Sukses

Wamenkumham Pastikan Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Tetap Legalkan Unjuk Rasa

Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menekankan pasal penghinaan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden dalam RKUHP tetap melegalkan aksi unjuk rasa.

Liputan6.com, Jakarta - L Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menekankan pasal penghinaan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), tetap melegalkan aksi unjuk rasa.

Menurut dia, pasal tersebut tidak akan membatasi masyarakat dalam berdemokrasi dalam unjuk rasa.

"Pasal ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk merintangi kebebasan berdemokrasi, kebebasan berekspresi, berpendapat yang diwujudkan dalam unjuk rasa," jelas Eddy saat memberikan Sosialisasi RKUHP di Universitas Udayana Bali, Jumat 11 November 2022.

"Jadi kurang apa lagi? Artinya apa? Penjelasan pasal itu melegalkan unjuk rasa," sambungnya.

Dia menyampaikan pelegalan soal kebebasan berekspresi dalam unjuk rasa ini tertuang dalam draf RKUHP versi terbaru yang diserahkan pemerintah ke DPR RI pada 9 November 2022. Adapun versi terbaru ini menjelaskan bentuk kritik dan penyerangan kepada presiden dan wakil presiden.

"Jadi kita jelaskan dalam penjelasan versi terbaru penyerangan harkat dan martabat presiden adalah penghinaan, apa? Menista atau memfitnah," katanya.

Eddy menuturkan bahwa inti pemidanaan terhadap pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden ini yakni, apabila masyarakat menista dan memfitnah. Salah satunya, apabila masyarakat mengucapkan kata-kata binatang yang ditujukkan kepada presiden maupun wakil presiden.

"Bahwa inti dari pemidanaan hanya ada dua, satu adalah menista dan memfitnah. Saya kira kalau bicara soal fitnah saya haqqul yakin tidak ada satu ajaran agama pun di dunia ini yang bolehkan fitnah," tutur Eddy.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Revisi Pasal Penghinaan Presiden

Sebelumnya, pemerintah merevisi Pasal 218 tentang penghinaan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden di dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Kini jika melakukan penghinaan, pelaku hanya dikenakan ancaman hukuman tiga tahun penjara.

Pada draf RKUHP pada 4 Juli 2022, ancaman pidana penjara tertulis 3 tahun 6 bulan. Sedangkan, draf RKUHP 9 November 2022 terbaru, ancaman pidana berkurang menjadi 3 tahun.

"Ancaman pidana penjara Pasal 218 menjadi 3 tahun (empat kali lipat pidana pencemaran terhadap orang)," tulis keterangan di draf RKUHP terbaru yang dilihat Rabu 9 November 2022.

3 dari 3 halaman

Penambahan Penjelasan soal Kata Unjuk Rasa

Selain itu, pada draf terbaru ada penambahan penjelasan dengan kata unjuk rasa pada ayat 2 Pasal 218. Hal itu untuk memastikan bahwa pemerintah tidak membatasi kebebasan berpendapat.

"Misalnya tambahan penjelasan itu bahwa penyerangan harkat dan martabat itu yang dimaksudkan adalah menista atau memfitnah. Kemudian di situ dikatakan juga bahwa pasal ini tidak dimaksudkan untuk menghalangi kebebasan berpendapat, kebebasan berdemokrasi, kebebasan berekspresi yang diwujudkan antara lain dalam unjuk rasa," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej saat rapat bersama Komisi III DPR, Rabu 9 November 2022.

"Jadi pemerintah ingin menyatakan dalam penjelasan itu bahwa sebetulnya unjuk rasa itu tidak menjadi persoalan, tidak menjadi masalah. Makanya mengapa kami bunyikan, kalau dia menyampaikan ekspresi atau pendapatnya dalam bentuk unjuk rasa sebagai sesuatu yang tidak ada masalah," tutup Edward.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.