Sukses

Cerita Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Batal Autopsi Usai Didatangi Polisi

Devi Athok, ayah kandung dua korban tragedi Kanjuruhan mengurungkan niatnya untuk autopsi kedua putrinya setelah didatangi polisi ke rumahnya. Ada perasaan khawatir, tidak nyaman, bercampur trauma sehingga keputusan pembatalan diambil.

Liputan6.com, Jakarta - Devi Athok, ayah kandung dua korban tragedi Kanjuruhan, Malang mengurungkan niatnya untuk melakukan autopsi terhadap kedua anaknya. Keputusan itu diambil karena merasa khawatir setelah didatangi polisi ke rumahnya.

Alasan itu didapat berdasarkan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas tragedi Kanjuruhan. Di depan Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Devi Athok menceritakan alasannya membatalkan autopsi terhadap dua putrinya.

"Semalam pada tanggal 20, Kamis, kami Komnas HAM berjumpa langsung dengan Pak Devi Athok, orang tua dari kedua almarhum yang direncanakan untuk dilakukan autopsi, didampingi oleh Pak Kades dan beberapa orang dari desanya, termasuk didampingi oleh Pak Camat," kata Anam dalam video keterangan resmi, dikutip Jumat (21/10/2022)

Anam mengatakan bahwa Komnas HAM telah mendapatkan kronologi langsung dari Devi Athok terkait dinamika proses autopsi yang sudah direncanakan sejak 10 Oktober 2022, namun menjadi batal.

Saat itu, Devi Athok membuat pernyataan rencana autopsi di depan kuasa hukumnya yang masih berupa draft. Sebab, dia masih ingin berjumpa dengan kepala desa terlebih untuk minta tanda tangan agar maksudnya diketahui oleh pejabat desa setempat.

"Memang betul Pak Devi Athok ini ingin melakukan autopsi sejak awal. Karena ingin tahu kenapa kedua putrinya meninggal. Apalagi melihat kondisi jenazahnya, wajahnya menghitam ininya (bagian dada) menghitam. Itu yang ingin dia tahu makanya beliau bersemangat untuk melakukan autopsi," kata Anam.

Namun sehari setelahnya, tepat pada 11 Oktober 2022, empat anggota polisi dari Polsek Kepanjen mendatangi kediaman Devi Athok untuk menanyakan perihal rencana permohonan autopsi.

"Nah pak Athok juga kaget, dia merasa bahwa itu masih draft kok ini sudah ke mana-mana. Itu masih draft hanya difoto penasehat hukum dan aslinya masih dibawa dia dan dia ingin minta tanda tangan Pak Kades. Dan kita konfirmasi kepada Pak Kades memang demikian yang terjadi. Dia ingin minta agar Pak Kadesnya mengetahuinya," terangnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Keluarga Khawatir dan Tak Nyaman

Singkat cerita karena kedatangan empat anggota Polsek Kepanjen yang maksud untuk menanyakan itu malah membuat Devi Athok merasa khawatir dan tidak nyaman. Lantaran, rencana autopsi masih dalam proses namun sudah ada tindak lanjut follow dari kepolosian.

"Karena memang prosesnya menurut dia belum tuntas, kenapa kok sudah ada follow up. Itu pertanyaan mendasar sehingga dia tidak nyaman. Beberapa komunikasi Pak Athok dan polisi di tanggal 11 itu juga banyak, itu satu, membuat kekhawatiran membuat ketidaknyamanan di Pak Athok, karena memang kok bisa. Begitu," jelas Anam.

Kemudian setelah pertemuan itu, tanggal 12 Oktober 2022 pihak Polsek Kepanjen lantas mengeluarkan surat persetujuan untuk melakukan autopsi yang membuat Devi Athok kaget. Karena surat tersebut dikeluarkan secara tiba-tiba. Meski demikian, dia sempat memberikan tanda tangan persetujuan autopsi.

"Cuma prosesnya begini, baik di tanggal 11 maupun tanggal 12, dia sendirian, dia coba menghubungi teman-temannya, pendamping-pendamping dan lain sebagainya itu tidak ada yang bisa menemani dia di saat itu," ujar Anam

"Sehingga dia juga semakin khawatir. Ini kok ada polisi datang, pendampingnya, kuasa hukumnya ketika dihubungi memang tidak bisa hadir dengan berbagai alasannya di saat kepolisian datang. Itu semakin membuat dia khawatir. Tanggal 11 sudah khawatir, tidak nyaman, di tanggal 12 juga demikian," lanjutnya.

