Sukses

3 Tahun Tak Ada Hip Hip Hura karena Pandemi, Kerumunan Massa Kini Rawan Berujung Maut

Beberapa pekan terakhir kerumunan massa yang menyebabkan orang pingsan akibat dorong-dorongan hingga memakan korban jiwa menjadi perhatian masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta - Antusiasme masyarakat akan acara hiburan ataupun kegiatan yang melibatkan kerumunan massa seperti tak terbendung usai kondisi pandemi Covid-19 yang dianggap mulai terkendali. Hal tersebut tampak dari banyaknya kegiatan dan cepatnya respons masyarakat dalam pembelian tiket.

Namun tak semua kegiatan berjalan dengan lancar, bahkan rawan berujung pada kekacauan hingga maut, yang memakan korban jiwa. Tragedi di Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur hingga penghentian penyelenggaraan festival musik berhubungan erat dengan kerumunan orang yang sangat padat, contohnya.

Misalnya dalam penyelenggaraan festival musik "Bergoyang Berdendang" di Istora Senayan, Sabtu (29/10/2022) sampai konser grup musik asal Korea Selatan (Korsel), NCT 127 Jumat (4/11) yang harus dihentikan usai puluhan penonton pingsan akibat aksi dorong-dorongan.

Bahkan, di Korsel, sebuah perayaan malam Halloween berubah menjadi mimpi buruk lantaran banyaknya korban berjatuhan, mulai dari terinjak hingga meninggal dunia.

Sosiolog Universitas Indonesia, Devie Rahmawati menyatakan animo masyarakat menghadiri acara tersebut bentuk balas dendam atau kemerdekaan dari pandemi Covid-19. Maklum, nyaris tiga tahun masyarakat harus memendam hasrat berhip-hip hura lantaran pandemi yang mengekang.

Kendati begitu, terdapat pihak-pihak atau penyelenggara baru yang mengambil keuntungan dari momentum tersebut. Salah satu contohnya kata Devie, yaitu kebohongan pihak penyelenggara kepada negara mengenai jumlah penonton atau melebihi kapasitas maksimal.

"Kalau dia tidak membohongi negara, pasti bisa dicari jalan keluarnya. Tempatnya dipindahkan atau penyelenggaraannya diubah menjadi 5 atau 10 hari kalau ingin dapat cuan. Jadi sebenarnya Indonesia punya kemampuan untuk menyelenggarakan event dalam pengelolaan manusia yang sangat besar. Jadi bukan salah pandeminya, tapi siapa penyelenggaranya," kata Devie kepada Liputan6.com.

Dalam penyelenggaraannya, dia meminta agar pemerintah dapat menertibkan kembali pelaksanaan kegiatan berdasarkan ketentuan yang ada. "Mudah-mudahan pengalaman kemarin ini tentunya menjadi titik tolak penting untuk betul-betul mengevaluasi siapa penyelenggaranya," ujar dia.

Bikin Panik

Kondisi yang penuh sesak dalam sebuah kerumunan dapat berdampak pada psikologis seseorang seperti halnya kepanikan. Hal tersebut disampaikan psikolog dari Universitas Brawijaya Cleoputri Yusainy. Kata dia, ada perubahan perilaku individu ketika sendirian atau berdua saat berada dalam sebuah kerumunan. Keputusan yang diambil juga tidak sepenuhnya rasional.

Lalu saat kerumunan terjadi tidak ada satu orang pun memiliki kemampuan untuk memprediksi kapan terjadi kekacauan. Bahkan ketika seseorang merasa tenang akan tetap terbawa arus dan hanya mengikuti alur hingga kerumunan terurai.

"Karena sifat dasar dari otak itu memang sangat boros akan energi hingga hanya menangkap pola-pola saja dan ketika dalam kerumunan itu ada beragam kemungkinan," kata Cleoputri kepada Liputan6.com.

Dia menambahkan, "Bisa jadi otak yang memang pada dasarnya boros energi kemudian mengikut kepada siapa yang menjadi group leader tersebut atau yang menjadi ketua pada kerumunan itu. Individu-individu yang ada pada kerumunan akan ikut pada leader-nya."

