Sukses

HEADLINE: Aksi Bom Bunuh Diri di Polsek Astana Anyar Bandung, Program Deradikalisasi Dievaluasi?

Sebuah ledakan di Bandung tepatnya di Markas Polsek Astana Anyar pada Rabu 7 Desember 2022 pagi, tak hanya menggemparkan stakeholder dan masyarakat di Jawa Barat, tapi ini jadi skala nasional.

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah ledakan di Bandung tepatnya di Markas Polsek Astana Anyar pada Rabu 7 Desember 2022 pagi, tak hanya menggemparkan masyarakat di Jawa Barat, tapi ini jadi skala nasional.

Tudingan bahwa polisi dan sejumlah lembaga yang mengawasi gerak gerik teroris dianggap lengah mulai berdatangan. Bahkan, sorotan tajam mengarah ke Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang kini dikepalai oleh Boy Rafli Amar.

Bagaimana tidak, pelaku bom bunuh diri Polsek Astana Anyar tersebut adalah Agus Sujatno alias Agus Muslim merupakan pelaku bom panci Cicendo pada tahun 2017. Yang bersangkutan sudah pernah dihukum penjara selama empat tahun, dan baru bebas murni setahun lalu dari LP Pasir Putih, Nusakambangan.

Keberadaan napi terorisme ini, tentu menjadi sasaran BNPT. Pasalnya, lembaga ini menggembar-gemborkan soal deradikalisasi, bahkan berbasis soft approach atau pendekatan lunak untuk menghilangkan paham-paham yang dianut para teroris agar tak lagi menyimpang.

Boy Rafli langsung angkat bicara pasca mendengar kabar bom bunuh diri tersebut. Dia membantah BNPT kecolongan.

Setali tiga uang, anak buah Boy, Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris, juga menepis pihaknya kebobolan dengan aksi mantan napiter tersebut. Menurut dia, pelaku Agus tak mau dibina pihaknya alias enggan mengikuti programnya.

"Tidak mau dideradikalisasi. Program deradikalisasi bukan paksaan," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (8/12/2022).'

Dirinya mengklaim, bahwa pihaknya selalu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap program yang dijalankan pihaknya, meski tak ada paksaan.

"Semua program yang dilaksanakan selalu ada monitoring dan evaluasi. Monitoring evaluasi bersama biro perencanaan memantau pelaksanaan giat yang telah dilaksanakan terkait sasaran, strategi, capaian, kinerja, dan lain-lain," ungkap Irfan.

Bahkan, dia mengungkapkan, pihaknya tak diam saja jika ada napiter yang memang tak mau ikut program deradikalisasi ramuan BNPT tersebut.

"Semua napi dan mantan napi dalam semua level terus diupayakan dengan berbagai pendekatan agar mereka dapat mengikuti program deradikalisasi sebagai proses menuju kehidupan moderat," kata Irfan.

Pengamat terorisme Ridwan Habib menegaskan, karena pelaku tak mengikuti program deradikalisasi, maka sulit untuk melihat ini efektif atau tidak.

"Pertanyaannya adalah apakah itu bisa dilakukan pemaksaan jika seseorang tidak mengikuti program?," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (8/12/2022).

Sehingga, kata Ridwan, evaluasi yang akan dilakukan BNPT adalah bagaiamana melakukan pendekatan bagi mereka yang menolak program tersebut.

"Sekarang kan sukarela. Artinya kalau tidak mau masuk program deradikalisasi ya enggak diapa-apain. Nah ini menurut saya harus diubah," ungkap dia.

Selain itu, menurut dia, BNPT juga harus melakukan pengawasan kepada napi terorisme yang masuk kategori merah atau tidak mengikuti program tersebut.

"Itu (pengawasan dan evaluasi) yang harus dilakukan segera," tegas Ridwan.

 

Sudah Tak Efektif Harusnya Berubah

Sementara, pengamat terorisme Al Chaidar melihat, keengganan napiter untuk mengikuti program deradikalisasi, menandakan program tersebut sudah tak lagi efektif dan ada yang salah dalam penerapannya.

"Seharusnya dari dulu program deradikalisasi ini dievaluasi secara lebih ilmiah dan akademis serta mengundang berbagai ilmuwan dan juga pakar di bidang psikologi komunikasi sejarah dan ilmu-ilmu agama," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (8/12/2022).

Al Chaidar menegaskan, program deredikalisasi haruslah memuat beberapa hal yang sangat mendasar tentang pelurusan ideologi dan ektarian maupun parokial yang bersumber dari pemahaman-pemahaman tentang kekerasan yang tidak berperikemanusiaan.

"Dan harusnya pemerintah sudah melakukan program kontra wacana dan juga program humanisasi, serta meratifikasi konvensi PBB tentang daftar dan orang-orang yang terlibat dalam terorisme," jelas dia.