Kemudian tanggal 17 Oktober 2022 aparat dari Polda Jawa Timur hingga Polres Malang bersama perangkat desa, Kepala Desa dan Kepala Camat kembali mendatangi rumah Devi Athok hanya untuk sekedar menanyakan tindak lanjut untuk proses autopsi.

"Jumlah polisinya ada 7 orang, belum termasuk Pak Camat, Pak Kades dan perangkat yang lain. Di situ juga begitu. Dia hubungi pendamping dan lain sebagainya juga tidak ada secara langsung, tidak datang ke situ, dia juga khawatir di soal itu," jelasnya.

 

3 dari 4 halaman

Diskusi Keluarga Putuskan Batal Autopsi

Pada saat itulah, ada momen komunikasi antarkeluarga secara internal Devi Athok yang memutuskan untuk mengurungkan niat melakukan autopsi. Sehingga keputusan untuk membatalkan autopsi bukan karena adanya intervensi tetapi atas persetujuan keluarga.

"Makanya di tanggal 17 itu ada surat pernyataan intinya untuk membatalkan proses autopsi. Kita tanya bagaimana proses pembatalan itu? Apakah ada paksaan pembatalannya? Bagaimana proses membuat surat pernyataan itu?," ujar Anam seraya bertanya saat beryemu Devi.

"Ketika kita tanya, intinya Pak Devi Athok mengatakan bahwa keputusan secara substansi keputusan untuk membatalkan itu adalah keputusan keluarga, di samping itu juga mempertimbangkan kondisi ibunya yang sudah sepuh, sudah tua," ujar Anam.

Dari hasil pertemuan itu, Anam menarik benang merah bahwa apa yang dialami Devi Athok adalah rasa khawatir, dan bukan intimidasi. Karena ada rasa trauma atas tragedi Kanjuruhan yang membuatnya takut.

Terlebih saat proses komunikasi dengan aparat kepolisian, Devi Athok tidak didampingi dengan pendamping yang sediaannya telah sepakat dengan pihak keluarga mendampingi serta mengadvokasi selaku keluarga korban.

"Dalam konteks ini dia juga menekankan sebenarnya kalau ara komunikasi yang baik, semua pihak, termasuk pendampingnya termasuk Pak Athok, termasuk pak polisi itu sebenarnya prosesnya tidak perlu ada kekhawatiran," jelasnya.

"'Kita tegaskan kalau seandainya ada pendamping, apakah ketika polisi datang berapapun jumlah polisinya itu membuat dia khawatir nggak? Enggak," tambah Anam.

 

4 dari 4 halaman

Komnas HAM Sebut Keluarga Masih Trauma

Lantas Anam menduga ada problem ketika tidak ada pendamping yang menemani membuat komunikasi tidak berjalan dengan baik. Karena trauma dan kedatangan pihak kepolisian membuat keluarga khawatir.

Meskipun dalam proses komunikasi tidak adanya intimidasi yang dilakukan pihak kepolisian. Namu rasa khawatir itu muncul menyusul trauma yang dialami keluarga korban sehingga membuat perasaan tidak nyaman.

"Jadi pendampingnya ketika dia butuhkan secara fisik tidak bisa hadir untuk mendampingi dia berkomunikasi dengan kepolisian yang datang ke rumahnya. Jadi itu inti soalnya. Jadi tidak ada intimidasi dalam proses ini," ujar Anam.

"Dia juga heran kok ada kata-kata intimidasi? Dia mengatakan dia tidak pernah mengatakan intimidasi, itu yang juga kami tanya. Terakhir ini terkait autopsi itu sendiri. Pada prinsipnya, jika kenyamanan proses apa menuju autopsi itu bisa dilaksanakan, termasuk autopsi bisa transparan dan akuntabel, pada dasarnya dia mau untuk melakukan autopsi," lanjutnya.

Sebelumnya, Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Toni Hermanto membantah adanya intimidasi terhadap keluarga korban, terkait pembatalan autopsi. Autopsi semula direncanakan Kamis (20/10), namun belakangan batal digelar.

"Tidak benar, sekali lagi tidak benar, silakan nanti dikonfirmasi untuk itu. Semua sudah diketahui publik informasi-informasi yang itu. Silakan media juga mengkonfirmasi itu," kata Irjen Pol Toni Hermanto di RSSA Malang, Rabu (19/10).

Toni membenarkan bahwa autopsi batal digelar karena urusan persetujuan keluarga. Tetapi ditegaskan bahwa hal itu bukan karena intimidasi.

"Bagaimana pun pelaksanaan autopsi juga kita salah satunya minta persetujuan keluarga. Dan hasil informasi yang saya peroleh, hingga saat ini bahwa keluarga belum menghendaki autopsi dilaksanakan," ungkapnya.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam

Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.