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Pahami Karakteristik Pengunjung/Penonton

Leader atau pemimpin, kata Cleoputri meliputi petugas lapangan, panduan atau petunjuk arah, hingga spanduk yang mempermudah para individu. Sedangkan saat terjadi kerumunan sangat padat sosok leader dan petunjuk yang ada juga terabaikan.

"Jadi individu-individu seakan-akan hilang arah ketika berada di tengah kerumunan. Ketika kondisi sudah panik maka kembali lagi karena sifat otak sangat boros energi pada akhirnya bisa jadi kemudian timbul naluri yang kalau pada tragedi sepakbola itu disebut selamatkan diri masing-masing," ucapnya.

Selain itu, saat kerumunan arah gerak orang paling depan akan diikuti semua orang tanpa ada alasan rasional. Padahal hal tersebut dapat memicu penumpukan dan dapat menimbulkan korban jiwa.

Karena hal itu, dia meminta agar manajemen risiko dapat dilakukan semestinya oleh para penyelenggara sebagai pihak yang bertanggungjawab. Dari hal yang standar hingga yang ekstrem sekalipun.

Karena dalam setiap penyelenggaraan acara, karakteristik pengunjung atau penonton juga berbeda-beda. Misalnya penonton konser dari Korea Selatan, dangdut, hingga aliran musik, kegiatan agama dan lainnya.

"Kalau dalam kondisi ada kejadian di luar dugaan itu kurang adanya antisipasi, baru kemudian kejadian baru kita melakukan antisipasi ya sudah terlambat. Ibaratnya pintu itu kan sudah terlanjur sudah tidak bisa dibuka terus kemudian baru mau dibuat pada saat terjadi suatu insiden," papar dia.

 

Faktor Jumlah Penonton

Selanjutnya yang perlu diperhatikan oleh penyelenggara menurut Cleoputri adalah jumlah penonton yang tidak melebihi kapasitas yang ada. Sebab pengunjung hanya ingin bersenang-senang tanpa berniat melakukan kerusuhan.

"Intinya penonton itu kan membayar tiket bukan hanya membayar tiket untuk tontonannya, tapi juga membayar tiket untuk kemudian aman dan nyaman selama menonton sampai kemudian keluar dari tempat tontonan tersebut. Ini yang perlu ada mindset kegiatan penyelenggara," Cleoputri menandaskan.

Dalam sebuah kerumunan yang berdesakkan, dada seseorang berisiko terhimpit dan mengakibatkan sulit untuk bernafas dengan baik. Spesialis jantung dan pembuluh darah, Vito Damay menyatakan saat keadaan seperti itu tubuh akan mengalami kekurangan oksigen. Keadaan kurangnya aliran oksigen tersebut biasa disebut dengan hipoksia.

Kata Vito, keadaan itu dapat diperparah dengan situasi yang tidak terkendali seperti ketegangan, stres dan adrenalin yang muncul karena berdesakan. Akibatnya pembuluh darah menjadi kuncup dan kekurangan oksigen.

"Kita bayangkan sel otot jantung, sel yang seharusnya bekerja memompa sehingga oksigen-oksigen ini dipompa oleh otot jantung ke seluruh tubuh ini kekurangan oksigen. Maka dia tidak bisa memompa darah, lama-lama dia akan detak semakin lambat bahkan akhirnya tidak detak sama sekali. Ini yang bikin orang bisa meninggal," kata Vito kepada Liputan6.com.

3 dari 5 halaman

Tips Meminimalisir Risiko dalam Kerumunan

Sebelum akhirnya meninggal dunia seseorang yang mengalami hipoksia akan merasakan beberapa gejala yang bervariatif. Seperti halnya pusing, sesak, mata berkunang-kunang, keringat dingin, hingga lemas.

