih banyak diam. Bahkan selama dalam asuhan Dr. M, Pak Lah nyaris tak pernah mengomentari kebijakan sang bos. Dan, itu terbukti berbuah manis, kesabaran Pak Lah mendapat ganjaran setimpal. Kini Pak Lah bebas mengarahkan Semenanjung Malaysia ke arah yang dia suka.

Sekarang tinggal bagaimana Pak Lah memimpin. Di sinilah tantangan sesungguhnya buat pria yang 24 November mendatang merayakan ulang tahun ke-64. Mahathir sudah meletakkan pondasi kokoh. Terutama di bidang perekonomian. Bahkan, tak bisa disangkal, perekonomian Malaysia sekarang jauh lebih kuat dibanding negara-negara di Asia Tenggara setelah dihajar krisis pada 1997/1998. Selama 22 tahun di bawah kepemimpinan Dr. M, Malaysia juga membukukan kemajuan di sektor perbankan. Malaysia juga tercatat sebagai negara yang memiliki infrastruktur paling maju. Pendek kata, Malaysia paling siap menghadapi era globalisasi.

Memang Pak Lah sudah berjanji akan bekerja sebaik-baiknya. Tapi itu belum teruji. Soalnya Malaysia bukan negeri tanpa persoalan. Yang paling nyata adalah masalah investasi asing. Sejak 2001, investasi asing di Negeri Jiran merosot tajam setelah terjadi gelombang pengalihan modal ke Cina dan sejumlah negara tetangga seperti Thailand. Malaysia pun sempat terjangkit defisit anggaran.

Ekses kebijakan Dr. M yang mematok mata uang ringgit pada kisaran 3,80 per dolar Amerika Serikat berpotensi menimbulkan persoalan. Meski tak ada tekanan langsung, kalau dipertahankan dalam jangka waktu panjang, kebijakan ini bisa merusak kepercayaan pasar bebas Malaysia, terutama buat iklim investasi. Masalah besar lain yang menghadang adalah penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kini berjangkit di UMNO. Sistem hubungan yang sudah berurat berakar di partai paling berkuasa di Malaysia itu sering kali melahirkan kontrak-kontrak "gelap" antara pemerintah dan pengusaha tertentu.

Belum lagi soal pemilihan umum Malaysia yang sudah di depan mata. Hubungan luar negeri Malaysia dengan negara-negara Barat dan Israel yang kian "panas". Khusus soal hubungan luar negeri, Pak Lah memang beda dengan Dr. M. yang sering bicara terbuka dan keras, malah cenderung kontroversial. Pak Lah lebih tenang dan hati-hati. Dia juga tak suka menonjolkan diri, diplomatis, dan yang paling penting sangat menjaga tutur katanya. Atas sikapnya ini, beberapa negara dan kelompok oposisi berharap Malaysia bisa menjadi lebih lunak. Tak seperti era Mahathir.

Bukan tak mungkin wajah Malaysia kelak berubah di tangan Pak Lah. Tapi rasa-rasanya kemungkinan kecil. Tengok saja pernyataan Pak Lah sepekan sebelum diangkat menjadi PM. Lelaki kelahiran Penang, 26 November 1939 ini, berjanji tak akan mengadakan perubahan kebijakan secara mendasar. Malah, ia bersumpah akan melanjutkan segala kebijakan negara untuk mencapai Visi 2020. Sinyalemen inilah yang patut dicermati.

Kalau begitu, perubahan total di Malaysia tampaknya masih jauh panggang dari api. Malah ada kemungkinan Pak Lah akan lebih dulu mengamankan posisinya. Membangun koalisi untuk menancapkan jeratnya atas UMNO, partai yang menjadi tonggak utama Barisan Nasional. Terlebih lagi dalam waktu dekat, Pak Lah membutuhkan UMNO untuk memenangkan pemilu.(ICH)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.