Al Chaidar mengungkapkan, ada program lain yang bisa dilakukan, seperti misalnya program memperbanyak sesi dan referensi untuk mata kuliah agama di tingkat sekolah menengah atas atau di kuliah di kampus terutama untuk sarjana tahun akhir.

"Seseorang yang tidak memiliki basis pengetahuan agama yang cukup maka akan dengan mudah diajak dan dicekoki atau didoktrin dengan ajaran-ajaran agama yang ditafsirkan secara menyimpang," tegas dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Evaluasi dengan Gaya dan Pendekatan Baru

Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto mengatakan, mengatakan peristiwa ini harus menjadi perhatian dan kewaspadaan bagi pemerintah dan lembaga yang ada.

"Pemberantasan terorisme memang harus dilakukan secara masif dan berkesinambungan mulai dari pencegahan, penindakan, dan pemulihan," kata dia, kepada Liputan6.com, Kamis (6/12/2022).

Politikus Demokrat ini menuturkan, pemberantasan terorisme di Indonesia lebih didominasi dengan upaya penindakan dan diikuti dengan pencegahan. Sementara upaya pemulihan mencakup deradikalisasi dan reintegrasi sosial mantan teroris melihat masih belum dimaksimalkan.

"Saya juga melihat, upaya pencegahan pun masih harus terus diperkuat. Kecenderungannya saat ini masih bersifat sentralistis di pemerintah pusat. Pelibatan dan partisipasi pemerintah daerah dan masyarakat sipil masih relatif kecil. Selain itu, kecenderungannya masih berpola konvensional, khususnya dalam bentuk ceramah dan seminar," jelas Didik.

Dia menegaskan, peran pemerintah dalam rehabilitasi dan reintegrasi mantan napiter masih belum terlihat maksimal. Beberapa hal yang menjadikannya belum maksimal yakni upaya yang cenderung tidak berkelanjutan, ad-hoc dan project-oriented.

"Metode yang digunakan kecenderungannya belum berangkat dari perencanaan strategis dengan mengambil pola jangka pendek, menengah, dan panjang, serta tak memerhatikan realitas kebutuhan, keterampilan, dan animo mantan napiter," kata Didik.

Menurut dia, pemerintah harus memainkan peran utama dalam melakukan inisiatif-inisiatif rehabilitasi dan reintegrasi sosial.

"Desain dan kerangka rehabilitasi dan reintegrasi sosial mantan napiter harus dibangun secara holistik dan strategis serta direalisasikan lewat kerja sama dengan berbagai lembaga masyarakat sipil dan pemerintah daerah berdasarkan keahlian dan kapasitas mereka," kata Didik.

Mengingat pelaku adalah mantan napiter, perlu menjadi evaluasi mendalam terkait dengan program rehabilitasi.

"Saya melihat rehabilitasi mantan napiter di Indonesia pada umumnya cenderung masih terbatas pada rehabilitasi keagamaan dan spiritual, psikologis, dan pendidikan, belum banyak menyentuh dimensi rehabilitasi lainnya. Untuk itu Pemerintah harus mulai membangun juga rehabilitasi secara komprehensif dengan mencakup dimensi pendidikan, vokasional, keluarga dan sosial, rekreasional, dan kesenian," tegas Didik.

"Saya melihat upaya deradikalisasi dan reintegrasi sosial mantan napiter masih belum sepenuhnya efektif. Menurut hemat saya Pemerintah harus meningkatkan dan mencari terobosan-terobosan yang lebih strategis," pungkasnya.

3 dari 3 halaman

Saran Wapres

Sementara, Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengefektifkan kembali Tim Penanggulangan Terorisme (TPT). Hal tersebut disampaikan Ma'ruf terkait serangan bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Kota Bandung, Rabu kemarin.

"Terorisme ini mulai lagi, dulu MUI di awal-awal membangun tim penanggulangan terorisme, dan kita melakukan beberapa langkah, saya kira lembaganya masih ada ya. Karena itu, ternyata ini masih perlu diefektifkan lagi," ujar Ma'ruf pada acara Mukernas MUI, Jakarta, Kamis (8/12/2022).

Menurut dia, MUI melalui TPT telah sejak lama melakukan upaya pencegahan benih-benih terorisme. Di antaranya, MUI mengeluarkan fatwa bahwa terorisme bukan jihad dan menerbitkan buku-buku pelurusan jihad.

"Terorisme bukan jihad, terorisme adalah haram karena terorisme merusak, tidak membawa kemaslahatan, itu fatwa MUI itu dan kemudian melakukan pelurusan paham membuat buku buku meluruskan makna jihad, meluruskan lagi, itu yang sudah dilakukan," jelas Ma'ruf.

Dia menegaskan kasus bom bunuh diri di Bandung menunjukkan masih ada pemahaman keliru tentang jihad dan perlu ada upaya untuk meluruskan kembali paham yang salah tersebut.

"Ternyata ini masih perlu diefektifkan lagi untuk bisa kembali ke Islam wasathiyah," kata Ma'ruf.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.