Untuk meminimalisir risiko yang terjadi seseorang yang berada dalam kerumunan dapat melakukan beberapa hal. Pertama yaitu melakukan posisi kuda-kuda atau satu kaki di depan. Itu bertujuan agar seseorang tidak langsung terjatuh saat terjadi dorongan. Lalu, seseorang juga dapat menempatkan tangan untuk melindungi bagian dada agar tidak terhimpit meskipun tidak dapat bertahan dalam waktu lama.

"Ketiga mungkin adalah saat kondisi kita terjatuh kita menutup atau melindungi bagian tubuh organ-organ dalam yang lebih rentan dengan tangan, tungkai dan kaki, nah ini mungkin bisa membantu beberapa saat tapi kalau tertumpuk mungkin orang-orang yang begitu banyak ya mungkin tetap saja tidak tahan tapi itu dapat dilakukan," ucapnya.

Hal lain juga dapat dilakukan saat terjadi kerumunan yang sudah tidak terkendali yaitu mencari ruang atau tempat bersembunyi yang tidak mengakibatkan himpitan. Selain itu idealnya untuk menghindari saat terperangkap dalam situasi panik dan terhimpit yaitu berbalik arah.

"Balik badan ke arah sebaliknya dan bilang bahwa ini bahaya dan kalau semua ini balik badan yang dibelakang pasti sadar diri dan mikir 'kok ini semua orang balik kebelakang' dan kita mau ke depan tapi mereka semua malah balik arah ke sebaliknya. Setidak-tidaknya pasti akan mikir akan balik ke belakang juga dan ini akan melonggarkan kerumunan," papar dia.

Saat keadaan yang mulai longgar itu masyarakat dapat memberikan pertolongan dan membawa orang pingsan untuk bernafas yang lebih baik. Sedangkan untuk orang yang terjadi henti jantung dapat dilakukan cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau resusitasi jantung paru (RJP) atau disebut juga dengan pijat jantung.

"CPR tidak mungkin dilakukan saat semuanya berhimpit-himpitan dan itu yang pertama bawa dulu keluar dari tempatnya. Kita enggak bisa melakukan apa-apa kalau semuanya masih berhimpitan dan mengarah ke tempat yang sama," ujar dia.

Vito juga mengingatkan CPR dapat dilakukan tidak lebih dari 20 menit setelah peristiwa terjadi. Sebab kerusakan akibat henti jantung sudah terjadi saat enam menit saat tubuh tidak ada oksigen.

"Kalau lebih dari 20 menit udah lost life untuk bisa ditolong sebenarnya. Jadi ingat dalam pelatihan CPR kita harus mengajarkan orang awam untuk mengecek kondisi dalam keadaan dimana penolongnya sendiri terhambat atau penolongnya sendiri terancam bahaya maka tidak mungkin melakukan CPR," jelas Vito.

4 dari 5 halaman

Persiapan Detail

Dalam sebuah kegiatan yang melibatkan kerumunan massa pihak penyelenggara harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan detail. Mulai dari pra, saat acara, dan paska. Konsultan keamanan, Adi Kurniawan Saputra menyatakan hal tersebut untuk mengantisipasi adanya hal yang tidak diinginkan.

"Mungkin saat masuk tidak memakan korban tapi pada saat bubar dan keluar itu makan korban. Jadi seluruh layout, baik input atau output harus diperhitungkan, berapa jumlah orang yang akan hadir karena disini kita mengenal tiga istilah, ada soft security, middle security dan high security," kata Adi kepada Liputan6.com.

Kata dia, momen kritis dan kemungkinan memakan korban jiwa sering kali terjadi saat menit-menit terakhir selesainya kegiatan dan seringkali tidak dapat diprediksi. Dalam pelaksanaannya, Adi mengatakan sistem pemeriksaan harus dilaksanakan sejak pengunjung datang ke lokasi.

Mulai dari barang bawaan hingga kondisi kesehatan para pengunjung. Misalnya pemberian tanda untuk para pengunjung dengan penyakit tertentu. Hal tersebut untuk mempermudah saat proses evakuasi ketika terjadi kekacauan. Untuk pengamanan acara pun setiap acara berbeda-beda, mulai dari konser musik, perhelatan olahraga, hingga keagamaan.

"Seperti acara dangdut itu berbeda dengan acara rock, acara DJ, atau acara yang diselenggarakan ulama. Karena kelas-kelas keamanannya berbeda dan enggak bisa disamakan. Berbeda lagi dengan pengamanan kaya event sepakbola berbeda dengan keamanan bola futsal. Jadi tingkat resiko dan keamanan harus kita kaji sebelum pelaksanaan dan sesudah," papar dia.

Jaga Jarak Aman dan Ruang Gerak

Selain dari sisi keamanan, Adi juga memberikan sejumlah tips untuk para individu yang akan datang pada sebuah acara dengan potensi kerumunan. Pertama yang perlu diperhatikan yaitu stamina. Kemudian kesehatan pribadi. Dia menyarankan agar seseorang yang kurang sehat tidak datang dalam kegiatan tersebut.

Hal itu untuk meminimalisir risiko yang terjadi. Kemudian memahami mengenai jaga jarak aman atau memiliki ruang gerak.

"Kalau tidak dapat satu meter, bisa setengah meter dan posisi kita mengamankan dada dengan jarak minimal 30 centimeter. Dan dengan posisi kaki jangan rata, posisi kaki sebelah kanan atau kiri menghadap ke depan, kurang lebih satu tapak setelah kaki kanan atau kiri, itu namanya kuda-kuda ringan," ucapnya.

Posisi kuda-kuda menurut Adi membantu badan agar tidak mudah terjatuh ketika terjadi dorongan. Sedangkan ketika terjatuh diharapkan tidak untuk terlentang. Karena posisi terlentang berpotensi terinjak ketika terjadi kerumunan.

Posisi saat terjatuh diusahakan untuk melingkar seperti binatang trenggiling atau tangan memeluk kaki. Posisi tersebut mengantisipasi adanya cedera parah. Jika berdiri dekat pilar, Adi menyarankan agar seseorang memilih posisi sebaliknya.

Atau selanjutnya pergi mecari tempat atau titik aman untuk menyelamatkan diri. Selanjutnya para pengunjung juga diminta untuk membaca situasi yang ada.

"Saat kita masuk (ke lokasi acara) lebih awal kita keliling dulu. Yang harus tahu pertama di mana toilet, kedua di mana pintu keluar, ketiga di mana pertolongan K3-nya, itu yang harus dipahami terlebih dahulu. Rata-rata yang mau nonton konsernya pun itu lalai, tapi saran saya kepada rekan-rekan yang ingin menikmati tapi keselamatan adalah tujuan utama," Adi menandaskan.

5 dari 5 halaman

Penetapan Tersangka Penyelenggaraan Acara Musik

Sebelumnya, Polres Metro Jakarta Pusat menetapkan HA dan BW sebagai tersangka kasus kericuhan hingga menyebabkan sejumlah peserta pingsan dalam acara 'Berdendang Bergoyang'. Acara tersebut digelar di Istora Senayan pada Sabtu (29/10/2022). Kedua tersangka tersebut selaku penanggung jawab kegiatan dan direktur.

Kendati HA dan BW sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut, keduanya belum dilakukan penahanan di Polres Metro Jakarta Pusat. Adapun atas kejadian tersebut kepolisian mengenakan pasal berlapis yakni pasal dugaan pasal 360 ayat 2 akibat lalainya menyebabkan orang lain luka serta pasal 93 UU nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan.

Pengenaan pasal karantina kesehatan tersebut lantaran pihak panitia telah telah menerima rekomendasi dari satgas mengenai batasan penonton Festival Berdendang Bergoyang namun rekomendasi itu tidak diindahkan.

Dalam temuan data yang dilakukan pihak penyidik, Kapolres Jakarta Pusat menerangkan pihak panita telah menjual tiket sejak bulan April lalu hingga 14 Oktober. Sehingga total tiket yang telah terjual sebanyak 27.879 tiket dan rekomendasi jumlah penonton hanya 5 ribu orang. 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.